MONITOR, Jakarta – Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan penambahan anggota baru dalam koalisi Indonesia Kerja (KIK) justru akan menimbulkan satu resiko politik di internal koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf nantinya.
Pasalnya, dukungan kekuatan sebesar 60 persen yang dimiliki Presiden Jokowi sudah cukup aman dalam menjalankan pemerintahan jilid II di lima tahun ke depan.
“Justru menurut saya kalau ada penambahan anggota koalisi itu justru akan menciptakan resiko politik di internal yang tidak mudah bagi presiden. Dan kedua, akan menciptakan kerepotan politik juga yang tak mudah untuk mengelolanya,” kata Arya, di Jakarta, Kamis (25/6).
Masih dikatakan dia, bila dilihat dari data yang dikumpulkan oleh CSIS terutama soal kinerja pemerintah atau prestasi dalam bidang legislasi dalam kurun 5 tahun ini, harusnya linier dengan dukungan koalisi di DPR RI.
“Logikanya semakin tingkat dukungan besar di DPR itu linear dengan keberhasilan pemerintah atau asumsi yang sering digunakan, kalau dukungannya besar di parlemen itu pemerintah akan mudah dalam mengoalkan kebijakan maupun program tertentu atau rancangan undang-undang tertentu,” sebutnya.
Lebih lanjut, ia mencontohkan, kalau dilihat dari Prolegnas 2015-2019, pemerintah mengusulkan secara sendiri sebanyak 52 rancangan undang-undang.
Asumsinya, kata dia, kalau KIK jilid I ini efektif harusnya kemampuan untuk meloloskan RUU menjadi UU itu sangat besar, tapi bicara faktanya sejak lima tahun terakhir, dari total RUU yang diajukan, hanya 6 RUU yang menjadi UU saja.
Bahkan, sambung dia, dari 6 UU yabg telah di sahkan itu, 3 UU justru merupakan usulan pada Prolegnas 2010-2014, dan 3 UU lainnya baru diusulkan era Jokowi-JK.
“Artinya, kita bisa bayangkan dalam 5 tahun pemerintahannya berhasil meloloskan 3 undang-undang yang diusulkan secara sendiri, jadi kalau koalisinya efektif harusnya kemampuan pemerintah melobi DPR untuk meloloskan rancangan UU itu jauh lebih besar,”papar dia.
“Artinya Apa artinya selama 5 tahun ini, koalisi besar itu tidak efektif untuk meloloskan RUU yang pertama,” tambahnya.
Bila di bandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemarin, kata Arya, pengelolaan koalisi besar cenderung lebih berhasil, terutama dalam mengawal RUU di DPR RI.
“Soal bagaimana mengelola koalisi di internal. Kalau kita bandingkan dengan zaman SBY, itu prestasi legislasinya juga lebih besar, itu juga menunjukkan bahwa kemampuan-kemampuan dia dalam mengelola koalisi,”ujarnya.
“Artinya dengan data-data tersebut, saya kemudian berpikir sendiri bahwa enggak ada kebutuhan khusus bagi pemerintah untuk menambah anggota koalisi, karena nggak linier dengan prestasi legislasi pemerintah nantinya,” pungkas Arya.
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani berharap peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2024…
MONITOR, Jakarta - Koperasi sebagai tonggak pemberdayaan masyarakat, telah membuktikan bahwa ekonomi yang kuat dapat…
MONITOR, Banten - Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto mengaku kaget…
MONITOR, Jakarta – Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imipas) menyerahkan bantuan untuk pengungsi erupsi Gunung Lewotobi di Lembata, Nusa Tenggara…
MONITOR, Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengeluarkan surat penangkapan bagi…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin…