Jumat, 19 April, 2024

Tafaqquh Fiddin Harus Jadi ‘Jantung’ PTKI

MONITOR, Jakarta – Karya intelektual tafaqquh fiddin di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) tampaknya sedikit bergeser dengan kajian rumpun ilmu sosial lainnya yang lebih kontemporer. Untuk itu, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menghadirkan webinar Tadarus Litapdimas ke-13 tentang Karya Intelektual Tafaqquh Fiddin PTKI, Selasa (28/7).

Direktur PTKI Kementerian Agama, Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, dalam sambutan pengantarnya juga mengakui bahwa kajian tafaqquh fiddin mulai minim peminat. Kajian ini hanya dilirik beberapa kalangan, utamanya jurusan keagamaan seperti Ushuluddin, Syariah, Adab dan Dirasat Islamiyah. Padahal, dikatakan Arskal, tema tafaqquh fiddin sejatinya harus menjadi core of the core dari lembaga PTKI.

“Saya mendorong ini menjadi rutin dilakukan secara parsial oleh kampus masing-masing, kampus lebih rajin mengkaji kajian turas (kitab klasik),” ujar Arskal Salim dalam sambutannya.

Arskal berharap kegiatan mengaji kitab klasik ini bisa menjadi sebuah tradisi berkelanjutan di tengah bertaburnya karya-karya tesis dan disertasi ilmu sosial di lingkungan PTKI.

- Advertisement -

“Ini telaah yang cukup serius terhadap kajian turas, mudah-mudahan ini menjadi kajian penting dalam kampus kita. Meskipun kajian sosial mempengaruhi karya tesis dan disertasi. Mudah-mudahan tradisi ini terus tetap dijaga, semoga Litapdimas bisa mempertahankan ini,” imbuhnya.

Geliat Karya Intelektual Tafaqquh Fiddin di PTKI

Dalam tadarus ini, tiga pembicara di antaranya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon memaparkan karyanya dari Manba’ al-Sa’adah ke al-Sittin al-Adliyah, kemudian Dr. Mohammad Yunus Masrukhin, MA dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyampaikan gagasannya dalam karya buku al-Wujud wa al-Zaman fi al-Khitab al-Shufi ‘Inda Muhyiddin Ibn ‘Arabi, dan terakhir Dr. H. M Afifuddin Dimyati, MA dari UIN Sunan Ampel Surabaya memaparkan karya bukunya dari Mawarid al-Bayan ke Jam’al al-Abir. Ketiganya menguraikan secara apik proses pembuatan karya kitab tersebut.

Misalnya, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir mengungkapkan keresahannya saat menyusun kitab Manba’ al-Saadah bersama sejumlah tokoh ulama perempuan seperti Ibu Sinta Nuriyah, Badriyah Al-Fayumi, dan lain-lain, karena melihat ada ketidakadilan relasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga memunculkan ide untuk menyusun kumpulan 60 hadits pilihan yang menarasikan nilai-nilai kebaikan terhadap perempuan.

Faqih juga berharap, dengan karya intelektual tafaqquh fiddin, ke depan bisa menjadi rujukan para dosen PTKI dalam memberikan bahan ajar kepada mahasiswanya.

“Proses seperti ini penting sekali, terutama ketika kita mengajar di pondok pesantren, alangkah senangnya jika bisa menceritakan karya-karya ulama Islam negeri sendiri, misalnya ada al-Bantany, al-Palembangi dll, ke depan karya ini harus disebarkan atau ditempatkan di perpustakaan untuk dijadikan rujukan dan membuat yang lainnya tergerak membuat karya yang sama, sehingga terjadi transformasi dan transmisi karya antara ulama Indonesia,” ujar Faqihuddin.

Sementara itu, Dr. Mohammad Yunus Masrukhin menceritakan proses yang ditempuhnya ketika mendiskursuskan pengalaman Ibn ‘Arabi, mulai dari memproduksi dan mentransformasi makna kesufian sehingga dipublikasikan secara massif. Menurutnya, ada beberapa hal yang problematisnya kurang kuat, ada bias-bias, serta data yang kurang. Hal tersebut menuntutnya untuk membuktikan data-data terbaru melalui pembacaan teks-teks Ibn ‘Arabi.

“Ini yang menjadi fokus saya, hipotesa saya mengitari pemikiran Ibnu Arabi ini karena diksursus itu sendiri. Sehingga dengan melakukan pemaknaan kembali, pengalaman Ibn ‘Arabi ke dalam primordial secara epistemologis itu. Ini framing yang saya lakukan,” tuturnya.

Selanjutnya, Dr. H. M Afifuddin Dimyati, mengungkapkan dari delapan karya yang ditulisnya, ada kitab-kitab yang khusus dijadikan rujukan kajian linguistik hingga sosialistik di Indonesia. Kitab tersebut juga memuat perbandingan antara kajian linguistik di Indonesia dengan Timur Tengah. Biasanya, kitab-kitab yang ditulisnya ini menjadi bahan ajar kepada mahasiswa S1 maupun S2.

Nor Ismah, M.A dari Leiden Institute for Area Studies (LIAS) Universitas Leiden yang bertindak sebagai pembahas diskusi membenarkan bahwa media ilmu pengetahuan cetak memiliki pengaruh yang luar biasa untuk transimi ilmu pengetahuan. Bahkan dikatakannya, kitab Al-Manar yang dituliskan Rasyid Ridha di Timur Tengah juga memainkan peran penting dalam menyebarkan paham reformis di suatu negara.

Terakhir, Kasubdit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat PTKI, Dr. Suwendi, M.Ag, menegaskan bahwa tafaqquh fiddin tidak bisa dipisahkan dari sejarah bagaimana didirikannya IAIN yang sesungguhnya menjadi bagian dari trasformasi kelembagaan. Dari pesantren kemudian beralih menjadi ADIA dan IAIN. Basis sesungguhnya ada pada tafaqquh fiddin.

“Ini dibuktikan dalam karya-karya yang luar biasa, dan semoga karya ini bisa diproduksi, dan dihasilkan untuk diseminasi sehingga menjadi bahan-bahan perguruan tinggi UIN/IAIN sebagai sumber referensi,” imbuhnya.

Ia pun berharap produktifitas karya intelektual di lingkungan PTKI ini tidak hanya diterbitkan di dunia barat, namun juga produktifitas para dosen PTKI ini juga merambah di dunia Timur Tengah.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER