MONITOR, Cirebon – Badan Karantina Indonesia (Barantin) menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) tentang hilirisasi dan ekspor produk perikanan yang digelar di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (23/12/2025). Kegiatan ini dibuka oleh Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S.
Dalam sambutannya, Prof. Rokhmin menegaskan pentingnya peningkatan produktivitas dan kualitas produk perikanan lokal, khususnya produk garam, untuk dapat bersaing di pasar internasional. Ia menekankan bahwa penguasaan teknologi, pemahaman standar mutu ekspor, dan konsistensi produksi menjadi kunci bagi pengembangan komoditas strategis tersebut.
“Para petani dan pelaku usaha garam harus serius meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya. Bimbingan teknis ini diharapkan menjadi fondasi bagi mereka untuk memahami proses hilirisasi dan persyaratan ekspor yang berlaku secara global,” ujar Rokhmin, yang juga dikenal sebagai tokoh perikanan nasional dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI.
Prof Rokhmin menempatkan hilirisasi perikanan sebagai bagian integral dari strategi ekonomi pembangunan berbasis Ekonomi Biru—sebuah pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan sumber daya, dan keadilan sosial.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu, salah satu persoalan struktural pembangunan perikanan Indonesia adalah jebakan komoditas mentah (raw material trap). Selama bertahun-tahun, nelayan dan petani perikanan—termasuk petani garam—berada di posisi paling lemah dalam rantai nilai, sementara keuntungan terbesar justru dinikmati di sektor hilir.
“Hilirisasi adalah instrumen untuk memutus ketimpangan struktural itu. Tanpa hilirisasi, perikanan tidak akan pernah menjadi lokomotif kesejahteraan,” ujar Prof Rokhmin.
Dalam perspektif ekonomi pembangunan, hilirisasi memiliki tiga fungsi utama. Pertama, meningkatkan nilai tambah domestik melalui pengolahan dan diversifikasi produk. Kedua, menciptakan lapangan kerja berkualitas di sektor pascapanen dan industri turunan. Ketiga, memperkuat daya saing ekspor melalui standar mutu dan sertifikasi internasional.
Namun, Prof Rokhmin menegaskan bahwa hilirisasi perikanan tidak boleh dilepaskan dari prinsip Ekonomi Biru. Berbeda dengan pendekatan eksploitasi konvensional, Ekonomi Biru menempatkan sumber daya kelautan sebagai modal alam jangka panjang yang harus dikelola secara efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, peran Badan Karantina Indonesia menjadi krusial. Sistem karantina bukan semata instrumen pengawasan, tetapi bagian dari arsitektur ekonomi yang menjamin kualitas, keamanan hayati, dan keberterimaan produk Indonesia di pasar global.
Data resmi menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia terus tumbuh konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024, total nilai ekspor mencapai sekitar USD 5,95 miliar, naik 5,7 persen dari tahun sebelumnya, sementara impor turun signifikan sehingga menciptakan surplus neraca perdagangan sebesar USD 5,43 miliar. Surplus ini naik sekitar 9,1 persen dibanding tahun sebelumnya, menegaskan posisi Indonesia sebagai net exporter di sektor perikanan.
Lebih lanjut, hingga Oktober 2025, nilai ekspor perikanan yang dilaporkan mencapai sekitar USD 5,07 miliar, sementara impor di kisaran USD 0,54 miliar, menghasilkan surplus sekitar USD 4,53 miliar dalam periode Januari–Oktober 2025.
Komoditas unggulan yang mendorong ekspor antara lain udang, tuna, cumi-cumi, dan rumput laut, yang secara kolektif menyumbang porsi signifikan terhadap nilai ekspor nasional.
Hilirisasi: Antitesis Ketergantungan Bahan Mentah
Dalam analisis ekonomi pembangunan, hilirisasi dilihat sebagai proses penting untuk memutus value chain trap di mana negara masih terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah dengan margin keuntungan rendah. Prof. Rokhmin menekankan bahwa memperkuat nilai tambah domestik menjadi kebutuhan strategis untuk memastikan sumber daya laut bukan hanya diekstraksi, melainkan diolah menjadi produk bernilai tinggi yang mampu bersaing di pasar global.
“Tanpa hilirisasi, perikanan hanya menjadi produk mentah yang nilainya dipilih pemain industri hilir,” tegas Prof Rokhmin. Pendekatan ini sejalan dengan Ekonomi Biru yang menempatkan kelautan sebagai modal alam jangka panjang—bukan sekadar sumber daya yang cepat dieksploitasi. Ekonomi Biru menekankan integrasi antara produksi, pengolahan, standar mutu, dan akses pasar, dengan tata kelola berkelanjutan sebagai kunci utama agar potensi ekonomi laut memberikan manfaat jangka panjang bagi bangsa.
Peran Karantina dan Standar Mutu sebagai Infrastuktur Ekonomi
Dalam praktik ekspor, sistem karantina memiliki fungsi yang jauh lebih strategis dibandingkan sekadar gatekeeping. Kepatuhan terhadap standar karantina dan sertifikasi internasional merupakan bagian dari infrastruktur ekonomi non-fisik yang menghubungkan produk lokal dengan pasar global. Ketidakpatuhan terhadap standar ini berujung pada penolakan, penahanan, atau pemusnahan barang, menimbulkan kerugian ekonomi sekaligus merusak reputasi produk nasional.
Tingkat keterpenuhan standar mutu tidak hanya berdampak pada volume ekspor, tetapi juga pada harga jual dan akses ke pasar premium yang mensyaratkan traceability dan keamanan hayati yang tinggi.
Ekonomi Biru: Sinergi Kebijakan dan Manfaat Sosial Ekonomi
Kerangka Ekonomi Biru menjembatani antara tujuan ekonomi (nilai tambah dan ekspor) dan tujuan ekologis (sustainability). Pendekatan ini relevan bagi Indonesia yang memiliki wilayah laut sekitar 65 persen dari total wilayah negara, serta kekayaan biodiversitas yang mampu menopang produksi perikanan besar.
Dari perspektif ekonomi pembangunan, hilirisasi dan Ekonomi Biru bersama-sama mendorong pertumbuhan produktivitas, penciptaan lapangan kerja berkualitas di sektor pascapanen, serta pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Dengan kata lain, transformasi perikanan bukan hanya soal peningkatan ekspor, tetapi redistribusi nilai ekonomi ke pelaku lokal—terutama nelayan dan petani garam dan perikanan kecil.
Tantangan dan Tugas Ke Depan
Meski ekspor meningkat, sektor perikanan masih menghadapi tantangan struktural seperti kebutuhan investasi pengolahan, cold chain untuk kualitas produk, harmonisasi standar internasional, serta penetrasi pasar ekspor baru. Dalam konteks pembangunan jangka panjang, ini menuntut sinergi kebijakan antara pemerintah pusat, daerah, lembaga karantina, sektor swasta, dan komunitas produksi.
Jika hilirisasi dijalankan tanpa koordinasi yang kuat, keuntungan ekonomi berisiko hanya dinikmati oleh segelintir pemilik modal hilir, sementara pelaku lokal tetap terjebak di posisi bawah rantai nilai.
Strategi Ekonomi Biru, sebagaimana digagas Prof. Rokhmin, menawarkan kerangka yang komprehensif: mengubah perikanan dari sektor yang rawan fluktuasi menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya mendorong ekspor, tetapi juga memperkuat ekonomi domestik, ketahanan pangan, dan kesejahteraan komunitas pesisir secara realistis dan adil.