HUKUM

Pasal Penting RUU Pemindahan Ibu Kota

MONITOR, Jakarta – Pemerintah menargetkan penyerahan rancangan undang-undang (RUU) tentang pemindahan ibu kota ke DPR akhir tahun ini, demikian disampaikan oleh salah satu menteri periode 2014-2019. Terkait dengan RUU tersebut, pakar komunikasi poliitk, Emrus Sihombing mengatakan banyak hal yang urgent yang harus dirumuskan dalam RUU tersebut agar kelak rencana pemindahan ibu kota negara tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak mendapat permasalahan yang signifikan dari aspek hukum.

“Saya melakukan diskusi interaktif dengan salah satu pakar hukum terkemuka dari universitas sangat terkemuka pula di Kalimantan Timur (Kaltim) . Hasil diskusi tersebut, kami menemukan banyak hal yang urgent yang harus dirumuskan dalam RUU tersebut agar kelak rencana pemindahan ibu kota negara tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak mendapat permasalahan yang signifikan dari aspek hukum,” kata Emrus melalui keterangan tertulisnya kepada MONITOR. Jumat (30/8/2019).

Adapun beberapa kesimpulan utama dari hasil diskusi dan kajian Emrus antara lain: Keputusan politik pemindahan ibu kota ke Kaltim akan mempengaruhi bangunan hukum pada masa depan terutama mendudukan status ibu kota dalam kerangka administratif ke wilayahan. Dalam perspektif hukum, keputusan ini juga tidak ada yang salah oleh karena memang kapasitas hukum selalu tidak mampu mengejar peristiwanya. Hukum sebagai instrumen akan menyesuaikan fakta politik, dan fakta sosial lainnya. Ini juga sekaligus sebagai respon terhadap varian persepsi sosial yang ‘masih’ ada pandangan tidak layak atau layak atas pemindahan ibu kota.

“Suatu catatan penting dalam diskusi kami, lokasi yang ditunjuk itu sebagai ibu kota negara yang baru di Kaltim merupakan wilayah Republik Indonesia yang sama dengan Jakarta. Karena itu, penetapan sebagaian wilayah Kaltim menjadi ibu kota negara tidak akan pernah akan dianggap salah dari sisi hukum,” ujarnya.

Di sisi lain, lanjut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu proses legislasi akan terus mengemuka dan tak terhindarkan dari seluruh tahapan proses pembangunan serta pemindahan ibu kota untuk merespon berbagai kebutuhan yang terkait dengan pengaturan menganai daerah khusus ibu kota.

Untuk itu, katanya dalam RUU harus digagas pada beberapa element yang sangat penting yaitu, aspek kepastian titik koordinat area inti dan penyangga ibu kota, lahan yang berstatus hak, aspek lingkungan, dan larangan atas praktek ketidakpastian berusaha terkait dengan pengembangan ibu kota dan sekitarnya.

“Selain itu, dalam RUU tersebut harus juga dibuat pasal-pasal yang sifatnya antisipatif agar benar-benar ibu kota yang baru ini dapat diwujudkan,” tegasnya.

Menurut Emrus, Ada tiga pasal yang sifatnya antisipatif dalam RUU tersebut.

Pertama, menetapkan interval waktu dalam bentuk tahun yang terukur proses pembangunan dan pemindahan ibu kota. Misalnya, pembanguan dan pemindahan ibu kota negara selama 20 tahun.

Kedua, atas dasar interval waktu tersebut, dalam RUU mewajibkan setiap presiden berikutnya melanjutkan pembangunan sesuai dengan bagian yang ditugaskan kepadanya yang sudah dirumuskan dalam RUU ini.

Ketiga, perlu dipikirkan dalam RUU tersebut melarang Paslon Capres-Cawapres mengkampanyekaan penghentian pembangunan dan pemindahan ibu kota.

Keempat, siapapun (pejabat negera, pemerintah maupun pihak swasta) melakukan korupsi terkait pembangunan dan pemindahan ibu kota diberi hukuman sangat berat.

“Jika RUU ini dibuat sangat hati-hati dan bagus, maka dapat mendukung terwujud ibu kota negara kita yang clean city, beautiful city, green city dan smart city yang bertaraf internasional,” ungkap Emrus.

“Oleh karena itu, siapapun kita, utamanya para politisi, penyelenggara negara, pejabat pemerintah yang ada di Jakarta harus berbangga dan berbahagia bahwa ada ‘wilayah’ pengujian ‘kecerdasan’ baru. Apakah memikirkan Indonesia akan lebih ‘secerdas’ saat mereka bermukim di Jakarta atau kecerdasan mulai ‘terusik’ saat berhadapan dengan realitas pembangunan pemindahan ibu kota yang jauh lebih baik? Instrumen hukumlah yang bisa menyadarkan bahwa memindah ibu kota negara sama sekali bukan perbuatan ‘permufakatan pelanggaran hukum’.” pungkasnya.

Recent Posts

Dipimpin Puan, Reformasi DPR Diawali Gebrakan Progresif

MONITOR, Jakarta - Langkah DPR RI berbenah diri di bawah kepemimpinan Ketua DPR Puan Maharani…

1 jam yang lalu

Nadiem jadi Tersangka, JPPI: Pendidikan Harus Dibersihkan dari Gurita Korupsi

MONITOR, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengatakan penetapan Eks Mendikbudristek…

3 jam yang lalu

Gagal Lolos Parlemen, Mardiono Dinilai Tak Layak Pimpin PPP Lagi

MONITOR, Jakarta - Politisi senior PPP Jakarta yang juga eks Anggota DPRD DKI Jakarta dua…

5 jam yang lalu

Prof Rokhmin Dahuri serukan Aksi Kolektif selamatkan DAS Cimanuk – Citanduy

MONITOR, Indramayu - Anggota DPR RI 2024–2029, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri menyerukan aksi kolektif…

6 jam yang lalu

Peringati Maulid, Menag Kenalkan Konsep Ekoteologi pada Presiden dan Wapres

MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menghadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah…

7 jam yang lalu

Dari Jaring Laba-Laba ke Zakat, Yulianti Dorong Skema Dana Darurat Korban Kekerasan Seksual

MONITOR, Makassar - Yulianti Muthmainnah, Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITBAD Jakarta sekaligus…

8 jam yang lalu