Oleh: Imron Wasi
Beberapa bulan yang lalu, negara-negara dunia ketiga dikejutkan dengan penemuan suatu fenomena atau problematika yang kemungkinan dan secara eksplisit akan mengganggu stabilitas global—termasuk ekonomi, sosial, dan dinamika politik kontemporer. Lanskap relasi sosial, politik, dan ekonomi akan berubah seiring dengan meningkat dan meluasnya persebaran wabah pandemik Corona yang mematikan ini di seluruh negara-negara secara global. Perubahan-perubahan ini membutuhkan ketanggapan yang serba cepat, tepat, dan terarah/atau terukur dari pemerintah dan institusi-institusi birokrasi di wilayah domestik maupun transnasional.
Sejak munculnya keberadaan wabah pandemik Corona di Kota Wuhan, Tiongkok, atau yang lebih populer disebut sebagai China. Pada awalnya, memang negara-negara di dunia tampak tidak begitu memerhatikan atau mengabaikan wabah pandemik ini; seperti yang telah ditunjukkan oleh sebagian para pejabat di Indonesia. Mula-mula sebagian para elite politik atau perangkat negara (birokrasi, kepemimpinan) tampak begitu meremehkan kasus dari hasil temuan dan himbauan dari sejumlah peneliti serta lembaga yang memiliki korelasi dengan kesehatan manusia.
Sebagian pejabat dalam negeri, sedari awal, seolah-olah tidak memedulikan preseden yang telah terjadi di Kota Wuhan, Tiongkok. Akibatnya, setelah kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan memberitahu bahwa telah terjadi kasus wabah Corona pertama di Indonesia. Sejak saat itu, persebaran wabah virus Corona ini secara periodik mengalami peningkatan yang signifikan setelah terdapat gejala yang telah diidentifikasi. Tentunya, hal ini di luar dugaan dan sangat mengejutkan sejumlah perangkat negara, termasuk masyarakat.
Hal ini membuktikan bahwa pemerintah begitu shock dan tidak percaya terhadap meningkatnya wabah virus Corona di sejumlah wilayah Indonesia. Setiap harinya, Warga Negara Indonesia (WNI) ada saja yang masuk dalam kategori ODP, PDP, dan sebutan serupa lainnya. Kemudian, awal-awalnya, pemerintah Indonesia memang belum memberlakukan dan memutuskan suatu kebijakan publik yang bersifat strategis dan inheren untuk menangkal penyebaran wabah virus Corona. Namun, seiring meningkatnya jumlah kasus mengenai Corona di Indonesia: pemerintah mulai mengambil keputusan (decision making) di pelbagai sektor, terutama secara holistik. Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan telah diterbitkan: mulai dari Perppu, Keppres, PP, dan diikuti sejumlah peraturan tingkat K/L, di tingkat nasional dan subnasional.
Sejumlah regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah, tampak juga mendapatkan respon yang berbeda dari sejumlah pihak—pro dan kontra dari masyarakat pun mencuat ke permukaan. Secara praksis, regulasi ini cenderung tumpang-tindih, terutama yang mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagaimana yang diperlihatkan oleh regulasi dari Kemenkes dan Kemenhub yang mengatur sejumlah muatan aturan, misalnya, Permenkes dan Permenhub ihwal moda transfortasi online yang tidak boleh dan boleh membawa penumpang pada saat regulasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini dipraktikkan secara riil. Padahal, keputusan ini adalah keputusan yang sama-sama berada di tingkat/atau level kementerian.
Birokrasi
Dalam sebuah aturan yang tertera di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang menjelaskan bahwa, “Layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang”. Sedangkan, regulasi lainnya, yang selevel kementerian, memiliki penjelasan yang berbeda, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 18 Tahun 2020, pasal 11 ayat (1) huruf c, menjelaskan bahwa ojek daring atau sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkatan barang. Lebih lanjut, dalam regulasi itu pula dijelaskan secara eksplisit bahwa pada pasal 11 ayat (1) huruf d menerangkan bahwa sepeda motor tetap bisa mengangkut penumpang jika memenuhi protokol kesehatan, yang dimaksud dengan protokol kesehatan, yaitu: melakukan disinfeksi kendaraan dan atribut sebelum dan setelah selesai digunakan, menggunakan masker dan sarung tangan, dan tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit.
Bahkan, dikatakan juga dalam peraturan tersebut untuk tetap menjaga jarak fisik (physical distancing). Akan tetapi, hal ini justru akan menimbulkan kegelisahan baru dan membuat pelaksanaan peraturan tersebut begitu sukar diterapkan. Sebab, jarak yang berdekatan, misalnya, sepeda motor yang mengangkut penumpang, jaraknya tidak ada satu meter atau lebih, ditambah perlu menjaga dan mempersiapkan protokol kesehatan, tidak semuanya memiliki persiapan yang matang seperti yang diulas oleh regulasi di tengah-tengah ekonomi yang tersendat-sendat. Implikasi dari mewabahnya Corona di seluruh wilayah global, termasuk di Indonesia, telah memengaruhi sejumlah sektor-sektor strategis, seperti ekonomi. Setiap hari, kita dapat menyaksikan di layar monitor (gawai/televisi) atau secara ekslusif seputar ketidakstabilan ekonomi dan tentunya ini sudah pasti berimplikasi terhadap pendapatan masyarakat.
Sebagian besar masyarakat pun mengeluhkan situasi dan kondisi yang sudah berlarut-larut karena mewabahnya Corona. Karena, ekonomi mereka pun terhambat secara finansial. Bayangkan, misalnya, seorang kepala rumah tangga mencari penghasilan untuk keluarganya di tengah-tengah wabah pandemik Corona Virus Disease (Covid-19) ini otomatis pendapatan yang akan diperoleh tidak seperti semula, sebelum wabah Corona ini menjalar di seluruh wilayah yang terkena imbas dari Corona. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah memang belum optimal apabila kita melihatnya secara praksis riil—alih-alih memberikan himbauan untuk menjaga jarak fisik (physical distancing) kepada masyarakat dan membatasi sejumlah moda transfortasi, misalnya, kereta rel listrik (KRL): justru malah membuat masyarakat menumpuk di stasiun ketika hendak menaiki kereta untuk berangkat dan pulang kerja.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan juga semestinya dapat memerhatikan seluruh kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah serta dapat memerhatikan segala komponen perusahaan, apabila tidak meliburkan para pegawai, termasuk para karyawan yang setiap hari bekerja. Di tengah-tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), prosedur dan protokol kesehatan pun harus dipatuhi untuk menjaga kesehatan para karyawan sebagai salah satu mekanisme untuk menangkal wabah Corona ini. Di sisi yang lain, apabila perusahaan meliburkan para karyawan, otomatis produksi tidak akan berjalan dan akan menciptakan defisit secara finansial. Dan, akan berujung pada sejumlah keputusan yang akan memberhentikan para karyawan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Meskipun di satu pihak, pemerintah telah mengantisipasi ihwal sejumlah perusahan yang memutus hubungan kerja bagi para karyawan dengan sejumlah bantuan-bantuan dan melakukan skema program pemerintah.
Kemudian, terperanjatnya pemerintah dalam melawan wabah pandemik ini juga dapat dilihat dengan terdapatnya sejumlah informasi yang dilaporkan kepada masyarakat dan membuat masyarakat mengalami kebingungan. Seperti, pejabat publik A mengatakan A dan pejabat publik B mengatakan B. Hal ini membuat tidak adanya sinkronisasi informasi yang jelas dan terarah dari pusat. Selain itu, banyak juga ihwal lainnya yang menjadi sorotan, seperti keterbukaan informasi, komunikasi dan koordinasi yang belum mulus diterapkan. Padahal, dalam mengambil suatu kebijakan publik yang memiliki nilai substansial perlu memerhatikan komunikasi, koordinasi, dan sumber daya manusia.
