Selasa, 23 April, 2024

300 Orang dari Asia Pasifik Akan Ikut Indonesia Peacebuilder Forum

MONITOR, Jakarta – Sejalan dengan kepedulian global akan pentingnya pendekatan gender untuk P/ CVE, The Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Universitas Brawijaya, Fakultas Ilmu Politik, bekerja sama untuk memprakarsai Indonesia Peacebuilders Forum 2019.

Agenda tersebut rencananya akan dilaksanakan di Malang pada 26 hingga 28 November 2019. Akan hadir juga 300 perwakilan yang datang dari wilayah Asia Pasifik dengan beragam latar belakang mulai dari pembuat kebijakan, organisasi non-pemerintah, Perguruan Tinggi, media, sektor swasta, Badan PBB, lembaga ASEAN hingga pemimpin agama.

Sebagai informasi, ketertalian perempuan dalam aksi-aksi terorisme terus meningkat. Kasus terbaru Solimah, istri dari tersangka teroris Abu Hamzah, pada 13 Maret 2019 di Sibolga, Sumatera Utara, memutuskan untuk meledakkan dirinya dengan anaknya yang berumur dua tahun daripada harus menyerah kepada penegak hukum.

Setahun sebelumnya (2018), Puji Astuti bersama dengan dua orang anak perempuan menjadi pembom bunuh diri di sebuah gereja di Surabaya. Pengeboman juga dilakukan bersama dengan suami dan dua putranya di dua gereja lain di lokasi yang berbeda.

- Advertisement -

Menurut Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah, kasus perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, teurutama keluarga, memberikan alarming pada kita semua tentang lemahnya gender maintreaming dalam respon pemerintah dan non pemerintah dalam ekstrmisme kekerasan.

Tampak nyata bahwa kelompok ekstrimis semakin lihai membangun narasi gender yang menimbulkan rasa pembebasan atau pemberdayaan, padahal secara nyata tubuh perempuan dipakai oleh kel teroris karena dianggap tidak berdosa (Innocent).

”Di sisi lain, dalam Resolusi 1325 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di mana dalam resolusi pertama yang menyebutkan secara eksplisit tentang perempuan di bawah dewan keamanan,” ungkap Ruby, Selasa (28/10/2019).

Hal utama yang menjadi dasar PBB mengeluarkan hal tersebut, ungkapnya terdapat tiga hal. Pertama, terorisme dan extrimisme telah menjadi trend global, penting untuk diintegrasikan ke dalam pelaksanaan resolusi 1325. Karena ini menyangkut persoalan keamanan perempuan. Dilihat dari tiga konteks negara seperti Kenya, Nigeria dan Indonesia, tampak jelas bahwa perempuan kalau tidak dijadikan instrumen terorisme, mereka dijadikan target keamanan.

Kedua, dokumentasi tentang perempuan bekerja untuk CVE perlu dilakukan karena ini merupakan basis dari pengetahuan untuk menundukkan ekstrimisme dengan melibatkan peran perempuan secara signifikan. Ketiga, distribusi pendanaan untuk masyarakat sipil menjadi penting. Mengecilnya sumber-sumber pendanan masyarakat sipil terutama dalam context CVE.

Menurutnya, persoalan extrimisme dan terorisme tidak cukup hanya direspon menggunakan resolusi 1325. Kenyataannya banyak perempuan dijadikan instrumen dalam radikalisasi baik sebagai bagian dari aksi teror maupun sebagai korban. Berdasarkan laporan dunia perempuan dijadikan instrumen oleh kelompok-kelompk teroris dan extrimisme.

”Dalam dokumen UN resolusi 2242 juga dijelaskan bagaimana media dan teknologi menjadi bagian penting dipakai oleh kelompok ekstrimis. Untuk itu, penting melakukan penguatan tentang program prevention dan resolusi konflik,” tegasnya.

Pengalaman dan pengetahuan tentang P / CVE dan pendekatan Gender serta ulasan tentang bagaimana pendekatan gender digunakan untuk menanggapi P / CVE, agar dapat menyusun strategi kebijakan dan intervensi di masa depan pada P / CVE. 

”Indonesia Peacebuilders Forum 2019 merupakan upaya untuk menjadi platform di mana para praktisi, akademisi, pembuat kebijakan, dan sektor swasta dapat bertemu untuk mencerminkan dan mendorong pendekatan seluruh masyarakat dengan kepatuhan terhadap kesetaraan gender dan hak asasi manusia,” pungkasnya. 

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER