Jumat, 22 November, 2024

Pengamat Intelijen Desak Paslon Patuhi Larangan Kampanye Rapat Umum di Pilkada 2020

MONITOR, Jakarta – Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan yang juga Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro mendesak pasangan calon (paslon) yang akan bertarung dalam Pilkada 2020 mematuhi larangan kampanye dengan rapat umum.

Ngasiman menegaskan kampanye metode tersebut dan jenis pengerahan massa lainnya jelas berpotensi menciptakan klaster Covid-19 yang membahayakan publik. “Pilkada harus menjadi pesta politik dan demokrasi yang aman dari bahaya apapun, termasuk Covid-19. Jangan sampai mengorbankan rakyat,” kata pria yang karib disapa Simon ini dalam keterangan tertulisnya di Jakarta. Kamis (24/9/2020).

Terlebih, tambah Simon sampai saat ini kasus Covid-19 nasional belum menunjukkan tren melandai. Maka, perlu kerja sama semua pihak untuk memutus persebarannya, termasuk para paslon yanh berkontestasi di Pilkada 2020. “Pemilu hakikatnya untuk rakyat. Jadi harus dilaksanakan dengan sangat mempertimbangkan kemaslahatan rakyat,” tegasnya.

Sebagai informasi, larangan kampanye dengan menggelar rapat umum termaktub dalam Pasal 88C PKPU Nomor 13 Tahun 2020. Peraturan ini pun telah menjadi kesepakatan seluruh stakeholder penyelenggara Pilkada 2020, yakni DPR, KPU, Bawaslu, dan Pemerintah atau dalam hal ini Kemendagri. Sehingga, kata Simon, pelanggaran peraturan ini berarti berlawanan dengan hukum dan keputusan negara.

- Advertisement -

Baca : KPU Larang Konser Musik di Pilkada 2020

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun telah memetakan kerawanan corona di seluruh daerah penyelenggara Pilkada 2020. Hasilnya, 50 daerah rawan corona tinggi atau sangat mungkin menciptakan klaster Covid-19.

Melihat banyaknya daerah tersebut, terlihat potensi instabilitas keamanan nasional bila klaster Covid-19 terjadi di Pilkada 2020.

“Dalam kondisi pandemi, sekecil apapun potensi yang bisa mengarah kepada instabilitas keamanan harus dihindari. Karena bisa menambah krisis dan semakin menyengsarakan masyarakat. Cost yang harus dibayar besar,” kata Simon.

Belum lagi, menurut Simon, masa transisi politik selalu menjadi momen paling rawan di negeri ini. Khususnya terkait keutuhan dan kesatuan bangsa.

“Kalau paslon taat aturan, berarti mereka telah turut menjaga keberlangsungan persatuan nasional. Jangan biarkan pandemi ini menciptakan gejolak politik seperti di Haiti dan Prancis saat wabah HIV dan black death di masa lalu. Kita harus belajar dari sejarah,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER