MONITOR, Jakarta – Sektor hulu migas cenderung lesu dalam tiga tahun terakhir, Ini ditandai dengan tidak lakunya lelang wilayah kerja (WK) Migas yang ditawarkan pemerintah sejak 2015 lalu.
Kementerian ESDM sudah berupaya menggaet investor dengan menawarkan berbagai kemudahan seperti memangkas peraturan pemerintah dalam perizinan, memberikan kelonggaran pajak serta mengubah kontrak bagi hasil PSC cost recovery menjadi PSC gross split. Namun hasilnya tetap belum optimal. Bahkan, perubahan skema dari cost recovery ke gross split justru dinilai semakin menyulitkan perusahaan migas.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan Pertamina sudah terengah-engah menerapkan skema gross split. Pada akhinya skema gross split direvisi juga Padahal untuk menerapkan skema gross split, Pertamina membutuhkan usaha lebih untuk melajukan efisiensi agar pengelolaan blok migas bisa ekonomis.
“Kasihan Pertamina, sudah terengah-engah dan direvisi Permen Gross Split-nya. Padahal Pertamina butuh effort lebih agar efisien untulk hadapi gross split, dan dituntut BBM satu harga juga, ujar Marwan saat dihubungi Monitor.
Saat ini, Pertamina Hulu Energi (PHE) masih tercatat menjadi satu-satunya operator yang telah menerapkan skema bagi hasil gross split. PHE menggunakan skema gross split untuk blok Offshore North West Java (ONWJ) sejak 18 Januari 2017 lalu. Akan tetapi, PHE menghendaki evaluasi setelah setahun berjalan.
Sedangkan, PHE telah memperoleh diskresi dari Menteri ESDM berupa tambahan split sebesar 5 persen sejak kontrak gross split diteken. Jika berdasarkan skema gross split, Pertamina sejatinya hanya mendapatkan base split untuk gas sebesar 48 % sementara pemerintah 52 %. Padahal untuk base split minyak bagian Pertamina sebesar 43 % dan pemerintah 57 %.
“Dengan adanya tambahan split ini pun, PHE masih harus melakukan efisiensi agar pengembangan Blok ONJ ekonomis. Itu karena biaya produksi seperti sewa alat milik negara tidak lagi dibayarkan oleh pemerintah karena telah menggunakan skema gross split” tutur pengamat energi tersebut.
Marwan menambahkan gross split bagi investor merupakan skema yang kurang menarik lantaran tidak adanya pembagian risiko dengan pemerintah, sebagaimana dianut cost recovery. Alhasil, investor dipastikan lebih hati-hati sebelum melakukan eksplorasi.
“Investor akhirnya lebih berminat di blok migas yang sudah produksi karena sudah jelas dapat dihitung keekonomiannya Blar bagaimana pun, investor selaku pelaku bisnis akan menempatkan pertimbangan keekonómian suatu blok migas sebelum memutuskan berinvestasi” paparnya.
Sebelumnya, pada pernyataan resminya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sebanyak empat blok minyak dan gas bumi (migas) yang akan habis masa kontraknya atau terminasi pada tahun 2019 segera menyusul skema kontrak bagi hasil gross split seperti 16 blok sebelumnya.
“Kini, total blok migas yang akan menggunakan gross split tercatat sebanyak 20 blok. Termasuk tambahan empat blok migas terminasi tahun 2019 kemarin. Gross split terbukti menarik bagi investor, dan itu menepis keraguan para pesimistis,” ungkap Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar.