MONITOR, Jakarta – Rencana Pemerintah Indonesia melakukan perjanjian Preliminary Agreement of Purchase and Supply of Bulk Production of Covid -19 Vaccine, atau pembelian bulk vaccine dengan Sinovac China, dinilai menunjukkan bukti Indonesia tidak berdaulat di bidang farmasi. Pernyataan ini diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta.
“Presiden Jokowi dengan bangga menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang paling siap menyediakan vaksin COVID-19 setelah perjanjian bulk vaksin dengan perusahaan farmasi Sinovac, China. Namun, seharusnya disisi lain bapak presiden sedih. Perjanjian ini menunjukan bahwa Indonesia tidak berdaulat dalam bidang farmasi,” jelas Doktor lulusan Inggris ini.
Sukamta mengatakan ada dua alasan mengapa dirinya menyebut Indonesia tidak berdaulat dalam bidang farmasi. Pertama, alokasi yang besar diberikan oleh perusahaan produsen vaksin karena perusahaan dan negara produsen vaksin melihat potensi bisnis yang menguntungkan dengan Indonesia sehingga diprioritaskan. Indonesia membutuhkan sekitar 350 juta dosis Vaksin Covid 19 dengan anggaran sebesar Rp 25 triliun hingga Rp 30 triliun.
Kedua, Indonesia sampai saat ini mengimpor 95 persen dari total kebutuhan industri dalam negeri. Impor dari China adalah yang terbesar, mencapai 60 persen.
Dalam masalah bahan baku industri kesehatan, Sukamta pun menyoroti mengenai inkonsistensi antara kebijakan dengan statemen-statemen yang dikeluarkan. Legislator asal Jogja ini kemudian menyentil Menteri BUMN, Erick Thohir.
“Menteri BUMN, Erick Thohir ketika awal COVID-19 melanda mengakui Indonesia 90% industri kesehatan dari impor, kemudian menyatakan ada mafia dan menyatakan akan melawan. Namun, kini Pak menteri sepertinya menelan ludah sendiri dengan memimpin impor bahan baku vaksin COVID-19,” terangnya.
“Padahal jika kita serius kita bisa membuat bahan baku bulk vaksin memanfaatkan pemanfaatan bahan baku yang berasal dari sumber daya alam Indonesia,” tegas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini.
Sukamta menambahkan, potensi bisnis vaksin ini luar biasa seharusnya jadi momentum Indonesia untuk mandiri dari mengembangkan bisnis vaksin.
“Bio Farma sebagai Perusahaan farmasi milik negara PT Bio Farma (Persero) dengan kapasitas produksi sebesar 3 miliar dosis terbesar di Asia Tenggara bahkan 132 negara telah mengimpor vaksin dari Indonesia. Ini potensi besar. Maka seharusnya pemerintah mengambil kebijakan jangka pendek dan panjang dalam upaya penyedian bahan baku farmasi berbasis bio teknologi dan herbal daripada impor bahan baku kimiawi. Harapannya Indonesia bisa segera berdaulat dalam industri farmasi,” harap Sukamta.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dengan perusahaan plat merahnya Bio Farma menjadi satu-satunya negara yang diakui sebagai pemasok vaksin di kawasan ini oleh badan kesehatan dunia atau WHO.
WHO juga mencatat Indonesia menjadi salah satu negara yang mendominasi pasokan vaksin dunia bersama dengan India, Belgia, Perancis, dan Korea Selatan. Untuk pemasok vaksin ke negara muslim, Indonesia adalah produsen besar bersama Tiongkok dan India.