MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mempertanyakan kredibilitas lembaga survei. Itu lantaran terdapat selisih jauh antara hitung cepat (Quick Count) dengan real count khususnya di Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Melalui akun Twitter pribadinya, politisi Partai Gerindra itu mengungkapkan sejumlah keraguannya terhadap hasil hitung cepat yang di rilis lembaga survei pada Pilkada Serentak 2018.
Berikut 17 pernyataan Fadli Zon yang dia ungkapkan melalu kultwit Twitter:
1) Kredibilitas lembaga survei kembali dipertanyakan. Dalam Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah, terdapat selisih yg jauh antara angka hasil survei yg dirilis sebelum Pilkada dgn hasil hitung cepat (quick count) dan real count pada hari pelaksanaan.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
2) Untuk melindungi kepentingan publik, keterlibatan lembaga survei dalam Pilkada dan Pemilu perlu diatur kembali.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
3) Sy ingatkan agar lembaga survei tidak boleh mendapatkan keuntungan finansial dari partai politik atau kandidat tertentu tanpa mendeklarasikan siapa pihak atau kandidat yg membiayai mereka.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
4) Sudah menjadi rahasia umum lembaga survei sering merangkap menjadi konsultan politik dari kandidat yg berlaga, baik dalam Pilkada, Pemilu, maupun Pilpres.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
5) Padahal, publikasi lembaga survei bisa mempengaruhi preferensi masyarakat. Menurut sy soal-soal semacam ini tak bisa diserahkan pada kode etik semata.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
6) Di sisi lain, jika kita pelajari, aturan yg ada saat ini masih belum memadai dalam melindungi kepentingan publik dari kemungkinan terjadinya manipulasi terselubung oleh lembaga-lembaga tsb.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
7) Coba lihat kasus Pilkada Jawa Barat, misalnya. Sebelum Pilkada, hampir semua lembaga survei selalu menempatkan elektabilitas pasangan Sudrajat-Syaikhu yg diusung @Gerindra di urutan ketiga, dgn angkhampir seragam di bawah 10 persen.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
8) Tapi, seperti bisa sama-sama kita lihat dari hasil hitung cepat dan perhitungan sementara KPU, pasangan Sudrajat-Syaikhu terbukti bisa meraih suara di atas 28 persen. Meleset ratusan persen.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
9) Begitu jg Pilkada Jawa Tengah. Pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah selalu diberi angka di bawah 20 persen bahkan di bawah 15 persen. Padahal, hasil hitung suara riil sementara ini, pasangan ini melampaui angka 40 persen. Jurang akurasinya jauh sekali.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
10) Selisih yg besar antara angka hasil survei dengan angka riil hari pemilihan itu menurut sy bukan hanya dipengaruhi persoalan metodologi, tapi jg menyembunyikan bias imagologi.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
11) Survei-survei itu seolah hendak mengkampanyekan citra bahwa pasangan Sudrajat-Syaikhu dan Sudirman-Ida adalah ‘underdog’ yg tak menjanjikan, sehingga tak layak dipilih.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
12) Memang, dugaan bisa benar, bisa salah. Namun yg jelas, selain merugikan kandidat tertentu, publikasi yg akurasinya melenceng jauh semacam itu juga merugikan kepentingan publik.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
13) Publik bisa tertipu, mendapatkan informasi salah, tak akurat, bahkan disinformatif. Inilah menurut sy belum dilindungi regulasi yg ada.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
14) Lembaga survei bs menjadikan hasil survei sbg alat kampanye atau alat politik terselubung. Mereka tak lagi independen. Bahkan bagi kandidat yg 'dikecilkan' hasil survei, seperti pernah diakui Sudirman Said, itu merupakan sejenis 'teror'.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
15) Untuk menambah contoh kasus kegagalan lembaga survei adalah pilkada Jakarta. Banyak lembaga selalu memenangkan Ahok-Djarot, tapi nyatanya yg menang Anies-Sandi dgn selisih signifikan.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
16) Ini yg sy sindir, jangan-jangan ramalan dukun bisa lebih tepat dibanding lembaga survei, saking jauh melencengnya prediksi survei. Mereka mengaku ilmiah, tapi hasilnya seperti main-main.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018
17) Sejauh ini keberadaan lembaga-lembaga survei politik hanya diatur UU No. 1/2015 ttg Perppu Pilkada, UU No. 7/2017 ttg Pemilu, serta Peraturan KPU No. 10/2018. Isinya sangat normatif.
— Fadli Zon (@fadlizon) June 30, 2018