PERTANIAN

Akademisi Sebut Produksi bukan Variabel Tunggal dalam Kenaikan Harga Beras

MONITOR, Jakarta – Harga beras yang diberitakan mengalami kenaikan belakangan ini turut mendapat sorotan dari pakar ekonomi pertanian Luthfi Fatah.

“Harga beras yang tinggi di pasar sesungguhnya tidah selalu berkorelasi dengan kekurangan dalam tingkat produksi padi. Bisa jadi penyebabnya adalah pergerakan beras akibat perdagangan, yang membuat stok menjadi langka,” terang Luthfi saat dihubungi via telepon, Senin (19/11).

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tersebut, kenaikan harga beras ini bisa terjadi kesengajaan pihak-pihak tertentu atau sesuatu yang alami.

“Mungkin ada yang bermain ingin mengeruk keuntungan besar ataupun bisa juga terkait dengan distribusi atau pergerakan produk lintas wilayah yang berlangsung alami,” jelasnya.

Apapun keadaannya, Luthfi menilai kondisi harga beras bukan lagi ranah pihak yang berwenang di produksi. “Seharusnya ini menjadi kewenangan otoritas perdagangan,” tandas pakar kelahiran Kalimantan Selatan ini.

Karena itu, Luthfi menilai bahwa jumlah stok perlu diamati dari waktu ke waktu, serta perlu diteliti pergerakan atau distribusi beras antar provinsi dan kabupaten/kota. “Jadi untuk memperhitungkan stok beras, tidak cukup hanya gunakan data produksi beras. Ada variabel waktu dan variabel pergerakan produk,” jelas Luthfi.

Untuk mengamankan stok beras saat ini, Luthfi menyebutkan bahwa pilihan yang paling masuk akal adalah pemerintah menggalang semua kekuatan untuk menyerap hasil produksi petani.

“Dana impor lebih baik dialihkan untuk membeli produksi padi petani, paling tidak pada tingkat harga yang setara dengan yang ditawarkan tengkulak atau bahkan lebih tinggi lagi,” ungkapnya.

Sementara pada kesempatan terpisah, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau Ujang Paman Ismail menganggap bahwa pemerintah perlu meluruskan kepada publik untuk setiap keputusan impor yang dikeluarkan. “Kalau memang perlu mengambil langkah importasi, tentunya bukan karena petani tidak mampu menyediakan beras bagi penduduk Indonesia. Tapi dalam rangka stabilisasi harga,” tegas Ujang.

Ujang menyebut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru telah menyebutkan bahwa Indonesia tahun ini surplus beras sebanyak 2,85 juta ton. Dirinya berharap semua pihak dapat lebih bijak dan berkaca kembali, bahwa disetiap penyusunan program dan kebijakan pembangunan, terutama di sektor pertanian harus berbasis pada data.

“Hal ini agar tidak menimbulkan polemik apakah pemerintah masih perlu melakukan impor atau tidak,” jelasnya.

Recent Posts

DPR Beri Apresiasi KBM di MAN 1 Subang, Prestasi Siswa Baik Sekali

MONITOR, Jakarta - Komisi VIII DPR RI memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM)…

3 jam yang lalu

Kemenag Akhiri Tugas Haji dengan Indeks Sangat Memuaskan dari Jemaah

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama menutup tugas penyelenggaraan haji dengan capaian membanggakan. Survei Indeks Kepuasan…

10 jam yang lalu

Tegaskan Penerapan Tata Kelola Berkelanjutan, Jasa Marga Borong Tiga Penghargaan di TOP GRC Awards 2025

MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk kembali membuktikan komitmennya pada tata kelola berkelanjutan…

13 jam yang lalu

DPR Kecam Serangan Israel ke Doha, RI Harus Ambil Sikap Dorong Penyelesaian Damai

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta mengecam keras serangan udara Israel…

14 jam yang lalu

DPR Minta Aparat Ungkap Kasus Kematian Vian Ruma Sesuai Fakta

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira menyampaikan duka cita…

17 jam yang lalu

Indonesia Terima 36 Tenaga Pengajar Al Azhar, Menag: Pererat Persahabatan Dua Negara

MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menerima audiensi 36 Tenaga Pengajar Al Azhar Mesir…

18 jam yang lalu