Selanjutnya, pemerintah pusat seperti ‘kecolongan’ dalam mengawali komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah. Seperti yang telah banyak diulas di media massa, yang menyebutkan daerah tertentu sudah mengambil kebijakan sejak awal dengan menerapkan karantina wilayah—baik yang sifatnya semi lockdown maupun lockdown di sejumlah daerah. Hal ini dilakukan agar melindungi masyarakat di daerah yang dipimpin oleh kepala daerah—gubernur/bupati/atau wali kota. Namun, kebijakan yang telah dikeluarkan ini juga perlu mengedepankan dan memerhatikan masyarakat secara umum. Dengan kata lain, perlu adanya pertimbangan-pertimbangan lainnya, seperti kebutuhan primer dari masyarakat, kesehatan, dan lain sebagainya yang harus dipenuhi. Banyak negara-negara global yang sudah menerapkan lockdown sejak awal—memang di sejumlah negara yang mengambil kebijakan lockdown ini ada yang berhasil dan kurang optimal diterapkan. Karena, terkesan serampangan dan terburu-buru dalam membuat kebijakan dan tidak memerhatikan pertimbangan yang krusial lainnya.
Setelah itu, pemerintah pusat melakukan serangkaian kebijakan untuk mengatur wabah Corona ini yang sudah dikategorikan sebagai ‘bencana nasional’ ini agar selaras dengan instruksi dari pusat. Seperti yang telah ditekan oleh Presiden secara mutakhir, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) sebagai Bencana Nasional. Langkah ini diambil untuk membuat penanganan Corona di seluruh wilayah Indonesia sesuai instruksi dan arahan dari pusat.
Lebih lanjut, pemerintah membuat keputusan tentang peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang tertuang dalam pedoman Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020. Dalam regulasi ini, dijelaskan pelbagai macam peraturan PSBB. Kemudian, dengan terbitnya peraturan ini membuat sejumlah kepala daerah: gubernur, bupati/atau wali kota secara bersamaan mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ke Kementerian Kesehatan yang memiliki wewenang untuk memutuskan wilayah-wilayah tertentu perlu menerapkan PSBB atau tidak sesuai dengan pelbagai pertimbangan-pertimbangan. Sebagaimana yang telah tertera dalam Pasal 8 (2), yang menjelaskan bahwa Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan rekomendasi tim dan memperhatikan pertimbangan dari Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam kaitan tersebut, pemerintah pusat tidak serampangan dan sangat memerhatikan segala aspek yang berkenaan dengan kondisi kemampuan daerah dalam menerapkan PSBB nantinya. Bahkan, dalam regulasi tersebut dijelaskan juga bahwa menteri membentuk tim, yang bertujuan untuk melakukan serangkaian kajian ihwal epidemiologis dan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan. Selanjutnya, gubernur, bupati/atau wali kota yang akan menerapkan kebijakan PSBB di daerahnya perlu berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, dalam hal ini, menteri kesehatan, dengan mengajukan sejumlah persyaratan yang mesti ditempuh terlebih dahulu. Namun, ternyata kebijakan yang diterapkan ini mendapatkan respon kritik dari sejumlah pihak, karena masih lamban dan berbelitnya pengajuan PSBB di birokrasi, meskipun pemerintah sudah berusaha melakukan yang terbaik dengan pelbagai metode yang sudah ditempuh.
Meminjam perspektif Max Weber, yang menyadari bahwa birokrasi modern itu persis sebuah pabrik. Di tengah perkembangan industrialisasi yang semakin hari hadir di sejumlah daerah menuntut birokrasi agar mampu beradaptasi dengan dunia modern. Masyarakat membutuhkan birokrasi yang legal-rasional, yakni mengedepankan kepentingan umum atau dalam bahasa lain, memberikan pelayanan prima untuk masyarakat: bukan malah terjebak pada keadaan yang akan memperburuk citra birokrasi atau mengalami sebuah erosi pelayanan. Biasanya, birokrasi akan dihadapkan pada persoalan kelompok kepentingan. Oleh karena itu, di masa sekarang dan yang akan datang, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan prima dari birokrasi sebagai entitas perangkat kenegaraan.
Seorang budayawan, sastrawan yang sekaligus sejarawan atau lebih tepatnya—cendekiawan—Kuntowijoyo pernah mengulas dalam studinya, bahwa dalam buku-buku teks birokrasi tanggung jawab berarti harus ada komunikasi timbal balik dengan badan yang mengontrol. Menurutnya, sebuah birokrasi yang rasional peranan partai ialah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan melakukan kontrol terhadap birokrasi. Tampaknya, kita belum sampai pada taraf birokrasi yang diharapkan, yaitu birokrasi yang legal-rasional.
Prospek Transformasi
Sudah penulis ulas di atas mengenai sejumlah transformasi yang akan mengalami perubahan setelah wabah pandemik Corona ini usai. Tatanan global pasti akan mengalami perubahan di beberapa sektor—bahkan negara-negara yang mampu mengatasi wabah virus Corona ini akan dapat dijadikan parameter dan diakui dunia. Namun, perlu kita telusuri bersama: negara-negara secara global memang terkena dampak virus mematikan ini, termasuk negara-negara adikuasa seperti AS dan China, di mana virus ini pertama kali muncul di Kota Wuhan, Tiongkok. Mewabahnya virus Corona ini yang menjalar di AS, mengakibatkan korban yang terkena virus Corona melonjak tinggi. Biasanya, beberapa wilayah yang terkena imbas Corona, berawal dari episentrum negara yang berada di pusat kota, dikarenakan detak jantung negara dan aktivitas yang begitu padat-merayap.
Negara-negara adikuasa pun tak mampu membendung menjalarnya wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini, bahkan seperti seolah terseok-seok dalam mengatasinya. Oleh karena itu, dalam mengatasi wabah pandemik global ini membutuhkan uluran tangan dari seluruh komponen: domestik dan global. Jadi, antara masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama saling bergotong-royong sebagai langkah/atau upaya preventif untuk mempersulit menyebarnya wabah Corona serta keterlibatan negara-negara global. Tak berhenti di situ, dibutuhkan komitmen, pemahaman, dan kepercayaan bersama dalam melawan pandemik Corona ini. Sebab, bukan sebatas persoalan kesehatan semata, namun yang juga turut diperhatikan yaitu implikasi dari wabah pandemik Corona.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Heywood (2017), tugas-tugas seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, penanganan pemanasan global, penghentian proliterasi senjata pemusnah massal dan penanganan penyakit-penyakit pandemik tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing negara secara sendirian, betapapun kuatnya negara tersebut.
Dalam uraian tersebut, memang kejadian ini perlu membutuhkan empati bersama secara global bahwa ini adalah persoalan yang mengancam peradaban dunia. Jadi, dibutuhkan keseriusan untuk menjaga stabilitas global—terutama peradaban dunia. Di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi global, Indonesia harus bisa mengambil keuntungan dan dapat memaksimalkan setiap persoalan menjadi suatu kesempatan yang memiliki nilai substansif. Berbagai kebijakan dan program yang telah dibuat oleh pemerintah harus tepat sasaran dalam pelaksanaanya, karena anggaran yang digelontorkan melalui APBN begitu besar. Dan, pengawasan juga harus menjadi prioritas utama dalam menjalankan program sampai ke tingkat akar rumput (grass roots).
Melihat problematika yang diawali dengan syoknya pemerintah dalam wabah Corona ini ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam menjalankan mobilitas kenegaraan, misalnya, komunikasi dan koordinasi para pejabat di tingkat K/L antara pusat dan daerah harus secara intensif dilakukan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang krusial bagi tumbuhnya birokrasi rasional. Hal ini sebagai suatu ikhtiar bersama untuk memperbaiki tatanan kenegaraan. Selain itu, ketegasan juga diperlukan untuk mempertegas suatu kebijakan publik. Terakhir, perlu adanya sublimasi di berbagai sektor ke arah yang lebih baik setelah wabah pandemik Corona ini hilang.
*Penulis adalah Mantan Wakil Presiden Mahasiswa dan Presiden Mahasiswa STISIP Setia Budhi, kini terlibat aktif di Banten Institute for Governance Studies (BIGS), Tirtayasa Cendekia, Oraganisasi Kepemudaan dan Kemahasiswaan, sekaligus Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).