MONITOR – Sejak awal berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 di Surakarta, pemerintah kolonial Belanda sudah menaruh rasa benci. Organisasi dagang ini, di mata kolonial, merupakan sebuah ancaman besar yang berpotensi merusak perkembangan ekonomi Belanda di Indonesia.
Dimana, sejarah berdirinya SDI tak lepas dari ketertindasan ekonomi rakyat. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda memberikan akses seluas-luasnya kepada para pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat. Penjajahan di sektor ekonomi ini jelas membuat rakyat marah lantaran ditindas semena-mena.
Perkembangan SDI cukup melesat. Di bawah kepemimpinan Haji Samanhoedi (1868-1956), organisasi ekonomi kerakyatan ini mampu menjadi suatu wadah perkumpulan yang berpengaruh. Pengaruhnya cukup kuat, bahkan sejumlah tokoh di daerah menginisiasi organisasi semacam itu.
Misalnya, R.M Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islam di Batavia pada tahun 1909. Lalu di tahun 1910, Tirtoadisuryo kembali mendirikan organisasi tersebut di Buitenzorg (Bogor:masa lampau). Disusul Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa pada tahun 1912 di Surabaya.
Apalagi, semenjak SDI menggaet kerjasama dengan organisasi niaga China, Belanda semakin murka. Saat itu, pedagang keturunan Tionghoa mulai memiliki kedudukan hampir sejajar dengan penduduk Belanda. Bahkan adapula yang memiliki hak dan status yang lebih tinggi.
Menjadi Sarekat Islam
Seiringnya hari, SDI tampaknya mulai berani bersikap. Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto tahun 1912, SDI bermetamorfosa menjadi Sarekat Islam (SI) tepat pada 10 September.
Ranah juang organisasi ini terbilang lebih luas dibandingkan sebelumnya. Jika SDI hanya bergerak di pengembangan ekonomi, SI masuk di beberapa sektor lain, salah satunya politik.
SI pun tidak membatasi anggotanya untuk kalangan masyarakat Jawa dan Madura saja. Seperti yang diramu Wikipedia, keanggotaan SI cukup terbuka untuk semua kalangan masyarakat muslim.
Dalam perjalanannya, SI mengalami batu terjal seperti organisasi pendahulunya. Pemerintah kolonial Belanda makin khawatir lantaran jumlah anggota SI tersebar di seluruh Indonesia. Misal saat mengajukan diri sebagai Badan Hukum, Gubernur Jendral Idenburg menolak mentah-mentah.
Perjuangan SI mendapatkan pengakuan sebagai Badan Hukum baru berujung manis ketika memasuki bulan Maret 1916. Itu pun terjadi usai pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik. SI pun melenggang luwes menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Selanjutnya karena perkembangan politik dan sosial, SI bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang telah beberapa kali berganti nama yaitu Central Sarekat Islam (disingkat CSI) tahun 1916, Partai Sarekat Islam (PSI) tahun 1920, Partai Sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) tahun 1923.
Lalu, menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di tahun 1929, Syarikat Islam (PSII) tahun 1973, dan pada Majlis Tahkim (kongres nasional) ke-35 di Garut tahun 2003, namanya diganti menjadi Syarikat Islam (disingkat SI).
MONITOR, Makkah - Menteri Agama RI Nasaruddin Umar mengajak ribuan jemaah umrah untuk mendoakan Indonesia.…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 resmi berlangsung pagi ini di Istora Senayan Jakarta…
MONITOR, Minahasa - Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengingatkan tanggal 24 November 2024 sudah memasuki…
MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi dengan meraih Penghargaan Emas…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 siap digelar pada Minggu, 24 November 2024, di…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) menggelar ajang perdana Kepustakaan Islam Award (KIA) di Jakarta…