MONITOR, Jakarta – Seminar Pembangunan Hukum Nasional (SPHN) bertajuk “Penataan Regulasi Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB): Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan terkait Perizinan, Perpajakan, Penegakan Hukum Kontrak, dan Badan Usaha, yang digelar pada Kamis (18/10) kemarin di Ballroom Hotel Sari Pacific Jakarta, menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi evaluasi peraturan perundang-undangan terkait kemudahan berusaha.
Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna H Laoly, saat memberikan sambutan, mengatakan bahwa dari 10 indikator yang dinilai dalam survei peringat EoDB, sangat disayangkan 6 (enam) indikator masih berada pada peringkat di atas 100, yakni starting a business (144); dealing with construction permits (108); registering property (106); paying taxes (114); trading across borders (112); dan enforcing contract (145). Sementara, 4 (empat) indikator yang lain, menunjukkan perbaikan seperti getting electricity (38); getting credit (55); protecting minority investor (43); dan resolving insolvency (38).
“Ini merupakan tantangan yang perlu disikapi secara tepat sehingga dapat meningkat menjadi lebih baik. Pemerintah Indonesia secara terus-menerus berupaya untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha dengan memberikan perhatian khusus kepada 6 indikator tersebut,” kata Yasonna.
Evaluasi peraturan perundang-undangan perlu dilakukan mengingat kualitas regulasi saat ini masih rendah. Buktinya, lanjut Yasonna, masih ditemukan adanya tumpang tindih dan disharmoni antar peraturan perundang-undangan, baik vertikal maupun horizontal. Selain itu, jumlah regulasi juga masih dirasakan berlebihan (hiperegulasi) serta tidak semuanya berdaya guna dan berhasil guna.
Dikatakan Yasonna, evaluasi peraturan perundang-undangan dilakukan melalui analisis dan evaluasi hukum, dengan tujuan menilai norma hukum agar dapat berperan optimal dalam mengatasi permasalahan dan dapat mendorong pembangunan yang lebih efektif. Analisis dan evaluasi yang dilakukan, lanjutnya, harus berpijak pada nilai-nilai yang berasal dari budaya Indonesia. Landasan terpenting, yakni Pancasila, dijadikan sumber hukum sekaligus rechtsidee untuk menentukan suatu norma hukum.
“Penataan regulasi untuk menciptakan ease of doing business tidak boleh menabrak nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, dan menjaga agar tidak tumbuh menjadi sistem ekonomi liberal,” kata Yasonna.
Pemerintah sendiri, dalam hal ini BPHN, telah memiliki instrumen sendiri untuk memastikan regulasi yang dianalisis telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, bernama “Pedoman 5 Dimensi” (5D). Pedoman ini terdiri dari: pertama, kesesuaian jenis, hierarki, dan materi muatan; kedua, kejelasan rumusan; ketiga, materi muatan; keempat, potensi disharmoni pengaturan; dan kelima, efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan.
“Ini perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dan kompeten seperti para analis, pejabat publik terkait, akademisi, peneliti, maupun praktisi hukum lainnya dengan dukungan database peraturan perundang-undangan yang terintegrasi,” kata Yasonna.
Menjaring Masukan Berbagai Pihak
Kegiatan SPHN yang digelar selama satu hari penuh, melibatkan sejumlah narasumber yang kompeten di bidang terkait kemudahan berusaha. Selain akademisi hukum dan pejabat pada Kementerian/Lembaga yang berwenang dalam perizinan, kegiatan ini juga melibatkan para praktisi yang terlibat langsung dalam bisnis sehari-hari. Plt. Kepala BPHN, Prof R. Benny Riyanto, dalam kesempatan tersebut, mengatakan bahwa SPHN didesain untuk menjaring masukan dari berbagai pihak terkait bagi perbaikan peringkat kemudahan berusaha.
“Masukan, saran, ide dari narasumber, termasuk keynote speech Menteri Hukum dan HAM, maupun peserta seminar ini akan menjadi bahan evaluasi hukum terkait hal-hal dimaksud, untuk menentukan rekomendasi dan langkah apa yang harus ditempuh dalam rangka memperbaiki iklim investasi bagi peningkatan perekonomian nasional,” kata Prof R. Benny.
