Jumat, 29 Maret, 2024

Potensi Ekonomi Tinggi, Pakar: Pengelolaan Krustasea Harus Dilakukan dari Hulu ke Hilir

MONITOR, Bogor – Krustasea (udang, rajungan, kepiting, dan lobster) merupakan sektor perikanan yang memiliki potensi ekonomi tinggi dimana sekitar 45% total nilai ekspor perikanan-RI (US$ 4,5 milyar) dari krustasea (udang, rajungan, kepiting, dan lobster). Bahkan Sekitar 2 juta orang (30% total pekerja perikanan on-farm) bekerja di usaha penangkapan dan budidaya (on-farm) krustasea.

Demikian dikatakan Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi pembicara kunci webinar “Peluang dan Tantangan Pengelolaan Krustasea yang Berkelanjutan Pasca Covid-19” yang dilaksanakan oleh Fakultas Perikanan Universitas Teuku Umar (UTU) Aceh bekerjasama dengan Politeknik Ahli Usaha Perikanan Indonesia. Senin (8/6/2020).

“Kegiatan bisnis budidaya dan penangkapan krustasea menciptakan multiplier effects yang luas. Demand and market domestik maupun ekspor terus meningkat. Dari sisi kapasitas produksi (supply)-RI, the limit is the sky,” ujarnya.

Di dunia telah teridentifikasi sekitar 26.000 species Crustacea, yang paling umum adalah udang (shrimp/prawn), lobster, dan kepiting dan rajungan (crabs). Sedangkan di Indonesia terdapat kurang lebih 1.500 species Krustasea.

- Advertisement -

“Periode 2014-2018, produksi Crustacea Indonesia didominasi komoditas Udang (rata-rata 85,7%), disusul Rajungan (10,0%), dan Kepiting (4,0%). Periode 2014-2018, produksi Crustacea Indonesia didominasi dari kegiatan perikanan budidaya (rata-rata 59,3%),” ungkapnya.

Namun, dengan potensi yang besar tersebut, pemanfaatan krustasea di Indonesia masih sangat minim bila dibandingkan dengan negara lain. “Pada 2017, total produksi perikanan budidaya udang Indonesia mencapai 919.959 ton, sebagian besar dihasilkan dari wilayah Jawa, disusul Sulawesi dan Sumatera,” katanya.

Dalam konteks perikanan tangkap, Menurut Prof. Rokhmin yang saat ini menjabat sebagai koordinator penasehat Menteri kelautan dan perikanan penyebab krustasea Indonesia belum terjamah secara optimal diantaranya pertama, sebagian jenis stok krustasea telah overfishing di beberapa wilayah perairan laut (WPP), dan yang lainnya masih underfishing di sejumlah wilayah perairan.

Kedua, Basis unit perhitungan stok SD krustasea adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang meliputi beberapa wilayah propinsi, sedangkan pengelolaannya berbasis wilayah administrasi propinsi.

Ketiga, Kontroversi pelarangan alat tangkap aktif (fishing gears) yang produktif dan efisien, namun dianggap merusak kelestarian SD krustasea dan lingkungan, seperti pukat udang (Permen KP No. 02/2015).  Di Kabinet Indonesia maju, pukat udang akan diizinkan di wilayah-wilayah perairan tertentu dengan pengendalian ekstra ketat.

Keempat, IUU (Illegal, Unregulated, and Unreproted) fishing, terutama oleh nelayan asing masih cukup marak di wilayah perbatasan atau yang tidak ada nelayan Indonesianya.

Kelima, Kerusakan ekosistem pesisir (mangroves, estuaria, dan terumbu karang) yang merupakan spawning ground, nursery ground, dan feeding (rearing) ground hampir semua jenis krustasea laut.

Keenam, Perusakan ekosistem danau, sungai, dan rawa oleh pencemaran, konversi ke man-made ecosystems (penggunaan lahan lainnya), dan overfishing telah mengancam sustainability (kelestarian) populasi udang galah dan spesies krustasea lainnya di ekosistem perairan tawar.

Ketujuh, Global warming dan ocean acidification mengakibatkan coral bleaching serta mengancam sustainability dari sumber daya krustasea, yang memerlukan Ca (Calcium) untuk pembentukan kulit dan carapace-nya.

Kedelapan, Perikanan tangkap krustasea tradisional (rakyat) pada umumnya menggunakan tekonologi penangkapan (fishing technology) sederhana (passive fishing gears), unit usahanya tidak memenuhi economy of scale, tidak menerapkan Best Handling Practices, dan tidak menggunakan manajemen rantai pasok terpadu (produksi – processing – marketing). “Akibatnya, produktivitas dan keuntungan nya rendah,” tandasnya.

Kesembilan, Pembagian hasil perikanan tangkap modern umumnya tidak adil. “Mayoritas ABK nelayan masih miskin,” tegasnya. 

Sedangkan dalam konteks budidaya, beberapa hal yang menjadikan krustasea di Indonesia belum tergarap optimal antara lain karena: sebagian besar usaha budidaya krustasea berskala mikro – kecil, hanya sekitar 15% yang modern sehingga roduktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability rendah, Permasalahan penyakit dan harga pakan serta sarana produksi lainnya yang tinggi dan cenderung meningkat, Pencemaran perairan, Konversi lahan budidaya krustasea ke penggunaan lain dan RTRW yang tidak melindungi usaha budidaya, Stabilitas dan kontinuitas rantai pasok, dan kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal, moneter, IPTEK, dan iklim investasi) belum kondusif bagi sektor Kelautan dan Perikanan.

Atas dasar hal tersebut, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut menegaskan jika sektor kelautan dan perikanan di Indonesia termasuk pemanfaatan potensi krustasea baik dalam konteks perikanan tangkap maupun budidaya harus betul-betul dikembangkan secara optimal dengan pertimbangan berbagai faktor dari hulu ke hilir. “Manajemen perikanan harus dilakukan dari hulu ke hilir,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER