Oleh: Imron Wasi
Coronavirus disease (Covid-19) begitu populer beberapa pekan terakhir. Hal ini dipicu karena mewabahnya Covid-19 ini di pelbagai penjuru dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak spekulasi dan interpretasi yang berkembang di ruang publik (public sphere) kita mengenai awal menyebarnya mata-rantai Covid-19 ini. Seperti spekulasi yang berkembang yaitu, Covid-19 ini adalah suatu pola/atau refleksi dari para konspirator global untuk menciptakan instabilitas negara-bangsa (nation-state), dan tentunya akan memengaruhi ekonomi dunia. Bahkan, dalam suatu kesempatan, saya pernah mendengar bahwa ini adalah kelanjutandari perang dagang negara adikuasa, Amerika Serikat dan Tiongkok, yang belum mereda. Di sisi yang lain, spekulasi lainnya juga mengatakan bahwa ini adalah salah satu mekanisme senjata biological yang digunakan oleh para teroris.
Namun, untuk menjawab pelbagai spekulasi yang tengah berkembang ini memerlukan rasionalitas yang tinggi dan diperkuat juga oleh sebuah analisa yang diperoleh dari hasil riset yang aktual serta melakukan upaya kajian mendalam antarlembaga lintas sektoral. Terlepas dari spekulasi yang masih berkembang, Covid-19 ini memang sudah memberikan impact yang cukup signifikan terhadap relasi sosial dan ekonomi. Secara eksplisit, tentunya memengaruhi aktivitas warga dalam kaitannya dengan ekonomi. Di negara-negara yang sudah terkena imbas dari meluasnya pandemi Covid-19 ini, telah memutuskan kebijakan-kebijakan domestik untuk mencegah menularnya Covid-19; kebijakan-kebijakan yang diambil tentunya memiliki nilai (value) yang subtansial untuk melindungi seluruh umat manusia, atau secara populer dapat dikatakan untuk menjaga suatu peradaban.
Indonesia, misalnya, telah memutuskan untuk melakukan langkah preventif sedari awal dan membangun langkah-langkah konkret, seperti menerapkan kebijakan social distancing, menyediakan sejumlah rumah sakit (RS) rujukan, mempersiapkan segala peralatan untuk melindungi para tim medis dan relawan yang bertugas untuk mengobati manusia yang secara positif teridentifikasi Covid-19, orang dalam pengawasan (ODP) maupun sebutan serupa lainnya. Bahkan pemerintah Indonesia telah membuat serangkaian skema atau tahapan dalam menghadapi Covid-19 ini, terutama yang akan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan hubungan antarmanusia dalam kurun waktu tertentu. Keputusan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi wabah Covid-19 ini tentu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sikap kehati-hatian. Berbeda dengan negara-negara lainnya, yang menerapkan kebijakan lockdown. Saat ini, Selasa (24/3/2020), Indonesia masih menggunakan social distancing sebagai langkah awal untuk memutus mata-rantai Covid-19.
Dalam hal ini, tampaknya pemerintah juga serius dalam mengatasi wabah virus berbahaya ini dengan melakukan pelbagai prosesi dalam upaya menangkal agar tidak terjadi penyebaran di mana-mana. Misalnya, pemerintah membuat keputusan di bidang transportasi umum dengan membatasi kendaraan yang akan berlalu-lalang, kursi yang tersedia diberikan jarak satu kursi, menjaga kebersihan, mengikuti sejumlah himbauan dari pemerintah (pusat maupun daerah), dan sejumlah langkah-langkah konkret lainnya. Pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mencegah dan menghentikan virus yang notabene akan mengganggu aktivitas sosial peradaban. Sebab, Covid-19 ini akan mematikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Anak Muda dan Kedai
Di tengah banjirnya informasi mengenai perkembangan Covid-19 di pelbagai dunia ketiga, terutama Indonesia, telah membuat masyarakat mengalami kekhawatiran yang cukup mendasar. Meskipun, di sisi yang lain, masyarakat juga memperoleh informasi cepat dan aktual. Namun demikian, dengan adanya informasi yang beragam membuat masyarakat, terutama anak muda perlu mencerna dengan baik dan memfilter informasi yang didapatkan secara holistik. Dengan kata lain, masyarakat dan anak muda perlu menjalin kekuatan secara kolektif untuk mencegah berkembangnya disinformasi atau hoaks di tengah-tengah mewabahnya pandemi Covid-19. Dan, pemerintah juga tidak boleh abai dan lamban dalam mengatasi problematika semacam ini.
Di media massa, kita dapat menyaksikan bahwa anak muda cukup membandel, dengan tidak mematuhi himbauan dari pemerintah, dengan masih melakukan aktivitas di pelbagi kedai. Padahal, anak muda memiliki asa yang besar sebagai penerus peradaban. Anak muda dengan varian jenis dan karakteristiknya memiliki jiwa yang tinggi dan menaruh perhatian terhadap perkembangan dunia. Seperti yang telah diungkapkan oleh Paulo Freire (2007), bahwa jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan ‘muncul’ ke permukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration) atas dunia sebagai objek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang menyerah pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat berpikir secara bebas.
Berdasarkan perspektif tersebut, anak muda memiliki sikap kritis terhadap pelbagai persoalan yang sedang mengemuka di ruang-ruang publik: ditambah anak muda yang memang dapat mengikuti perkembangan dunia melalui pemanfaatan teknologi di era disrupsi sekarang ini. Tak heran, apabila kita menemukan anak-anak muda di tempat tongkrongan yang dilengkapi aksesori fasilitas yang mendukung dialektikanya dan biasanya mempunyai nalar yang unggul. Di era industri semacam ini, memang anak-anak muda dapat memanfaatkan ruang-ruang publik yang dipenuhi fasilitas lengkap, misalnya, Wi-Fi jaringannya cepat, ruangan bersahaja dan dingin, dan tentunya harga makanan dan minuman yang cukup terjangkau, atau dalam bahasa lain sesuai dengan uang yang berada di saku. Ruang-ruang publik inilah yang menjadi alat belajar yang bisa digunakan untuk diskusi, kajian, dan mendalami sebuah perbincangan yang esensial mengenai perkembangan negara-bangsa. Namun, berhubung sedang maraknya kita melawan viruscorona ini, tentunya, kita harus mengikuti himbauan dari pemerintah dalam kurun waktu yang telah diputuskan. Jadi, kita menunda aktivitas yang diikuti oleh massa dalam jumlah banyak dan sudah pasti hal ini akan mengganggu ekonomi kelas menengah ke bawah secara gamblang. Secara otomatis, mobilitas sosial masyarakat terhambat. Akan tetapi, ini untuk kebaikan bersama demi terwujudnya Indonesia dan dunia yang damai dan sejahtera.
Selain itu, di tengah melandanya pandemi Covid-19 ini, ada rencana anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan mengikuti tes massal Covid-19. Yang rencananya, akan dilaksanakan pada Kamis (25/3/2020). Sebagaimana kita ketahui, bahwa terdapat sejumlah 575 anggota DPR RI yang menduduki kursi parlemen ini. Tak berhenti sampai di situ, bahkan, rencananya sopir dan asisten rumah tangga dari wakil rakyat ini akan dites pula. Tinggal dikalkulasikan, misalnya, satu wakil rakyat terdiri dari empat orang dalam satu keluarga dengan jumlah populasi wakil rakyat sebanyak 575.
Sepanjang wacana/atau rencana ini dibuka ke khalayak publik, tentunya publik langsung merespon dengan sikap sinis. Hal ini tak lepas dari ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat selama ini. Pada dasarnya, warga yang semestinya diprioritaskan oleh lembaga parlemen ini; bukan malah sebaliknya, mementingkan diri sendiri/atau kelompoknya. Begitulah respon atau sikap yang ditampilkan oleh masyarakat, terutama anak-anak muda. Meskipun pada perjalanannya, ketika rencana ini bergulir, ada penolakan juga dari sebagian parpol.
Selanjutnya, komunikasi pemerintah juga tampak menjadi sorotan. Karena, pada awalnya, kebijakan yang diterapkan berbeda antara pusat dan daerah atau dengan kata lain, tidak satu suaranya menyikapi wabah pandemi Covid-19 ini sebelum ditunjuknya juru bicara. Dalam kaitan itu, semestinya, keputusan yang diambil sejak awal perlu terintegrasi dengan baik dan optimal agar keputusan yang dibuat tidak membingungkan masyarakat. Di satu pihak, kita juga patut belajar dari pengalaman yang sudah-sudah mengenai suatu wabah yang dapat mengancam keutuhan negara-bangsa (nation-state). Seperti, adagium yang sering kita dengar sehari-hari bahwa sejarah adalah guru kehidupan (historia vitae magistra). Dan dengar pengalaman empiris sejarah itu, kita akan lebih arif dalam memaknai sebuah problematika, terutama dalam berpikir, bentindak, dan berbuat.
Ketegasan pemerintah sangat diperlukan dalam menerapkan dan mengaktualisasikan kebijakan di sela-sela pandemi Covid-19 ini. Artinya, pemerintah perlu tegas dalam upaya mencegah viruscorona ini, karena negara memiliki otoritas besar itu. Seperti yang telah dikatakan oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo (2018: 232), dalam studinya, bahwa negara adalah kekuatan pemaksa (coercion). Artinya, negara memiliki wewenang itu, untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia.
Semua perlu mendorong dan membantu pemerintah dalam mengatasi masalah yang rumit ini agar cepat berlalu. Kita perlu bersama-sama, berbondong-bondong kerja sama dalam mengatasi masalah ini. Semua komponen perlu terlibat aktif, termasuk komunikasi struktural antarlembaga perlu secepatnya dilakukan sampai ke tingkat akar rumput (grass root). Agar masyarakat yang di pedesaan juga memafhumi bahaya virus yang sedang menggrogoti Indonesia. Dan, sebagai anak muda, kita tidak boleh menyepelekan Covid-19 ini. Karena, anak muda pun memiliki potensi yang dapat membawa virus ini kepada keluarga dan lingkungan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa bekerja secara sendirian dalam memulihkan situasi seperti ini, negara juga membutuhkan warganya dan kontribusi negara-negara global lainnya sangat dibutuhkan untuk memerangi viruscorona ini. Tugas-tugas seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, penanganan pemanasan global, penghentian proliterasi senjata pemusnah massal dan penanganan penyakit-penyakit pandemik tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing negara secara sendirian, betapapun kuatnya negara tersebut. (Andrew Heywood: 2017).
Heywood menjelaskan bahwa negara-negara, dalam situasi-situasi seperti ini, terpaksa harus bekerja sama, dan harus mengandalkan usaha-usaha yang bersifat kolektif. Permasalahan ini menjadi persoalan global yang membutuhkan sikap saling bahu-membahu dan bergorong royong dalam meredam Covid-19 ini. Dengan kata lain, hal ini menumbuhkan sikap saling ketergantungan antarnegara dalam menyelesaikan permasalahan ini. Meminjam perspektif akademik dari Keohane dan Nye (1977), yang menjelaskan bahwa jaringan hubungan semacam itu telah menciptakan sebuah kondisi ‘saling-ketergantungan kompleks’, di mana negara-negara ditarik ke dalam kerja sama dan integrasi oleh kekuatan-kekuatan seperti hubungan-hubungan perdagangan dan hubungan-hubungan ekonomi lain.
*Profil Penulis
Imron Wasi adalah seorang pria kelahiran Lebak, Banten. Lahir pada 13 April 1996. Ia menyelesaikan studi Strata 1 (S-1) di STISIP Setia Budhi dan memperoleh gelar S.Sos. Dan ia pernah menjabat sebagai wakil presiden mahasiswa dan presiden mahasiswa STISIP Setia Budhi. Dan sekarang terlibat aktif pula di Banten Institute for Governance Studies (BIGS), Tirtayasa Cendekia, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan sekaligus kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) serta Lebak Institute.