Sabtu, 20 April, 2024

Duet WH-Andhika: Konstelasi Politik dan PR RPJMD


Ahmad Solahuddin
(Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang PMII Banten)

DI TENGAH pembahasan yang begitu sangat alot di parlemen mengenai sikap sejumlah partai politik yang memiliki fraksi dan sejumlah pandangan masing-masing mengenai hal ihwal RUU Pemilu, mengimplikasikan kepemimpinan politik di sejumlah daerah akan habis dan secara otomatis akan bergulir ritus demokrasi lima tahunan, yakni, konstelasi politik di aras lokal.

Dalam hal ini, Provinsi Banten juga akan mengikuti regenerasi kepemimpinan dengan melaksanakan demokrasi lima tahunan ini, apabila dalam konstitusi yang akan datang tidak mengalami perubahan, maka konstelasi tersebut akan semakin dekat.

Sejak terpilih dan dilantiknya pasangan WH-Andhika (12/5/2017), terdapat diskursus yang secara intensif seringkali menjadi bahan percakapan ilmiah, terutama mengenai misi awal yang sudah digaungkan dalam berbagai kesempatan, misalnya, sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Selama ini, secara faktual kita memperoleh gambaran bahwa ketiga sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan daerah tampak belum begitu optimal.

- Advertisement -

Tulisan ini mencoba untuk memberikan ilustrasi kegelisahan masyarakat yang belum merasakan implikasi kepemimpinan WH-Andhika selama menjalankan roda pemerintahan, termasuk dalam aspek kebijakan publik. Pasalnya, penerimaan khalayak publik juga sangat substansial dalam menciptakan pembangunan yang partisipatif, elaborasi, dan sustainable.

Dalam sistem demokratis, legitimasi besar sangat dibutuhkan oleh pemimpin yang dipilih melalui mekanisme one man one vote. Salah satu hal yang paling utama untuk meningkatkan legitimasi dalam sistem demokratis yaitu dengan meningkatkan akselerasi kinerja, dalam hal ini, pelayanan publik. Dengan demikian, jejak langkah duet kepemimpinan WH-Andhika dalam melakukan transformasi di wilayah Jawa bagian Selatan ini perlu diuraikan dalam pembahasan ini, terlebih di pengujung kepemimpinan.

Refleksi Kebijakan Publik

Merujuk pada data yang tersaji di Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten dalam tiga tahun terakhir menunjukkan hasil yang tidak begitu memuaskan. Pasalnya, hanya merengek satu angka. Seperti, pada tahun 2018 sebesar 71,95, kemudian pada 2019 mengalami peningkatan sebesar 72,44, dan pada 2020 sebesar 72,45.

Dalam kaitan tersebut, sebagai salah satu wilayah yang memiliki akses dekat dengan ibu kota, semestinya, Provinsi Banten juga pada saat yang sama dapat meningkatkan persentase hasil IPM dengan DKI Jakarta. Pada dasarnya, IPM sangatlah esensial sebagai perwujudan dari salah satu tools untuk mengukur pencapaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. Komponen-komponen dalam indeks pembangunan manusia ini pula meliputi: (i) angka harapan hidup; (ii) angka melek huruf; (iii) rata-rata lama sekolah, dan lain sebagainya.

Pertama, dalam aspek rata-rata lama sekolah, Provinsi Banten selama tiga tahun terakhir masih berada di angka 8, misalnya, seperti yang telah diilustrasikan menyebutkan rata-rata lama sekolah sebesar 8,62 (2018), lalu 8,74 (2019), dan 8,89 (2020). Artinya, masyarakat yang menempuh pendidikan di Provinsi Banten secara akumulasi masih berada di tingkat menengah pertama.

Selanjutnya, menilik pada sejumlah kabupaten/kota yang rata-rata lama sekolahnya juga tampak berbeda. Akibatnya, hal ini menciptakan juram dalam dunia pendidikan. Padahal, pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan pendidikan di tanah jawara ini.

Sebagian besar masyarakat di Provinsi Banten membutuhkan langkah konkret dari pemerintah agar dapat mengatasi sejumlah problematika di dunia pendidikan, terlebih di masa pandemi. Sebab, di bidang pendidikan ini pula akan bermuara pada kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas manusia.

Dengan kata lain, pendidikan menjadi katalisator dari terciptanya sumber daya manusia yang apik. Oleh karena itu, komitmen pemerintah perlu diterapkan semaksimal mungkin agar mampu meningkatkan pencapaian indeks pembangunan manusia. Meminjam istilah Yudi Latif (2018) dalam Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun untuk Kebudayaan, mengatakan bahwa proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat.

Langkah konkret pemerintah sungguh belum mampu dirasakan secara maksimal oleh, terbukti masyarakat masih mengalami kesukaran dalam melaksanakan pembelajaran, baik karena akses signal yang tidak begitu baik, infrastruktur menuju sekolah maupun tempat-tempat lainnya masih banyak yang rusak, dan terdapat ‘manusia silver’ di tengah-tengah kota metropolitan di Provinsi Banten, termasuk di wilayah kabupaten/kota. Hal ini terjadi karena pandemi sudah menggoyang tatanan sosial. Sehingga, berimplikasi terhadap pendapatan dan pertumbuhan masyarakat.

Problematika di aras lokal ini mesti segera diurai, agar masyarakat merasakan kepedulian pemerintah terhadap masyarakatnya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membuat sejumlah public policy yang memiliki orientasi besar pada tingkat kesejahteraan. Dalam hal ini, sejumlah pihak perlu juga mengawal sejumlah kegiatan dan/atau program yang terejawantahkan dalam kebijakan publik yang telah dibuat. Sebab, kalau kata Sjahrir (1982: 127), yang menyatakan bahwa, “Sekali-kali, tidaklah boleh kpentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan.”

Pemerintah harus benar-benar mencari suatu modus yang dapat mengurai problematika kebangsaan ini di tingkat lokal, agar cita-cita nasional dapat terwujud dengan secepatnya. kemudian, pemerintah perlu memerhatikan sejumlah infrastruktur sekolah, termasuk fasilitas yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kreativitas pembelajar agar sumber daya manusia kita sungguh-sungguh adaptif dan responsif terhadap perkembangan peradaban.

Kedua, di bidang kesehatan, pada awalnya, pemerintah memiliki semangat yang menyala akan pengobatan gratis hanya dengan menggunakan identitas diri (E-KTP). Namun, hal ini tak kunjung terealisasi, karena terdapat pelbagai hal yang menjadi kendala. Semestinya, kendala di bidang ini sedari awal diformulasikan dan melibatkan komponen yang memiliki kapasitas di bidang tersebut, termasuk stakeholders tertentu. Dan dapat pula mengaktualisasikan kolaborasi, dalam bahasa lain, melibatkan apa yang dikenal sebaga pentahelix.

Sebab, mengikuti Charles O. Jones (1996: 49), yang mengemukakan bahwa kebijakan adalah unsur-unsur atau ekspresi-ekspresi dari program-program dan keputusan-keputusan. Dalam perspektif tersebut, kebijakan harus menjadi tonggak pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara umum. Dalam kebijakan publik, keputusan maupun ketetapan harus memerhatikan berbagai hal yang berkelindan terhadap kepentingan daerah dan negara-bangsa.

Implementasi kebijakan publik juga pada saat yang sama perlu dilakukan monitoring agar kebijakan terarah dan terukur. Misalnya, Pemprov Banten telah membuat kebijakan, maka dari proses dan/atau tahapan siklus kebijakan sampai pelaksanaan perlu dilakukan pengawasan dengan ketat, agar tidak menyimpang dari rule model yang sudah ditetapkan.

Sebagaimana yang telah diilustrasikan oleh Parsons (2005), yang mengemukakan bahwa monitoring dan evaluasi kebijakan itu akan mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suat persoalan tertentu. Pasalnya, setiap kebijakan publik yang sudah diterapkan, maka sudah barang tentu akan mempunyai dampak terhadap berbagai objek, termasuk mengaitkan apakah kebijakan yang sudah diimplementasikan itu mampu menjawab suatu persoalan-persoalan tertentu yang selama ini juga masih hinggap dan seolah menjadi hidangan setiap harinya.

Ketiga, di bidang infrastruktur juga masih menjadi PR besar. Karena, selama ini pembangunan juga tampak tersentralisasi di wilayah dan/atau pusat kota saja.

Sedangkan, di wilayah yang berada di pelosok kurang begitu diperhatikan. Padahal, infrastruktur sangatlah penting, terutama untuk menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga. Selanjutnya, di masa pandemi seperti ini seolah pemerintah selalu fokus memerhatikan daerah yang secara IPM cukup baik. Padahal, masih terdapat kab/kota yang IPM-nya perlu diperhatikan. Selain itu, tampak Pemprov Banten selalu melakukan pelantikan di masa pengujung kepemimpinan.

Terlepas dari keinginan untuk meningkatkan SDM dalam birokrasi, seharusnya sebagai salah satu aktor dalam pengambilan keputusan, pemerintah melakukan serangkaian mekanisme dalam memerhatikan masyarakat yang selama ini masih mengalami kesulitan di bidang ekonomi agar pengangguran tidak selalu bertambah.

Selanjutnya, Pemprov Banten pula harus dapat memberikan pendidikan dan pelatihan kepada sebagian besar masyarakat, termasuk kepada ‘manusia silver’ yang seringkali kita temui di pusat-pusat kota. Kendati demikian, hal ini sudah ada dan termaktub dalam regulasi. Saatnya, pemerintah berkomitmen untuk komit terhadap peningkatan sumber daya manusia secara holistik.

Terakhir, Pemprov Banten harus segera mengevaluasi sejumlah kebijakan, program dan kegiatan yang selama ini sudah dilaksanakan, terutama yang menjadi rencana pembangunan daerah (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur).

Tak sekadar itu, komponen lainnya juga mesti berperan aktif dalam melakukan monitoring dan/atau evaluasi ini agar kebijakan yang diformulasikan ke depannya lebih tepat sasaran. Kebijakan publik harus memiliki orientasi bagi kepentingan khalayak publik, bukan mengutamakan kepentingan individu, kelompok, maupun kepentingan politis yang akan datang.

Kinerja akan menentukan legitimasi masyarakat ke depan. Karena secara inheren, kebijakan publik akan memengaruhi tatanan sosial. Tanpa kinerja yang baik, maka akan berdampak pada berkurangnya legitimasi dan trust masyarakat kepada pemerintah, dalam hal ini, eksekutif di Provinsi Banten.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER