Dicari Sosok Birokrat Energi Mumpuni Hadapi Industri 4.0

0
228
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan

Oleh: Mamit Setiawan*

Pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla yang telah bekerja selama lebih dari 4 tahun akan segera berakhir. Berbagai prestasi telah dibukukan oleh kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla, tetapi masih banyak hal juga yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemimpin berikutnya. Salah satu kementrian yang memiliki kinerja positif selama pemerintahan kabinet kerja ini adalah kementerian ESDM.

Selama berjalannya kabinet kerja ini, kementrian ESDM telah mengalami pergantian Nahkoda sebanyak 3 kali, dimulai dari era Sudirman Said, kemudian digantikan oleh Arcandra Tahar lalu yang terakhir oleh Ignasius Jonan. Sudirman Said yang diangkat pada tahun 2014 kemudian direshuffle pada bulan juli 2016 menyusul polemik “Papa Minta Saham” PT Freeport yang menyita perhatian public. Sudirman Said kemudian didepak, digantikan oleh Arcandra Tahar,putra asli Padang, Sumatera Barat.

Arcandra dianggap sebagai salah satu Putra bangsa berprestasi karena berhasil menduduki posisi sebagai President Director di Petroneering, suatu perusahaan Konsultan dan pengembangan teknologi pengeboran minyak lepas pantai (Offshore) yang berbasis di Amerika Serikat.

Arcandra Tahar menjabat hanya selama 2 bulan akibat permasalahan dwi kewarganegaraan (Indonesia-Amerika Serikat) yang dialamatkan kepadanya. Arcandra kemudian digantikan oleh Ignasius Jonan yang sebelumnya sempat direshuffle dari posisinya sebagai Menteri  Perhubungan akibat kasus Brexit (Brebes Exit) yang mencuat pada saat arus  mudik lebaran tahun 2016.

Ketika diberikan kepercayaan kembali oleh Jokowi-Jusuf Kalla, Ignasius Jonan dihadapkan dengan beberapa tantangan pemenuhan program kerja Jokowi.

Tantangan Jonan pertama adalah melaksanakan program BBM satu harga se Indonesia. Program ini berjalan cukup baik dimana target awal pemerintah hingga akhir tahun 2018, ditargetkan ada 130 titik penyaluran dan realisasinya sampai akhir tahun 2018 telah beroperasi 131 titik lembaga penyalur yang tersebar di 90 Kabupaten dan 26 Provinsi.

Tantangan kedua yang diberikan adalah proram elektifikasi pemerintah yang ditargetkan mencapai 100 persen pada tahun 2021. Di era Jonan, rasio elektrifikasi ini melampaui target yang diberikan pemerintah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi hingga akhir tahun 2018 mencapai 95 %. Pada kenyataannya, hingga akhir 2018, rasio elektfrifikasi telah mencapai 98%, dan ditargetkan hingga akhir 2019 akan mencapai 99.9%. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah  mendorong percepatan pembangunan Pembangkit listrik tenaga Angin di Sulawesi yang mulai digarap era Sudirman Said serta distribusi Lampu tenaga surya hemat energi ke daerah-daerah yang belum terjangkau listrik PLN.

Tantangan ketiga yang diberikan oleh pemerintah adalah mengembalikan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 yakni penguasaan kekayaan alam Negara demi kemakmuran Rakyat. Untuk hal ini, Ignasius Jonan telah membuktikan kelasnya sebagai salah satu mentri terbaik Jokowi karena beberapa area penting telah diakusisi dan dikuasai oleh Negara. Yang paling menonjol adalah pengambil-alihan blok Mahakam dari Total yang sekarang dikelola Pertamina, serta pengelolaan blok Rokan yang akan berkahir masa kontraknya di tahun 2021 oleh Chevron dan selanjutnya akan dikelola oleh Pertamina.

Keberhasilan Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% menjadi milik Negara dan tekanan pemerintah terhadap PT Freeport untuk segera membangun smelter merupakan salah satu prestasi besar yang patut diapresiasi tinggi. Hal lain yang menjadi keberhasilan di masa Ignasius jonan adalah tercapainya realisasi pendapatan Negara bukan pajak dari sector ESDM dan juga memangkas regulasi yang bisa menghambat investasi. Ada sekitar 186 regulasi yang disederhanakan di bidang ESDM yang mengundang iklim investasi di bidang ESDM menjadi lebih sehat.

Di tengah banyaknya prestasi tersebut, tentu masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi oleh pengganti Ignasius Jonan ke depan. Rasio Elektrifikasi yang ditargetkan rampung pada tahun 2021 harus dapat tercapai, dan bahkan dipercepat pada tahun 2020 mengingat sampai saat ini sudah mencapai sekitar 98%. Program BBM 1 harga juga menjadi prioritas karena masih banyak titik yang harus dijangkau agar ongkos transportasi yang masih lumayan besar dapat dipangkas dan juga menjangkau hingga ke pelosok. Hal terakhir yang juga menjadi pekerjaan rumah adalah mendorong pengembangan Energy Baru dan Terbarukan untuk menjadi tulang punggung penggunaan energi di dalam negeri, mengingat terbatasnya energi fosil yang bisa dimanfaatkan ke depan.

Salah satu program pemerintah yang sudah dicanangkan sebelumnya adalah Making Indonesia 4.0 dengan tujuan menjadi 10 besar Perekonomian Dunia pada 2030, menuntut semua lini untuk berlomba dengan revolusi Industri 4.0. Salah satu kementrian atau bidang yang menjadi pusat dari program ini adalah kementrian ESDM.

Istilah Industri 4.0 Pertama kali muncul pada pameran Teknologi di Jerman Tahun 2011, yang mana menyadarkan dunia bahwa perkembangan dunia ke depan akan berpusat pada data digital, robotic dan internet. Jika suatu Negara tertinggal dari Negara lain dalam pemanfaatan teknologi digital serta internet, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan ekonomi Negara tersebut akan jauh tertinggal dari Negara yang cepat menangkap perubahan jaman. Jika Indonesia termasuk Negara yang terlambat menangkap perubahan tersebut maka impian untuk menjadi 10 besar perekonomian dunia pun akan sirna.

Kembali lagi kepada peran besar kementrian ESDM, dimana ketika peran robotic, computer dan gadget menjadi sangat penting, pasokan listrik untuk menggerakkan semua hal tersebut menjadi hal yang utama. Kementrian ESDM ke depan dituntut untuk mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan sebagai pemasok utama untuk listrik. Hal ini mengingat persediaan energi fosil yang makin hari makin menipis dan diprediksi suatu saat akan habis. Dengan pengembangan ini, Pekerjaan rumah baru akan muncul, dimana pemerintah dituntut untuk menjaga harga tarif listrik tetap stabil dan tidak memberatkan masyarakat. Polemik tarif dasar listrik yang sempat menjadi isu hangat beberapa saat yang lalu tentu menjadi bahan pembelajaran berarti sehingga ke depan kejadian serupa tidak terjadi kembali.

Sampai saat ini, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi andalan sebagai sumber energi dalam negeri. Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit tenaga listrik serta konsumsi BBM harian yang mencapai hampir dua kali lipat dari produksi dalam negeri menjadi tantangan tersendiri untuk Mentri ESDM selanjutnya. Kementrian ESDM diharapkan dapat mendorong produksi minyak dalam negeri lebih tinggi lagi sehingga biaya produksi BBM dapat ditekan dengan mengandalkan produksi dalam Negeri. Dengan demikian ketahanan Energi dalam negeri dapat dipertahankan dengan baik.

Nahkoda Anti Asing

Merujuk pada berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya terkait tantangan untuk kementrian ESDM ke depannya, maka sosok yang akan menjadi Nahkoda Kementrian ESDM haruslah sosok yang mengerti betul keadaan energi nasional saat ini dan tantangan yang akan dihadapi ke depannya. Nahkoda yang baru juga harus bisa berani melawan kekuatan asing di dalam penguasaan sumber daya alam Indonesia.

Hal lain yang penting juga adalah sang Nahkoda baru harus punya visi ke depan yang jelas terkait ketahanan energi serta pengembangan sumber energi di luar energi fosil sehingga dapat mendorong program Making Indonesia 4.0 terwujud dengan baik dan bisa menjaga ketahanan Energi Nasional dengan baik pula.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ke depan musti bisa menampilkan kepiawain dia sebagai teknokrat dan birokrat. Bisa ikuti kemajuan industri 4.0 dan bisa merangkul birokrat maupun teknokrat memajukan industri energi dan sumber daya mineral.

Yang penting lagi,MESDM berikutnya, bisa  komunikasi baik dengan legislatif agar produk-produk undang-undang di sektor Esdm sinergi dan sinkron. Ini penting agar memberi kenyamanan pelaku industri energi. Gonta-ganti undang-undang di sektor energi dirasakan tidak nyaman oleh industri energi.

Satu pertanyaan yang kemudian muncul, Siapkah para birokrat Energi menjawab tantangan tersebut dan berani menjadi nahkoda Kementrian ESDM selanjutnya? Kita tunggu saja.

*Penulis merupakan Pengamat Energi dan Direktur Eksekutif Energy Watch