MONITOR, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mematok target pertumbuhan ekonomi 2019 dalam kerangka ekonomi dan pokok-pokok Kebijakan fiskal 2019 sebesar 5,4 persen hingga 5,8 persen dengan mewujudkan peningkatan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan inklusif agar tercipta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Sasaran pertumbuhan ini diarahkan untuk mendorong pemerataan pertumbuhan di seluruh wilayah Indonesia, dengan melaksanakan percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia, wilayah perbatasan, kawasan terluar dan daerah tertinggal,” kata Sri Mulyani dalam menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2019 di Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Jumat (18/5).
Sri Mulyani mengatakan, momentum pertumbuhan investasi dan ekspor juga terus dipelihara dengan menghilangkan berbagai regulasi yang menghambat di pemerintah pusat maupun daerah serta melakukan reformasi dalam bidang perpajakan dan ketenagakerjaan.
“Pemerintah juga sedang mendesain berbagai kebijakan insentif fiskal yang atraktif dan kompetitif guna meningkatkan investasi dan mendorong ekspor,” kata Sri, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Menanggapi paparan Sri Mulyani tersebut, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara membeberkan beberapa fakta akan keberhasilan target pertumbuhan tersebut.
Pertama menurutnya, Target pertumbuhan overestimate tidak realistis. Padahal tahun ini pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya 5,1% melihat perkembangan di triwulan I 2018 yang tumbuh 5,06%.
Fakta lain adalah konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar ekonomi yakni 56% porsinya ternyata tumbuh stagnan di 4,95%.
“Ini gejala stagnasi pertumbuhan ekonomi akan berjalan sampai tahun depan. Neraca perdagangan juga mengalami defisit pada bulan April hingga -1,63 miliar usd terparah sejak 2014 karena kinerja ekspor non migasnya turun.”jelasnya saat dihubungi Monitor.
Paparnya, ekonomi secara fundamental sedang bermasalah. Jika pemerintah targetkan 2019 tumbuh 5,4% justru menimbulkan distrust alias turunnya kepercayaan pelaku pasar karena targetnya ga kredibel.
“Asumsi makro yang meleset jauh dari realisasi rentan membuat defisit anggaran melebar.” pungkasnya.