Kamis, 25 April, 2024

Sebut Produktivitas Jagung Indonesia 2,81 Ton Per Ha, Data CPIS Dipertanyakan

MONITOR, Jakarta – Pernyataan Peneliti center for Indonesia Policy Studies (CPIS) Assyifa Szami Ilham  yang menyatakan bahwa produktivitas jagung Indonesia hanya 2.81 ton per ha dinilai oleh Andi Saleh, Kasubdit Jagung, Direktorat Serealia sangat tendensius dan cenderung membuat gaduh di masyarakat. Apalagi secara jelas ujung-ujugnya menyimpulkan semua ini akibat program upsus pajale yang dinilai tidak efektif.

“Coba CPIS lihat data FAO yang secara resmi menyatakan bahwa di tahun 2017 saja rata2 produktivitas jagung Indonesia sudah 5,2 ton/ha jauh lebih unggul di bandingkan Thailand sebesar 4,5 ton/ha. Jadi data yang diambil CIPS mengacu pada apa?,” Kata Andi Saleh.

Andi menyarankan CPIS sebagai lembaga penelitian lebih jujur menampilkan data dan menyampaikan fakta, serta hati hati menerima sponsor dana penelitian.  Jangan sampai kucuran dana penelitian dibarengi dengan “pesanan” kesimpulan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu atau sponsor.

Pernyataan CPIS merendahkan dan menyepelekan kemampuan petani kita. Faktanya, BPS sebagai lembaga resmi penyedia dan pencatat data masih menyatakan bahwa produktivitas jagung Indonesia sudah mencapai diatas 5,2 ton per ha.  Fakta di lapangan produktivitas di daerah sentra justru mencapai diatas 7 ton.  Produksi jagung kita meningkat tajam setelah adanya upsus. Dari 19 juta ton PK di tahun 2014 meningkat tajam hampir dua kali lipat menjadi 30 juta ton PK.

- Advertisement -

Ini semua karena teknologi budidaya jagung sudah dikuasai oleh masyarakat petani Indonesia.  Demikian pula, dukungan produsen benih baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang intensif mendorong perluasan areal tanam jagung.  “para produsen benih ini berkepentingan mengembangkan pasar jagung, sehingga mereka menyebarkan tenaga penyuluh lapangannya atau biasa disebut agronomis memberikan pendampingan teknis kepada petani jagung”.

Lebih lanjut Andi ingin mengajak peneliti CPIS baik dari jajaran puncak hingga peneliti yuniornya turun kelapangan mengevaluasi program pengembangan jagung nasional yang dilaksanakan dalam kerangka upsus pajale.

“Kami undang CPIS turun ke lapangan, lihat fakta, baru bicara.  Upsus pajale diarahakan pada daerah-daerah baru karena menggunakan pendekatan pengembangan areal tanam baru (PATB).  Jadi bantuan benih tidak diberikan pada petani-petani yang sudah biasa tanam jagung tetapi diberikan petani lain untuk stimulasi perluasan areal tanam.  Pangsa pasar konvensional tidak terganggun.  Justru produsen diuntungkan dengan perluasan pasar.  Selain itu bantuan benih yang diberikan adalah benih yang berkualitas, yaitu produktivitas rata-rata harus diatas 9 ton per ha, serta sebelum penyaluran ke petani dilakukan uji mutu oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) disetiap provinsi”, tambah Andi.

Andi menduga kesimpulan Assyifa Szami Ilham  diatas disasarkan pada penelitian CPIS tahun 2018 yang didanai oleh pihak lain.  Diketahui, tahun 2018 yang lalu CPIS menerima dana sponsorship penelitian dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar negeri dan Perdagangan dengan judul Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida.

“Sayangnya, CPIS sama sekali tidak melibatkan kita atau meminta data kita pada penelitian tersebut, sehingga tidak mendapat fakta yang sebenarnya.  Ya pastilah hasil penelitiannya bias kepentingan”, ujar Andi menutup pembicaraan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER