Jumat, 26 April, 2024

Dinilai Tak Karuan, Pemerintah diminta benahi Regulasi Kelautan dan Perikanan

MONITOR, Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyelenggarakan Focus Grup Discussion dalam rangka penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sektor Kelautan dan Perikanan di Gedung BAPPENAS, Jakarta, Rabu (14/11/2018).

Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan industri kelautan dan perikanan nasional perlu ditingkatkan lebih jauh untuk bersiap menghadapi era revolusi industri 4.0 melalui peningkatan daya saing dan produktivitas. “Kualitas SDM sektor kelautan dan perikanan perlu terus didorong, penerapan teknologi dan inovasi juga tentu sangat menentukan. Yang kami harapkan juga sekarang ini adalah peningkatan investasi serta dukungan regulasi yang pro bisnis,” katanya.

Selain regulasi, menurutnya sebagai bahan pertimbangan dalam Rancangan RPJMN 2020-2024, pemerintah perlu menitikberatkan pada aspek peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya, penyediaan bahan baku dan  logistik, upaya peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja serta keberlangsungan lingkungan hidup.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa saat ini Nelayan kita masih identik dengan kemiskinan “Data BPS tahun 2018, Sekitar 20 – 48% nelayan dan 10 – 30% pembudidaya masih miskin,” katanya.

- Advertisement -

Rokhmin Dahuri yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menegaskan penyebab nelayan masih berkutat dengan kemiskinan karena sebagian besar usaha Kelautan dan Perikanan (penangkapan ikan, budidaya, pengolahan, dan trading) dilakukan secara tradisional (less technology and management).  “Contoh: 625.633 unit kapal ikan, hanya 3.811 unit (0,6%) yang tergolong modern (> 30 GT); dari 380.000 ha tambak udang, hanya 10% yang modern (intensif); dari 60.885 UPI, hanya 718 UPI (1,2%) yang modern,” ungkapnya.

Disisi lain, lanjut Rokhmin, Kontribusi sektor KP terhadap PDB masih sangat rendah (< 3%) dan nilai ekspor pun rendah (sekitar US$ 2 – 4 milyar).Selain kuantitasnya terbatas, harga sarana produksi yang diterima nelayan dan pembudidaya umumnya jauh lebih mahal ketimbang harga pabrik.  “Sebaliknya, ketika mereka menjual hasil tangkap atau hasil panen, harganya jauh lebih murah dari pada harga pada konsumen akhir,” ujarnya.

“Menurut saya jika ada regulasi yang menghambat investasi dan perkembangan ekonomi dan industri maka sudah tidak bisa dibenarkan lagi,” tandasnya.

Atas dasar hal tersebut, Rokhmin berharap jika pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan harus melakukan evaluasi dan perbaikan keabsahan data Kelautan dan Perikanan sebagai dasar bagi proses perencanan dan pengambilan keputusan yang tepat dan benar berbasis pengetahuan.

“Penetapan target produksi perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan industri pengolahan hasil perikanan harus berdasarkan pada analisis prediksi supply dan demand (konsumsi domestik dan ekspor) over time ( 2020 – 2024, 2030, dan 2045).  Dari target produksi tersebut, dapat diperkirakan kebutuhan sarana produksi, infrastruktur, SDM, anggaran, alokasi kredit, dan production input lainnya,” terangnya.

Ia berharap kebijakan pembangunan KP harus berdasarkan pada prinsip-prinsip Sustainable Development, tidak hanya mementingkan kelestarian SDI, tetapi mengabaikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan termasuk skema kredit perbankan yang mendukung bisnis di sektor kelautan dan Perikanan.

“Harus ada skim kredit perbankan khusus dengan bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (policy banking), seperti halnya untuk industri sawit di Indonesia dan sektor perikanan di negara-negara lain.  Pemerintah pusat cq. KKP bersama Pemda yang bertanggung jawab tentang ‘bankability’ dari nelayan, pembudidaya, dan pengusaha sektor KP.Kebijakan, regulasi, iklim investasi, dan Ease of Doing Business harus kondusif bagi terwujudnya Pembangunan KP yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, dan Berkelanjutan (Sustainable),” pungkasnya.

Walikota Sibolga, Sumatera Utara, Syarfi Hutauruk yang hadir pada kesempatan tersebut mengkritik keras kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang menurutnya membuat nelayan di daerahnya makin susah. “Adanya aturan baru seperti pelarangan menangkap sejumlah jenis makhluk laut dan melarang jenis kapal penangkap ikan, namun tidak diimbangi insentif bagi nelayan. Ini Saya bingung sekolahnya dimana ini,” katanya.

Menurut Syarfi, Seorang Menteri KKP seharusnya tak sebatas bertugas menenggalamkan kapal tapi juga harus memikirkan bagaimana dampak kebijakan dan regulasinya bagi produksi termasuk menyesuaikan setiap kebijakan yang cocok disuatu daerah.

“Seharusnya seperti Pak Rokhmin (Rokhmin Dahuri) inilah yang menjadi Menterinya. Beliau mengerti dan memahami persoalan di sektor kelautan dan perikanan secara mendalam,” terangnya.

Sektor lainnya yang menjadi kritik tajam Syarfi adalah soal ribetnya perizinan yang berfokus ke pusat sehingga membuat nelayan harus mengorbankan waktu dan biaya untuk mengurus perizinan. Banyaknya uang yang perlu keluar membuat nelayan makin terjerat rentenir.

“Banyak sekali aturan perizinan yang semuanya ditarik ke pusat dan provinsi yang makan waktu lama (untuk diurus). Itu kan cost-nya tinggi. Yang ketiga bantuan-bantuan nelayan itu agak kurang, sehingga hasil turun, dan angka pengangguran jadi tinggi, angka kemiskinan tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat di daerah-daerah perikanan,” ungkapnya.

“Kata KKP naik, sementara kami di daerah tahu itu (produksi ikan) turun,” tegasnya.

Ditempat yang sama, Wakil ketua komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi menyoroti soal kinerja dan manajerial pengelolaan anggaran di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Politikus PAN tersebut mengkritik dengan keras atas opini disclaimer Kementerian KP dua tahun beruturut-turut sehingga anggarannya selalu turun dari tahun ke tahun.

“Seharusnya kalau disclaimer, jangan dikurangi anggaran kementeriannya. Ganti menterinya,” tegas Viva.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER