Jumat, 29 Maret, 2024

Biaya Penetapan Harga Gas Industri

Oleh: Fahmy Radhi*

Pemerintah akhirnya memutuskan penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per Million Metric British Thermal Units (MMbtu) di plant gate konsumen, yang berlaku mulai 1 April 2020. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arfin Tasrif penetapan harga gas tersebut mengikuti Perpres Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres itu mengatur bahwa Pemerintah akan mengambil diskresi berupa penetapan harga gas bumi tertentu apabila terpenuhi dua indikator, yaitu: tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna Gas Bumi, dan harga gas bumi hulu lebih tinggi dari US$ 6 per MMbtu.

Tujuan utama penetapan harga gas bumi hingga $ 6 per MMbtu untuk meningkatkan daya saing industri, baik di pasar dalam negeri, maupun pasar ekspor. Penurunan harga gas tersebut juga diterapkan untuk sektor kelistrikan dalam rangka menyediakan listrik yang terjangkau bagi masyrakat dan mendukung pertumbuhan industri.

Kalau mendasarkan pada cost and benefit, penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMbtu sesungguhnya lebih besar biaya (cost) daripada keuntungan (benefit). Biaya tersebut harus ditanggung oleh Pemerintah, sektor Hulu dan sektor Midstream. Biaya yang ditanggung oleh Pemerintah adalah melepas penerimaan negara dari sektor Hulu sebesar $ 2,2 per MMBtu, yang akan menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam jumlah yang besar.

- Advertisement -

Penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan Pemerintah Daerah dari pendapatan bagi hasil, yang besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP. Penurunan penerimaan negara dari hulu ini akan berdampak langsung terhadap APBN tahun berjalan. Dampaknya, negara harus kreatif mencari sumber penerimaan baru untuk menambal defisit APBN 2020, yang diperkirakan mengalami defisit Rp. 307 triliun. Tidak berlebihan dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa penetapan harga gas sebesar US$ 6 per MMbtu akan memperbesar defisit APBN.

Biaya yang akan ditanggung oleh sektor Hulu adalah pemangkasan harga jual hingga mencapai antara US$ 4-4,5 per mmbtu. Penurunan itu akan menjadi potential lost hingga mengurangi margin, yang sudah ditetapkan POD.  Dampaknya, pemangkasan harga jual itu akan menjadikan investasi di sektor Hulu Migas menjadi tidak kondusif lagi. Pasalnya, diskresi Pemerintah tersebut mengurangi margin, yang seharusnya diterima investor sektor hulu.

Biaya yang ditanggung di sektor midterm akibat penetapan harga gas industri itu adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi serta biaya pemeliharaan hingga mencapai antara US$ 1,5-2 per mmbtu. Penurunan itu berpotensi menjadikan badan usaha midterm tidak hanya merugi, tetapi juga menghambat dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir. Agar pembangunan pipa tetap berlangsung, Pemerintah perlu memberikan kompensasi agar sustainability penyaluran gas bumi ke depan tidak terhambat atau bahkan mandeg.

Penurunan biaya midstream sebenarnya merupakan kekeliruan lantaran memposisikan badan usaha midterm untuk memberikan subsidi kepada industri, tanpa pemberian kompensasi dari Pemerintah. Pada pendistribusian BBM oleh Pertamina, yang diatur dalam Perpres 191/2014, yang diubah dalam Pepres 43/ 2018, sangat melindungi Pertamina. Perlindungamn itu dilakukan  dengan memberikan ruang pengaturan di mana negara akan memberikan kompensasi apabila terjadi kekurangan penerimaan dari badan usaha. Bukan malah sebaliknya membiarkan badan usaha menderita kerugian.

Kementerian ESDM seharusnya melaksanakan saja ketentuan yang diatur dalam Permen ESDM No. 58/2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir Migas yang sudah efektif berlaku per Juli 2019. Namun sampai sekarang Permen itu belum juga dilaksanakan. Permen ESDM Nomor 58/2017 itu merupakan salah satu upaya yang dibangun oleh Kementerian ESDM sendiri untuk membuat rasional dan transparan dalam perhitungan harga jual gas bumi.

Penetapan harga gas bumi untuk industri pun seharusnya tetap menjaga keberlangsungan usaha dari badan usaha hilir gas bumi. Dalam RPJMN 2020-2024, dibutuhkan pendanaan yang berasal dari kontribusi badan usaha untuk pembangunan infrastruktur hilir gas bumi sekitar Rp. 43,3 triliun, Rp. 36,4 triliun untuk pembangunan pipa gas bumi Trans Kalimantan dan Rp. 6,9 triliun merupakan kontribusi BUMN untuk pembangunan 4 juta sambungan Jaringan Gas (Jargas) rumah tangga. Proyek infrastruktur hilir gas bumi yang juga akan menyedot pendanaan besar dari badan usaha midterm adalah program gasifikasi pembangkit PLN di 52 lokasi yang diperkirakan memerlukan pendanaan USD 2,2 miliar.

Alasan bahwa penurunan harga gas untuk PLN akan mengurangi kompensasi dan subsidi listrik merupakan argumentasi yang tidak mendasar. Pasalnya, proporsi gas dalam bauran energi pembangkit listrik hanya 15%, sedangkan proporsi terbesar masih didominasi oleh Batubara sebesar 57%. Bahkan, pada saat Pemerintah menetapkan DMO harga batubara sebesar US$ 70 per metric ton pada saat harga batu bara dunia mencapai US$ 100 per metric ton, juga tidak menurunkan kompensasi dan subsidi listrik.

Sedangkan benefitnya penetapan harga US$ 6 per MMbtu belum tentu menaikkan daya saing industri. Alasannya, beberapa variabel biaya lain, termasuk pajak, masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah. Penetapan harga gas sebesar $ 6 per MMbtu seharusnya hanya diperuntukan  untuk 7 industri strategis saja, bukan seluruh industri, yang terdiri:  industri pupuk,  industri petrokimia, industri oleochemical,  industri Baja,  industri keramik,  industri kaca, dan  industri sarung tangan karet, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Dalam rapat kabinet terbatas, Presiden Jokowi memberikan warning kepada Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian agar industri yang diberikan insentif penurunan harga gas harus dapat menaikkan daya saing dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Kalau ternyata tidak memberikan kontribusi signifikan, maka penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMbtu sebaiknya dibatalkan saja. Pasalnya, kebijakan pemerintah itu lebih besar biaya yang harus ditanggung ketimbang benefit yang diperoleh.

*Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER