Dr. Ir. Sumardjo Gatot Irianto, MS. DAA Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian
Kementerian Pertanian (Kementan) meyakinkan poduksi jagung dalam negeri sangat aman. Adapun berita terkait impor sebesar 100 ribu tersebut merupakan jumlah yang sangat kecil dan tidak terkait dengan asumsi bila produksi jagung nasional kita mengalami kekurangan pasokan.
Pengamat yang mempersoalkan impor yang sangat kecil itu, padahal Indonesia telah surplus dan malah sudah mengekspor ratusan ribu ton jagung ke berbagai negara sebenarnya telah ‘buta hati’ dan sangat picik dalam memahami persoalan yang ada
Saat ini Indonesia tengah mengalami surplus jagung dan bahkan telah mengekspor jagung ke berbagai negara. Impor jagung sebenarnya tak perlu mengingat jumlahnya yang sangat sedikit (100.000) dibanding dengan jumlah ekspor yang sudah dilakukan.
Itu pun, impor ini bukanlah terkait masalah produksi, namun lebih karena persoalan tatadistribusi jagung yang tidak merata. Ada daerah yang sangat melimpah dan ada daerah yang kekurangan pasokan. Terkait masalah distribusi yang tak merata inilah kebijakan impor terpaksa diambil.
Namun mengapa Kementan selalu menjadi sasaran kritik? Karena para pengamat biasanya hanya melihat persoalan ini dengan sangat sederhana dan memakai logika kausalitas dangkal. Asumsinya, bila Indonesia impor, maka jumlah produksi pangan kita pasti mengalami defisit. Padahal asumsi ini sangat artifisial mengingat dalam sistem pangan nasional kita, di samping ada produksi, ada distribusi, ada pasar dan lain-lain.
Terkait produksi jagung, Data Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memberi keterangan resminya. BPS menyimpulkan produksi dan pasokan jagung tahun 2018 sudah surplus sebesar 12 juta ton PK. Selama 3 tahun ini Indonesia sudah menstop impor jagung yang biasanya 3,5 juta ton pertahun, setara menyelamatkan Devisa Rp 10 triliun, bahkan ditahun 2018 saja, sampai bulan Oktober, Indonesia sudah mengekspor 370 ribu ton jagung ke negara tetangga.
Perhitungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menyimpulkan realisasi luas tanam bulan Juni-September 2018 mencapai seluas 1.318.284 hektare, dengan perkiraan panen bulan September-Desember seluas 1.263.170 hektare. Dari perhitungan tersebut, diprakirakan produksi yang dihasilkan sebesar 7,18 juta ton PK.
Dari sisi konsumsi, diperkirakan pada bulan tersebut kebutuhannya mencapai 5,13 juta ton pipilan kering (PK) yang terdiri untuk konsumsi langsung, industri pakan, peternak layer, industri pangan lainnya dan produksi benih. Artinya masih ada surplus 2,05 juta ton PK di periode bulan September-Desember. Kondisi tersebut menunjukkan suplai jagung dalqm negeri akan tetap aman sampai akhir tahun.
Pemantauan Kementerian Pertanian di lapangan posisi panen besar sudah mulai terjadi di berbagai daerah antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Barat dan Gorontalo. Bahkan, survey bersama tim satgas pangan dengan tim Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan pada awal September menunjukkan panen sudah mulai terjadi besar-besaran di Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto. Total produksi September di Sulsel mencapai 87.000 ton. Sedangkan di Jawa Timur Oktober-November panen jagung mencapai berturut turut 79.000 ha dan 111.000 ha. Total produksi Jawa Timur di dua bulan ke depan diperkirakan akan mencapai 320 ribu ton dan 699.000 ton.
Sebenarnya panen dan produksi jagung berlangsung sepanjang tahun. Siklus tahunan produksi jagung menunjukkan bahwa puncak panen utama terjadi pada bulan Februari-April, puncak panen ke dua pada Juli-Agustus dan puncak panen ke tiga pada Oktober-Desember awal. “Pemantauan tim dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menunjukkan panen jagung akan meluas lagi pada bulan Oktober hingga awal Desember. Periode ini merupakan puncak panen ke 3 dalam tahun ini. Pengamatan Kementan selama ini juga menggunakan drone sehingga benar-benar dapat terpetakan secara utuh sebaran luas pertanaman jagung.
Besarnya produksi jagung ini juga didorong oleh pengalokasian 2,8 juta hektare benih jagung premium telah. Sampai Bulan Agustus pertanaman jagung sudah mencapai 3,02 juta hektare, dimana 16,61% diantaranya adalah program bantuan Kementan. Kekeringan yang terjadi saat ini juga tidak menjadi kendala pada pertanaman jagung, karena konsentrasi penanaman saat ini pada lahan-lahan bekas sawah yang masih memiliki kelembaban cukup untuk ditanam jagung.
Menjembatani Disparitas Harga
Harga jagung di lapangan juga tidak sebesar yang banyak diberitakan. Berdasarkan informasi dari Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Gatut Sumbogodjati, pada Bulan ini harga jagung hanya sekitar Rp3.691 bahkan 3 bulan yang lalu harga jagung sempat turun di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara hingga Rp2.887.
Harga jagung yang dinilai meningkat di akhir-akhir ini dinilai bukan karena kekurangan stok. Karena dari harga di tingkat petani tersebut, ditambahkan dengan biaya processing dan penyusutan bobot akibat pengeringan sebesar 15 persen maka harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp 4.250 per kg. Hal ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi diperlukannya pembenahan rantai pasok jagung.
Jadi, persoalan jagung bukan hanya masalah produksi. Kenapa pada saat harga tinggi banyak yang komplain masalah produksi. Padahal jelas-jelas data menunjukkan produksi kita surplus. Harus dugarisbawahi persoalan konektivitas sentra produksi ke pengguna jagung yang memusat di beberapa provinsi saja.
Untuk mengatasi hal tersebut, Kementan berinisiatif menyediakan 1.000 alat pengering (dryer) untuk pengolahan pascapanen, agar jagung bisa disimpan dan ditransportasikan dengan baik sehingga bisa meminimalisir terjadinya disparitas harga. Di Indonesia kapasitas pengeringan industri pakan masih rendah karena sebagian masih belum memiliki dryer atau ruang penyimpanan yang cukup besar.
Kementerian Pertanian akan senantiasa membantu industri pakan atau pengguna lainnya yang kesulitan mencari jagung. Pengguna yang kesulitan mendapatkan jagung dapat langsung berkomunikasi dengan Direktorat Serealia Kementan.
Dalam jangka panjang, Kementan menyatakan siap mendampingi terbentuknya kemitraan Business to Business antara industri pakan dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga industri mendapat jagung sesuai spesifikasi yang diinginkan dan pasokan jagungnya terjamin.