MONITOR, Jakarta – Usulan seorang praktisi pendidikan, Darmono, agar pendidikan agama dihapus saat ini menuai banyak kritikan. Pasalnya, dalam kurikulum 2013, Pendidikan Agama di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah digabung dengan pendidikan budi pekerti yang diajarkan selama 4 jam tatap muka untuk jenjang SD dan 3 jam untuk SMP dan SMA/SMK.
Pengabungan inilah yang dulu banyak dikritik beberapa pihak, karena Pendidikan Agama berlandaskan kitab suci masing-masing agama, sedangkan budi pekerti berlandaskan norma-norma dan budaya yang berlaku di suatu tempat, namun kedua hal tersebut diajarkan oleh orang yang sama. Padahal, menurut kitab suci dengan menurut norma dan budaya terkadang bisa berbeda.
Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti menilai penambahan jam pendidikan agama saat itu, dilakukan dengan alasan penambahan “Budi Pekerti”. bahkan hingga saat ini, siswa didik harus tetap mendapatkan mata pelajaran tersebut.
“Barangkali, hal ini yang justru perlu dikritisi juga secara arif dan bijaksana demi kepentingan terbaik bagi anak didik di seluruh Indonesia,” kata Retno Listyarti, Rabu (10/7).
“Pelajaran agama masih diperlukan diberikan di sekolah. Barangkali yang perlu diberi masukan bersama adalah metode pembelajarannya dan materinya, misalnya penting memberikan materi bahwa setiap agama mengajarkan kerukunan, saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi (bukan menyebar kebencian) baik kepada umat agama yang sama maupun umat agama yang berbeda,” terang Retno.
Retno menjelaskan, hal ini bisa menjadi materi yang dianggap utama, mengingat mata di Indonesia sangat majemuk, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan di Indonesia.
“Jadi penting pelajaran agama, juga memperkuat nilai nilai kebangsaan dan memperkokoh persatuan bangsa,” tegasnya.