Sebagai informasi, ada lima narasumber inti yang diundang dalam SPHN tahun ini. Kelima narasumber tersebut, yakni Prof Budi Santoso (Universitas Diponegoro), Sutrisno Iwantono (Ketua Bidang Kebijakan Publik, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO)), Prof Budiman Ginting (Universitas Sumatera Utara), Endang Supriyadi (Direktur Bidang Pelayanan dan Fasilitasi Penanaman Modal, Badan Koordinasi Pasar Modal (BKPM)), dan Afifah Kusumandra (Universitas Brawijaya).
*Adapun beberapa pokok pikiran yang dihasilkan dari seminar, diantaranya:*
(1) Untuk meningkatkan kemudahan berusaha, perlu langkah sinergis untuk melakukan penataan regulasi, penataan kelembagaan, serta peningkatan kualitas penegakan hukum.
(2) Kemudahan berusaha seharusnya tidak hanya ditujukan bagi investor baru yang akan memulai usaha, tapi lebih penting lagi adalah bagi semua pelaku usaha, baik yang baru maupun yang lama, yang sudah berada dalam dunia usaha.
(3) Persoalan dalam kemudahan usaha yang masih dihadapi para pelaku usaha, di antaranya: kebijakan yang tidak konsisten; koordinasi dan sinkronisasi kewenangan antar lembaga; peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis; dan data yang tidak tunggal atau tidak seragam di antara lembaga-lembaga. Sebagai contoh, dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dari hulu sampai hilir, mulai dari menerima laporan, menyelidiki, memeriksa dan menjatuhkan sanksi administrasi, dipandang overlaping dan berpotensi terjadi konflik interest;
(4) Kebutuhan akan pengaturan keagenan di indonesia begitu mendesak untuk direalisasikan mengingat eksistensinya sudah tidak terpisahkan dengan rangkaian kegiatan bisnis di indonesia, baik yang berskala kecil apalagi yang berskala besar, baik untuk produk maupun jasa. Hal ini bisa dituangkan dalam RUU yang mengatur tentang keberadaan Badan Usaha, yang sedang dibahas terus-menerus untuk mengintegrasikan pengaturan PT, Koperasi, BUMN, CV, Firma dan Perusahaan Perseorangan, serta pengaturan yang berkaitan dengan aktifitas perusahaan, seperti Wajib daftar perusahaan, dan Dokumen perusahaan;
(5) Dalam konteks perdagangan lintas negara, Indonesia perlu melakukan penataan regulasi yang mengarah pada adanya kepastian hukum, prediktabilitas dalam trading across borders, dan international business transactions, serta menegaskan prinsip party autonomy dalam kontrak komersial. Selain itu, perlu juga menghilangkan resiko terjadinya parallel proceeding and conflicting judgements;
(6) Memperluas cakupan sektor usaha yang memperoleh tax allowance dan tax holiday dengan mempertimbangkan besaran investasi dan juga besaran penyerapan tenaga kerja.
(7) Pemerintah telah melakukan langkah positif untuk meningkatkan kemudahan berusaha dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS). Tujuan PP ini adalah penyederhanaan proses perizinan sehingga lebih efisien, simpel dan modern. Namun demikian perlu ada perbaikan (revisi) terhadap beberapa pengaturan dalam PP OSS, serta pengharmonisasian dengan peraturan perundang-undangan lainya, sehingga ke depan menjadi lebih sempurna;
(8) Dalam melakukan penataan regulasi, perlu ditekankan bahwa peran hukum tidak sekadar sebagai pemberi fasilitasi kemudahan berusaha, tetapi juga memberikan perlindungan bagi persaingan usaha yang tidak sehat di tengah iklim ekonomi dunia yang cenderung liberal agar tidak larut dalam pusaran pasar bebas.
Dikatakan Prof R. Benny, rekomendasi yang dihasilkan dalam SPHN Tahun 2018 ini nantinya akan melengkapi rekomendasi yang telah dihasilkan oleh 12 (dua belas) Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait EoDB. Diharapkan, lanjutnya, hasil seminar ini dapat memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan peringkat kemudahan berusaha yang pada gilirannya akan membawa manfaat bagi kemajuan perekonomian nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
“Kami atas nama Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, mengucapkan terima kasih kepada para narasumber dan peserta atas segala atensi dan masukannya pada seluruh rangkaian kegiatan ini,” pungkas Prof R. Benny.