HANKAM

Forum Satu Bangsa serukan Politik Bebas-Aktif Indonesia dalam Konflik Laut China Selatan

MONITOR, Jakarta – Ketua Umum Forum Satu Bangsa (FSB), Hery Haryanto Azumi menilai eskalasi yang terjadi di wilayah Laut China Selatan (LCS) yang terjadi saat ini antara Tiongkok dan Amerika tidak terlepas dari posisi China sebagai sebuah bangsa besar yang memiliki klaim historis memiliki hak untuk bangkit dan muncul sebagai major world power.

Menurut mantan ketua umum PB PMII tersebut trauma sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Asia memperkuat tekad China untuk tidak mengulangi kembali sejarah kelam tersebut.

“Dalam konteks ini, langkah-langkah asertif China untuk menjadikan Laut China Selatan sebagai natural shield (perisai alami) bagi keamanan nasional China dapat dipahami di tengah pengepungan militer yang dilakukan AS dan sekutu-sekutunya seperti Korea, Jepang, Taiwan dan laon-lain. Yang menjadi masalah adalah bahwa klaim terhadap Laut China Selatan sebagai laut teritorial China bersinggungan dengan klaim negara-negara lain (littoral states) di kawasan tersebut, yaitu: Taiwan, Filipina, Brunai, Malaysia dan Vietnam,” katanya saat menjadi narasumber webinar FORUM MONITOR “AS-Tiongkok Memanas di Laut China Selatan, Bagaimana Sikap Indonesia”. Kamis (18/6/2020). 

Hery menegaskan overlapping klaim atas kawasan Laut China Selatan rentan memunculkan konflik kawasan yang berpotensi memanggil kekuatan-kekuatan besar dunia (major powers) untuk masuk dan terlibat dalam militerisasi kawasan. Risiko yang mungkin terjadi adalah perang yang dapat menguras semua sumber daya kemajuan yang dimiliki kawasan ini dan dunia.

“Jika konflik ekonomi dan politik yang terjadi berakhir dengan perang, maka ini akan menjadi perang yang akan membuat dunia berhenti berkembang selama sekian generasi,” terang tokoh muda NU itu.

“Di latar belakang overlapping kawasan ini, juga terjadi persaingan besar antara China yang tengah bangkit menjadi major power dan AS yang sedang mengalami krisis kepemimpinan dunia (global power). China telah mengambil alih peran AS sebagai mesin ekonomi dunia, dan ini bagi Amerika dianggap sebagai ancaman eksistensial. Dan China pun menganggap AS sebagai ancaman eksistensial bagi cita-cita politik China,” tambahnya. 

Sementara disisi lain, Hery menilai Amerika Serikat telah lama menjadi pelindung keamanan (security blanket) bagi kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dari ancaman komunisme pada era Perang Dingin dan sekaligus menjadi penggerak ekonomi, ditandai oleh investasi AS baik di kawasan ASEAN maupun China sendiri. 

Dinamika pergeseran kekuatan besar dunia ini adalah arus sejarah yang terjadi secara alamiah ketika kekuatan lama mulai mengalami kebangkrutan akibat melonjaknya biaya untuk memelihara empire dibandingkan dengan pemasukan yang didapat dari luasnya empire itu sendiri. “Krisis empire ini akan pulih jika kekuatan lama menemukan energi baru untuk melanjutkan keberlangsungan empire tersebut,” ujarnya. 

Sementara itu lanjut Hery, Indonesia sebagai big brother (primus inter pares) di ASEAN, memiliki kesempatan untuk memunculkan diri sebagai inisiator perdamaian karena posisi strategisnya yang tidak menjadi claimant kawasan yang diperselisihkan. Indonesia dapat menjadi jembatan komunikasi antara negara-negara pengklaim (claimant states) Laut China Selatan dengan China dengan memunculkan solusi-solusi yang melibatkan semua negara terkait.

Laut China Selatan sudah seharusnya menjadi laut bersama (common sea) yang dikelola melalui kerja sama. Indonesia juga dapat meyakinkan China dan AS untuk menghindari cara-cara militer dalam menyelesaikan perselisihan Laut China Selatan ini.

“Indonesia dapat mendesak agar kawasan Laut China Selatan menjadi zona kerja sama ekonomi. Alih-alih diklaim secara unilateral, Laut China Selatan dapat digunakan sebagai zona confidence measure building, zona untuk menunjukkan trust dan keyakinan antar negara,” tandasnya. 

Hery berharap Indonesia untuk menggunakan diplomasi kebudayaan dan perdagangan untuk membangun kawasan kerjasama yang lebih besar. Regional Comprehensive Economic Partnership (RECP) harus segera diwujudkan agar energi yang ada dapat didayagunakan untuk kebaikan semua negara pasca Pandemi Covid-19 yang melanda dunia ini. 

“Forum Satu Bangsa menyerukan agar Indonesia berdiri sesuai dengan amanah konstitusi, yaitu politik bebas-aktif dan turut serta dalam mempromosikan perdamaian dunia demi tata dunia yang maju, adil dan sejahtera secara umum,” pungkasnya. 

Recent Posts

Kemenag Salurkan Bantuan 310 Miliar Lebih kepada Yatim dan Penyandang Disabilitas di Indonesia

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Lembaga Amil Zakat…

49 menit yang lalu

Letjen TNI Novi Helmy Prasetya Kembali Berdinas di TNI Usai dari BUMN

MONITOR, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyampaikan bahwa Letjen TNI Novi Helmy Prasetya akan…

2 jam yang lalu

Fantastis, Bersama BAZNAS dan LAZ Kemenag Salurkan 2 Juta Paket Bingkisan untuk Anak Yatim dan Disabilitas se-Indonesia

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag), Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Lembaga Amil Zakat…

6 jam yang lalu

Kemenag Buka Pendaftaran Program PKDP 2025

MONITOR, Jakarta - Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag membuka pendaftaran…

10 jam yang lalu

Miris 1 Juta Lulusan Sarjana Nganggur, DPR: Ironi di Tengah Bonus Demografi

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menanggapi rilis Badan Pusat Statistik (BPS)…

13 jam yang lalu

Polusi Udara Meningkat di Jakarta, DPR: Cerminan Buruknya Tata Kelola Emisi

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan menyoroti peningkatan polusi udara di…

14 jam yang lalu