Jumat, 26 April, 2024

Usut Saracen, Kepolisian Diminta Transparan

MONITOR, Jakarta – Pengungkapan kasus Saracen, yang disebut Polri sebagai kelompok yang menjual jasa penyebar hoax dan kebencian di media sosial, mendapat catatan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Menurutnya, pengungkapan kasus itu harus dilakukan terbuka dan tuntas, agar tak mengundang spekulasi dan fitnah.

“Kita mengapresiasi kerja kepolisian dalam pengungkapan kasus bisnis hoax dan isu-isu SARA. Tak bisa disangkal, hal-hal semacam itulah yang selama ini telah membuat demokrasi kita jadi tidak sehat," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/8).

Namun, kata dia, meskipun polisi sejak awal mengekspose kasus Saracen sebagai kasus besar terkait industri hoax dan penyebar kebencian di media sosial, kasus ini baru bergulir dan masih panjang prosesnya.

"Apakah dugaan-dugaan atau tuduhan-tuduhan awal itu akan terbukti, dalam arti bisa diungkap dalang atau pengguna jasanya, inilah yang harus sama-sama kita kawal dan perhatikan," ujarnya. 

- Advertisement -

Farli berharap, agar dalam menjalankan tugasnya, Polri bisa bekerja secara transparan dan tuntas, agar tidak melahirkan spekulasi dan fitnah di masyarakat. Jika benar kelompok tersebut menjalankan bisnis jasa penyebaran hoax, kebencian, dan isu-isu terkait SARA, menurutnya tentu harus segera ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku, siapapun pemilik atau pengguna jasa bisnis tersebut.

“Kita tidak ingin kasus Saracen ini nantinya berakhir antiklimaks seperti kasus pengungkapan mafia beras yang bikin heboh beberapa pekan lalu itu, di mana ekspose awalnya bombastis, namun perkembangan kasusnya kemudian ternyata tak sebesar yang diekspose di awal,” terang Wakil Ketua Umum Gerindra itu. 

Dia menilai, hoax dan ujaran kebencian memang telah memperkeruh perpolitikan nasional, sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir. Jika dibiarkan, hal itu bisa jadi bumerang bagi kehidupan kebangsaan kita yang plural dan majemuk. Untuk itu harus ada upaya penegakkan hukum yang tegas untuk mengatasinya. Dan tidak boleh ada tebang pilih di dalamnya.

Dia juga mengkritik Presiden yang berkali-kali mengumpulkan buzzer-buzzer politik di Istana. Di tengah wabah ‘hoax’, ‘hate speech’, dan eksploitasi isu SARA di kalangan pengguna media sosial, menurutnya, mengumpulkan para buzzer pendukung pemerintah adalah bentuk komunikasi politik yang bermasalah dari seorang kepala negara. 

Dia meminta, kegiatan semacam itu sebaiknya disudahi, karena hanya akan merusak wibawa negara dan kontraproduktif dengan usaha Polri yang sedang membongkar mafia penyebar hoax dan kebencian di media sosial.

“Tindakan Presiden yang sering mengundang buzzer ke Istana itu hanya memperkuat kesan di masyarakat jika pemerintah sebenarnya menerapkan standar ganda dalam urusan hoax dan ujaran kebencian ini. Sebab, jika menyangkut para buzzer istana, tidak pernah ada tindakan hukum terhadap mereka, meskipun misalnya cuitan atau posting mereka di media sosial kerap kali meresahkan dan melahirkan perselisihan di tengah masyarakat,” ungkapnya.

Menurut dia, hal ini merupakan tantangan bagi Polri agar menyadari posisinya sebagai alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Untuk itu dia meminta Polri tidak boleh menerapkan standar ganda dalam pengusutan kasus hoax, hate speech, dan SARA di media sosial.

Karenanya, jika benar Saracen adalah industri jasa yang membisniskan penyebaran hoax, isu-isu SARA dan ujaran kebencian, maka polisi harus bisa membongkarnya secara tuntas dan transparan. Bukan hanya ketika pengguna jasanya adalah pihak-pihak yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah, namun juga jika dalam proses penyidikan ternyata temuannya justru mengarah kepada pihak-pihak pendukung rezim yang sedang berkuasa.

"Di sisi lain, dari berbagai perkembangan berita yang ada kelihatannya kasus ini tak sebesar eksposenya. Saya cenderung menilai kasus Saracen ini sekadar dagelan baru," tutupnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER