BISNIS

Prinsip Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan berbasis MSY

MONITOR, Jakarta – Koordinator penasehat menteri kelautan dan perikanan bidang riset dan daya saing, Prof Rokhmin Dahuri mengajak semua pihak mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan yakni sistem bio-sosial-ekonomi perikanan tangkap yang menghasilkan hasil tangkapan ikan yang mensejahterakan seluruh nelayan secara berkeadilan, dan disaat bersamaan dapat memelihara keberlanjutan (sustainability) stok ikan beserta ekosistem perairannya.

“Seluruh ahli perikanan tangkap mari kita perhatikan prinsip-prinsip perikanan tangkap yang mensejahterakan dan berkelanjutan,” katanya saat menjadi pembicara kunci dalam sebuah webinar bertajuk “Tata Kelola Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab dan Berkelanjutan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Tangkap Republik Indonesia”. Senin (31/8/2020).

Adapun prinsip-prinsip manajemen perikanan tangkap menurut guru besar fakultas perikanan dan kelautan IPB tersebut adalah pertama, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) disuatu wilayah pengelolaan perikanan (fishing ground) maksimum 80 persen dari MSY (maximum sustainable yield).

“Jadi jangan pernah lebih menangkap ikan dari MSY, kecuali bagi negara yang banyak penganggurannya itu boleh sampai dengan batas MSY-nya,” tegas Rokhmin.

Kedua lanjut Rokhmin nelayan atau aktivitas penangkapan ikan harus memaksimalkan total tangkapan yang diijinkan atau total allowable catch dengan menerapkan praktik penanganan terbaik (best handling practices), sistem manajemen mantai pasokan terintegrasi, pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) berkelas dunia, dan pengembangan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

“Selama ini pelabuhan perikanan kita hanya menjadi tempat sandar kapal ikan, tidak menjadi bagian dari industri perikanan yang terintegrasi,” terangnya.

Ketiga, mantan Menteri kelautan dan perikanan itu menyatakan bahwa sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan anak buah kapal (ABK) harus adil.

Prinsip keempat ungkap duta besar kehormatan Jeju Island Korea Selatan itu adalah pembagian kuota penangkapan dari volume total 80% MSY atau MSY itu kepada sejumlah kapal ikan dengan alat tangkap (fishing gears) tertentu.

“Sehingga total tangkapan untuk setiap kelompok stok ikan sama dengan 80% MSY atau MSY, dan pendapatan nelayan ABK minimal US$ 300/orang/bulan,” tandasnya.

Adapun terkait program dan kebijakan yang harus dilakukan untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan, ketua dewan pakar masayarakat perikanan nusantara itu mengungkapkan beberapa hal antara lain Pengurangan fishing effort (kapal ikan, fishing gears, dan jumlah nelayan) untuk setiap kelompok stok ikan berbasis WPP sampai unit wilayah yang lebih kecil (zona penangkapan -1, 2, jurisdiksi perairan propinsi, dan ZEEI).

“Peningkatan fishing effort untuk setiap kelompok stok ikan berbasis WPP sampai unit wilayah yang lebih kecil. Penetapan alokasi TAC untuk setiap propinsi dalam suatu WPP (berdasarkan pada panjang garis pantai atau lainnya?),” urainya.

Pengembangan armada Ocean Going Fisheries-RI yang kompetitif untuk beroperasi di International Waters (beyond ZEEI) menurutnya juga harus dilakukan. “Modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan,” katanya.

“Nelayan harus menerapkan Best Handling Practices, dan Cold Chain System, terutama untuk jenis-jenis ikan mahal. Revitalisasi dan pembangunan baru PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) dan PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera)  sebagai kawasan industri perikanan terpadu berkelas dunia di wilayah-wilayah terdepan NKRI,” tambahnya. 

Selain itu, revitalisasi dan pembangunan baru PPP dan TPI yang berkualitas tinggi, sesuai kebutuhan, sebagai pelabuhan perikanan pengumpan bagi PPN dan PPS. “Pemerintah melalui Koperasi, BUMN, atau Swasta harus menjamin ketersediaan sarana produksi bagi nelayan di seluruh wilayah NMRI, dengan harga relatif murah,” ujarnya.

Rokhmin mengatakan Pemerintah juga harus menjamin pasar ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga yang menguntungkan nelayan, dan juga terjangkau oleh konsumen dalam negeri.  “Dengan cara membangun kemitraan antara industri (pabrik) pengolahan ikan dengan nelayan. Ukuran kapasitas pabrik dengan jumlah ikan mesti sesuai (matching),” katanya.

Ia juga mendorong Pemerintah agar menyediakan kredit kepada nelayan di seluruh wilayah NKRI dengan bunga relatif murah dan persyaratan pinjam relatif lunak.

Recent Posts

Bertambah Lagi, DEB Hadir di Indramayu Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi

MONITOR, Indramayu - Pertamina, melalui Subholding Gas dan entitas usahanya PT Pertamina Gas, melanjutkan komitmennya…

22 menit yang lalu

Mentan Jelajahi Tiga Provinsi dalam Satu Hari Demi Swasembada Pangan

MONITOR, Banjarmasin - Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman (Mentan Amran) melakukan kunjungan kerja maraton ke…

31 menit yang lalu

Jasa Marga Paparkan Kesiapan Pelayanan Operasional Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 dalam Kunjungan Wamen PU

MONITOR, Jakarta - Menyambut libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025, PT Jasa Marga (Persero)…

40 menit yang lalu

Rapat DPR Bersama KKP, Arif Rahman: Implementasi PIT Belum Optimal

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI, Arif Rahman, mengkritisi implementasi kebijakan Penangkapan Ikan…

1 jam yang lalu

Pengamat: Peran PGN Sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945

MONITOR, Jakarta - Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansah, mengungkapkan bahwa keberadaan Pertamina Gas Negara (PGN)…

2 jam yang lalu

Seleksi Petugas Haji 2025, Kemenag Pastikan Terbuka dan Fair

MONITOR, Jakarta - Seleksi Petugas haji PPIH Kloter dan PPIH Arab Saudi 1446 H/2025 M…

3 jam yang lalu