Kenang-kenanglah pesan seorang pejuang nasional di Digul yang terdapat pada sebuah batu nisan di tempat pembuangannya, yang jauh dari sanak-keluarganya. Kata-kata itu ditulis di atas batu nisan yang sangat sederhana, tercantum syair yang mengharukan hati, ditulis saat detik-detik terakhir hidupnya:
“De Toors, Onstoken In Den Nacht, Reik Ik Voorts, Aan Het Nageslacht”
Artinya: Obor yang Kunyalakan di malam gelap ini, Kuserahkan kepada generasi kemudian.
MUKADIMAH
Saat tulisan ini ditulis walaupun terlambat, ada rasa haru yang membiru menyaksikan pemandangan saat Presiden Jokowi dan Jendral Prabowo bertemu, senyum bersama, makan bersama dan diakhiri tawa yang meledak. Sekian lama dipisahkan oleh warna-warni desas-desus, intrik dam manuver politik tingkat dewa.
Kedua putera Bangsa saling bersalaman dan akrab berbincang ria di dalam transportasi modern MRT Lebak Bulus, sebuah saksi sejarah. Menatap Indonesia yang maju, adil dan makmur. Prasangka baik kita tetaplah kepada pikiran mereka berdua. Seluruh rakyat bergembira, menyambut bersatunya dua arus besar yang berseberangan, sebagaimana kamu dan aku, akhirnya menjadi satu, kita. Terputus akan nafsu berkuasa yang membara, terlepas tali persaudaraan antar sesama anak bangsa. Padahal itu bukan tradisi budaya kita, menjadi lupa, tersesat dalam lorong gelap kuasa demokrasi liberal, mewujud dalam Pilpres dan Pileg 2019.
Pertemuan yang diimpikan, antara Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto melahirkan optimisme baru, menunjukan bahwa ketegangan sesama anak bangsa telah mencair, yang sekian lama beku dan membeku. Menjadi langkah awal untuk menyatukan kembali rakyat Indonesia yang terpecah-belah sampai di dalam warung kopi dan café-café di antero Republik. Inilah rekonsiliasi hati lebih tepatnya, bukan bagi-bagi kursi.
“Tidaklah dua Muslim saling bertemu, kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah,” demikian kata ustadz-ustadz milenial dalam dakwahnya, yang pernah ngopi bersama.
UKHUWWAH
Ada sebuah kisah dalam panggung sejarah Islam yang sangat pas dengan perkembangan situasi nasional kita. Seorang sahabat Nabi Saw bernama Abdullah bin Abi Awfa pernah bercerita:
Kami waktu itu sedang berkumpul bersama Rasulullah Saw. Tiba-tiba beliau berkata: “Janganlah duduk bersamaku hari ini orang yang memutuskan persaudaraan.” Segera seorang pemuda berdiri meninggalkan Majelis Rasulullah Saw. Rupanya sudah lama ia bertengkar dengan bibinya. Ia lalu meminta maaf kepada bibinya dan bibinya pun memaafkannya. Setelah itu, barulah ia kembali kepada Majelis Nabi Saw. Sang Nabi berucap: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di situ ada orang yang memutuskan persaudaraan.”
Perhatikan keluarga kita, tetangga kita, warga masyarakat kita, Jika di dalamnya ada orang yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi dan membenci, bertengkar karena beda pilihan, memfitnah, dan setia menyebarkan dusta dan hoax, maka rahmat Allah akan dijauhkan dari keluarga, tetangga dan anggota masyarakat, terlebih sebuah Bangsa itu.
“ Maukah kalian Aku tunjuki amal yang lebih besar pahalanya dari shalat dan puasa?” tanya Rasulullah Saw kepada sahabat-sahabat tercintanya.“Tentu saja,” Jawab mereka. Muhammad Sang Nabi menjawab,” Engkau damaikan orang-orang yang bertengkar.” Menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dan mengukuhkan ukhuwwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. Barang siapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan persaudaraan yang kocar-kacir.
Agama Islam dan semua agama kita imani menghargai langkah memelihara persaudaraan atau ukhuwwah sebagai amal shaleh yang utama. “Maukah aku tunjuki kepada kalian sebuah amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat, puasa dan haji?” Tanya kembali Rasulullah Saw kepada sahabat-sahabatnya. Ketika para sahabat mengiyakannya, Ayahandanya Sayyidah Fathimah Az-Zahra yang legendaris melanjutkan ucapan sucinya yakni,”Mendamaikan orang-orang yang bertengkar di antara kamu.”
“ Maukah kalian aku tunjukkan hal-hal yang menyebabkan Allah Ta’ala mengangkat derajat kita.” Saat sahabat-sahabatnya menjawab,” Na’am.” Sang Nabi berkata,” Kau maklumi orang yang menentangmu karena ketidaktahuannya, engkau maafkan orang yang menganiayamu, Kau berikan rezekimu kepada orang yang mengharamkan hartanya untukmu, dan engkau sambungkan tali persaudaraan dengan orang yang memutuskannya.”
WHAT TO BE DONE
Peta dunia saat ini berubah, multipolar namanya, dulu terjadi perang berkobar di Teluk Balkan, Uni Soviet, kini jazirah Timur Tengah yang bergelora, Arab Spring namanya. Garis batas itu tidak lagi digoreskan di atas meja, ia dipahatkan dalam hati dan pikiran kita. Kita bukan lagi orang yang sama. Kita bukan lagi kelompok yang satu. Kita bukan lagi umat yang bersaudara, Indonesia. Lalu lintas dunia maya alias medsos dan dunia nyata diwarnai kebencian, kemarahan dan fitnah akibat propaganda di era post-truth (Pasca-Kebenaran).
Situasi terkini Indonesia kita dipecah, dibelah oleh kekuatan tak kasat mata. Kita mudah melepas fitnah. Kita bahagia menjatuhkan kehormatan sesama manusia. Jika perlu, mencari aib dan kekurangan seseorang hingga ke ujung dunia. Kita puja-puja yang satu, kita jatuhkan yang lainnya. Kita lupa, mereka adalah saudara kita, sebangsa, seagama, setanah-air, satu umat manusia. Kolonialisme itu tak lagi dalam pasukan bersenjata, ia merasuki alam pikiran manusia lewat ‘jaringan siluman’. Kita dipecah-pecah, dan dibelah-belah tanpa ampun “a house divided against itself cannot stand,” kata Abraham Lincoln, Presiden Amerika Ke-16.
Bangsa Asia saat ini oleh Kishore Mahbubani dalam The Great Convergence, Asia, The West and The Logic of One World (2013) dikatakan memiliki takdir sejarah, yakni geografi, geography is destiny. Indonesia salah satunya yang ditakdirkan bernatur maritim, lautan, berbudaya bahari. Kekayaan alam, dari mulai hasil laut dan hasil darat, semuanya ada di bumi Nusantara, bahkan ragam seni budayanya.
Di tengah banjir bandang globalisasi di seluruh dunia, Indonesia kita masih melawan dengan caranya sendiri, berselancar di atas gelombang, menyiasati angin dengan dzikir, pikir dan amal sholeh. Kita sudah bersatu dan menjadi diri sendiri, jadi legenda dalam perjalanan bangsanya, karena apa yang diperbuatnya. Kemajuan tidak dapat dicapai dengan ber-taqlid buta mengikuti kemajuan orang lain. Bangsa Amerika Latin menjadi bangsa yang diperhitungkan karena mereka berjuang keras untuk kembali ke identitas Kelatinan yang telah diambil oleh Spanyol selama berabad-abad. Cina menjadi seperti sekarang karena mereka mempertahankan tradisi Mandarin terlepas apapun ideologinya. Bangsa Jepang pun masih merasa perlu untuk berziarah ke kuil Yasukuni hanya untuk menemukan kembali spirit dan inspirasinya. Minimal setahun sekali dalam tahun baru Jepang, kimono dipakai untuk menunjukkan: Inilah kami bangsa Jepang.
Kita bersama bergerak untuk meneguhkan kembali identitas kebudayaan, ke-Indonesiaan, sebagai warisan sejarah yang tidak ternilai harganya karena berakar kuat dalam tradisi masyarakat Islam di Indonesia. Di sini, agama Islam adalah tradisi yang hidup (the living tradition) bukan semata-mata doktrin keagamaan. Marilah kita renungi Syair Nahdlatul Wathon, Kyai Wahab Hasbullah: “Wahai bangsaku, wahai bangsaku, cinta tanah air bagian dari iman. Jangan kalian jadi orang terjajah. Wahai bangsaku yang berfikir jernih, dan halus perasaaan. Kobarkan semangat, jangan jadi pembosan”. Semoga kita semua tidak menjadi generasi yang mencerca dan mengkhianati Kebenaran Tuhan, dengan membenci tanah kelahirannya sendiri, Indonesia.
GERAKAN KEBUDAYAAN
Harapan kita bersama gerakan kebudayaan yang akan diinisiasi Satria Pinandita dalam 5 tahun mendatang 2019-2024, mampu menanggulangi krisis pemahaman agama, membendung gerakan radikalisme yang mewabah di kalangan anak muda, generasi bangsa dan memperkuat jati diri Bangsa Indonesia, memperkuat ideologi Pancasila. Agar kita semua terhindar dari perpecahan, pertengkaran antara sesama anak bangsa, dengan memperkokoh SDM di barisan pemuda-pemudi di penjuru Tanah Air demi kemajuan Indonesia di masa kini dan masa depan, menjadi Bangsa yang tangguh dalam pergaulan antar negara-negara di dunia.
Hargai budaya, muliakan Bangsa. Jika kita tak menghargai budaya, maka yang terjadi, kita bukan bagian dari Indonesia. Karena negeri bernama Indonesia, sejak ribuan tahun sejarahnya, menolak orang seperti itu menjadi bagiannya.
Ayo Bung, memperkuat Ketuhanan, yang harus dikembangkan adalah ketuhanan yang mempertemukan agama dengan budaya. Agama kita datang ke setiap tempat dan diberi warna oleh kebudayaan tempat itu. Ada agama Islam gaya Indonesia, yang dibentuk oleh kebudayaan Indonesia, ada juga Islam yang dibentuk oleh budaya Maroko dan ragam lainnya. Dari Islam yang tersebar dan bertemu kebudayaan setempat. Ketika kita mempertahankan Islam, berarti sama dengan mempertahankan kebudayaan. Ketika mempertahankan kebudayaan, berarti sama dengan mempertahankan Islam itu sekaligus. Menguatkan tali persaudaran sesama anak bangsa adalah tradisi mulia kebudayaan leluhur kita.
Pemerintahan Sukarno yang revolusioner, yang dijadikan panglima adalah politik. Zaman Soeharto mengkritik jika politik dijadikan sebagai panglima, tidak bisa membuat perut kenyang rakyat,. Maka, Orde Baru menjadikan panglima baru yaitu ekonomi, sandang, pangan dan papan. Ketika, kita masuk era reformasi malah kembali ke politik sebagai panglima, bukan mencari hal yang baru. Ini menunjukan kita tidak kreatif dalam bernegara dan berbangsa, bahkan dalam pergaulan global. Sebagai anak Bangsa, kenapa kita tidak mengangkat budaya sebagai panglima. Budaya itu adalah rasa dan segalanya. Kalau politik, tidak pakai rasa. Kita bisa melihat, para politisi tidak bisa merasakan apa pun. Mereka bisa memperhatikan orang, tetapi tak bisa merasakan orang lain. Padahal nilai-nilai etika berbentuk empati, toleransi, persaudaraan, terbuka, tepo seliro, harmoni dan lapang dada merupakan kebudayaan kita.
Budaya itu tak hanya melibatkan pikiran, keinginan dan nafsu. Tetapi juga hati nurani. Kita lihat semua kritikan terhadap hal-hal tidak baik dan tidak manusiawi itu munculnya dari budayawan. Kalau budaya menjadi panglima, nantinya orang akan berbudaya, karena apa saja akan berdasarkan budaya. Tidak seperti sekarang yang segala sesuatu dipolitisasi. Dipikirnya yang bisa memperbaiki kehidupan hanya ekonomi dan politik. Pada kenyataannya, ekonomi dan politik justru yang merusak, bukan hanya manusia tetapi juga alam. Ekonomi dimaknai dengan dangkal. Ekonomi maknanya perut kenyang, papan, sandang dan pangan yang lebih diutamakan. Kenapa sesama anak Bangsa Indonesia berkelahi? Itu bukan karena urusan agama atau masalah kebangsaan, melainkan karena mengejar kepentingan perut. Ekonomi sebagai panglima, diartikan hanya sandang, pangan dan papan. Selama 32 tahun, kita semua didikte untuk mengutamakan urusan perut, lebih tepatnya mengejar sandang, pangan dan papan.
Hentakan nasional pidato politik Presiden Jokowi dalam Visi Indonesia di Sentul ICC, 14 Juli 2019 tentang kemajuan budaya mencerminkan kepribadian Bangsa dengan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa, toleransi dala kehidupan beragama, suku dan etnis adalah niscaya bagi Bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika setia berkisah. Bahwa akhirnya, waktunya telah tiba, kini era Pemerintahan Presiden Jokowi-KH. Ma’ruf Amin seyogyanya menjadikan kebudayaan sebagai panglima dalam berbangsa dan bernegara.
Sebuah negeri akan dimakmurkan dengan syarat kecintaan pada Tanah Air, demikianlah pitutur Sang Wali. Tak terasa ada gelombang air mata yang menggelak di mata anak-anak bangsa, saat khusyuk menyanyikan-Nya:
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdiBagimu negeri, jiwa raga kami.
*) Penulis adalah Ketua Umum PB Satria Pinandita