Puasa dan Kesalehan Sosial

0
517

Oleh : Muhammad Dhofier*

Setidaknya ada tiga harapan yang kerap kita panjatkan sebagai do’a, yakni: kaya harta, kesehatan dan rasa aman (ketenangan).

Memiliki banyak harta merupakan damba bagi sebagian besar orang. Dengan harta, ingin adalah rasa yang mudah sekali diwujudkan. Ingin berlibur tidak perlu menabung pada jarak waktu yang lama, ingin makan enak tinggal memesan, ingin mengenakan trend mode pakaian yang terbaru, cukup pergi ke butik langganan. Harta yang melimpah ialah anugerah yang mengenakkan.

Mari kita renungkan, bagaimana jika melimpahnya harta itu tidak dibarengi fisik yang sehat. Kekayaan menjadi tidak berarti apa-apa tanpa nikmat sehat. Apa enaknya berlibur dalam kondisi tubuh yang sakit. Pun selera makan, harus rela hangus direnggut oleh sakit. Rasanya sia-sia belaka baju yang keren hanya untuk istirahat dan berbaring karena sakit. Nikmat sehat adalah karunia yang menggairahkan.

Betapa bahagianya kalau kaya harta dan kesehatan dapat diraih sepaket. Namun tunggu dulu, mari kembali bertanya ke dalam diri. Bagaimana seandainya anda telah merengkuh keduannya, tetapi hidup di daerah konflik. Di Suriah misalnya, orang hidup dengan kecukupan harta, kesehatan yang meraja, tapi apa mau dikata, segalanya luluh lantak oleh perang saudara.

Rasa aman atau ketenangan hati menjadi nikmat yang lebih utama dari sekadar banyak harta dan sehat. Tanpa rasa aman yang menenangkan hati, liburan anda bisa jadi batal. Makan enak hanya akan membikin sakit jika ketakutan memburu di belakang.

Tentang rasa aman ini, dijelaskan dalam kitab tafsir Al Kabir (19/107) bahwa, Ar-Razi Rahimullah berkata, “Sebagian ulama ditanya, apakah rasa aman lebih baik dari kesehatan? Maka jawabannya rasa aman lebih baik. Dalilnya adalah seandainya seekor kambing kakinya patah, sementara lingkungannya aman, dalam beberapa waktu kambing tersebut dapat diobati dan sembuh. Akan tetapi, semisal seekor kambing sehat diikat pada suatu tempat di mana di dekatnya diikat pula seekor serigala yang buas, maka ia tidak akan aman sampai mati. Hal ini menunjukkan bahwa bahaya akibat dari rasa takut lebih besar daripada sakit di badan”. (Tafsir Al – Kabir :(19/107).

Dahulukan memberi rasa aman

Demi rasa aman, bahkan, ritus ibadah menjadi tidak wajib. Alkisah, di sebuah desa kecil di wilayah jazirah Arab, tersebutlah seorang penduduk, si Fulan, yang telah lama memimpikan pergi ke kota suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Lama ia kumpulkan uang untuk membeli perbekalan yang cukup untuk menempuh perjalanan panjang itu.

Setelah semuanya siap, berangkatlah si Fulan ke tanah suci memenuhi panggilan Illahi. Hamba Allah itu dengan tekun menyusuri padang pasir yang tandus tanpa mengenal lelah. Ia bayangkan Ka’bah selalu memanggilnya, berseru-seru dari kejauhan menyambut kedatanganya. Si Fulan pun bergegas selangkah demi selangkah membimbing ontanya agar lekas sampai.

Di separuh jalan, ia terpaksa berhenti. Lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat, batinnya teriris melihat seorang perempuan sedang mengais daging bangkai di jalanan. Hamba Allah itu bertanya, “wahai ibu, kenapa kau mengambil bangkai-bangkai itu, hendak kau apakan daging yang kau pungut itu?”. Dengan tenang ibu itu menjawab, “daging ini halal untukku dan keluargaku, tapi haram untukmu. Kami belum makan, sementara kami tak punya apapun untuk kami makan”.

Tanpa berpikir panjang, si Fulan menyerahkan perbekalan yang ia bawa dan menyisakan sedikit untuk bekal kembali ke kampungnya. Ia berkata, “sekarang bangkai itu pun haram bagimu dan keluargamu wahai ibu. Pulanglah dan bawa makanan dan uang ini”.

Di Mekkah sana, tersebutlah seorang wali Allah yang tertidur di samping Baitullah. Dalam tidurnya waliyullah itu bermimpi, beliau diberitahu bahwa musim Haji tahun ini hanya ada satu orang saja yang mendapatkan gelar haji mabrur. Disebutkanlah ciri-ciri orangnya dan dari mana ia berasal.

Bangun dari mimpinya, sang wali pun bertanya dalam hati, “siapakah gerangan hamba yang mendapatkan sambutan begitu spesial dari Allah SWT”. Beliau pun bergegas ingin sekali menemui si Fulan. Beliau hendak bertanya, amalan apa yang menyebabkan ia begitu istimewa.

Alhasil, bertemulah waliyullah itu dengan si Fulan. Ia ceritakan semuanya. Sang waliyullah akhirnya mengerti, Si Fulan telah memberikan ketenangan kepada keluarga ibu tersebut. Rasa aman dari lapar yang mendera terwujud berkat kemurahan hati si Fulan.

Rasa aman bukan hanya diperlukan untuk menghalau ketakutan karena lapar, miskin dan papa. Pada konteks lain rasa aman dibutuhkan apabila ada gangguan dari luar, berupa ancaman perampokan, penipuan, fitnah, penyebaran hoaks dan lain-lain.

Demi rasa aman, seandainya anda menjumpai kemungkaran di depan mata, misalnya anda sedang sholat di masjid, lalu ada seorang pencopet yang hendak mengambil dompet jamaah di depan anda, membatalkan sholat untuk memastikan rasa aman saudara muslim adalah hal yang utama.

Esensi ibadah puasa

Memberikan rasa aman kepada orang lain baik yang bersifat internal (kondisi ekonomi yang lemah) maupun faktor eksternal berupa ancaman seperti disebutkan di atas, merupakan esensi dari ibadah puasa.

Ritus-ritus ibadah tidaklah semata menjaga kesalehan individu. Praktik syariat mestinya berpendar melahirkan kemaslahatan untuk masyarakat luas. Ibadah puasa secara nyata mengajarkan demikian. Lapar dan dahaga mengajarkan kita agar turut merasakan apa yang dialami oleh kaum papa saat mereka susah.

Laku menahan diri hakikatnya adalah memberikan jaminan sosial terhadap lingkungan sekitar bahwa tidak akan terjadi kemungkaran. Betul apa yang dianjurkan oleh menteri agama, justru mereka yang berpuasa seharusnya mampu memberikan toleransi kepada yang tidak berpuasa. Bukan lantas memukul paksa dengan melakukan sweeping yang melanggar hukum.

Momentum pilpres

Kondisi terbelahnya masyarakat ke dalam dua kubu yang berlarut-larut dan kontraproduktif diharapkan mencair ditengah suasana ramadhan. Saling menahan diri yang menjadi subtansi ibadah puasa hendaknya menggaransi rasa aman kepada masyarakat, bukan sebaliknya memprovokasi publik untuk melangkahi jalur hukum.

Akhirnya, di bulan yang suci ini, menjaga kondusifitas, ketenangan dan rasa aman masyarakat seyogyanya menjadi tugas setiap individu di tengah ketegangan kolektif oleh suasana pemilu yang menyita banyak energi.

*Penulis Adalah Guru SMP AL FATH BSD