Sabtu, 15 November, 2025

Peran Aktif Puan di Forum MIKTA Perkuat Diplomasi dan Isu Kemanusiaan Indonesia

MONITOR, Jakarta – Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Banna Choiruzzad mengapresiasi peran aktif Ketua DPR RI Puan Maharani yang mewakili Indonesia dalam forum konsultasi parlemen MIKTA. Adapun MIKTA merupakan forum 5 negara kekuatan middle power.

Shofwan menilai kehadiran Puan menunjukkan konsistensi Indonesia dalam menjaga multilateralisme dan mendorong kerja sama global, terutama di tengah meningkatnya tantangan geopolitik dunia.

“Di tengah ketidakpastian global yang dihadirkan oleh peningkatan ketegangan di antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dunia membutuhkan peran aktif dari negara-negara yang bukan adidaya namun punya kepemimpinan dan peran yang signifikan di kawasan atau di sektor tertentu,” kata Shofwan, Jumat (14/11/2025).

“MIKTA adalah salah satu platform yang mempertemukan negara-negara yang memainkan peran penting tersebut,” tambahnya.

- Advertisement -

Seperti diketahui, Puan menjadi salah satu pembicara dalam MIKTA Speakers’ Consultation ke-11 yang digelar di Seoul, Korea Selatan, baru-baru ini. Kehadiran Puan merupakan undangan agenda kenegaraan. Forum MIKTA merupakan acara tahunan di mana Pemerintah juga memiliki agenda yang sama.

MIKTA sendiri merupakan grup negara-negara middle power (kekuatan menengah) yang terdiri dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Sementara MIKTA Speakers’ Consultation merupakan forum konsultatif antara Ketua Parlemen anggota MIKTA.

Shofwan pun menilai kehadiran Puan tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga membawa isu global seperti masalah kemanusiaan yang selama ini membutuhkan suara kuat dari negara-negara middle power.

“Kita melihat Ibu Puan mengambil posisi yang tegas dan konsisten dalam mendorong penyelesaian krisis kemanusiaan seperti di Palestina dan Sudan,” jelas Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) itu.

“Peran aktif seperti ini sangat penting karena isu kemanusiaan sering kali terpinggirkan oleh ketegangan geopolitik dan persaingan kekuatan besar,” sambung Shofwan.

Shofwan menambahkan, keterlibatan aktif Indonesia melalui diplomasi parlemen perlu terus diperkuat.

“Kita mengapresiasi keaktifan Indonesia dalam memanfaatkan platform ini, seperti yang ditunjukkan oleh Ketua DPR yang mewakili Indonesia di forum konsultasi parlemen MIKTA,” ujarnya.

“Semua forum yang bisa digunakan untuk menghadirkan jaring pengaman multilateralisme harus digunakan semaksimal mungkin,” imbuh Sofwan.

Lebih lanjut, Shofwan menekankan pentingnya MIKTA menjaga fokus global pada isu-isu strategis jangka panjang.

“Lewat platform ini, tantangan-tantangan global seperti transisi energi dan perubahan iklim, yang terancam tenggelam oleh isu-isu geopolitik, tetap bisa berada di meja prioritas para pemimpin global,” ucapnya.

Sebelumnya, Puan mengangkat sejumlah isu dalam forum MiKTA ke-11 di Korea Selatan seperti masalah kemanusiaan hingga artificial intellegent (AI).

Di hadapan ketua parlemen negara MIKTA, Puan menyinggung masalah kemanusiaan yang berlangsung lama di Palestina, hingga konflik Sudan yang baru-baru ini terjadi dan membutuhkan langkah dari negara-negara middle power.

“Dalam situasi ini, konsekuensi kemanusiaan di Palestina, Ukraina, Sudan, Yaman, dan di belahan dunia lainnya bukanlah berita yang jauh dari topik utama, tetapi menuntut kita untuk segera mengambil langkah nyata dan menyelesaikannya,” ungkap Puan, Rabu (12/11).

Di Semenanjung Korea, Puan menyebut tantangannya berbeda yakni berkenaan dengan risiko eskalasi, bukan jumlah korban. Ia menilai, anggota MIKTA harus memperkuat manajemen krisis dan membangun kepercayaan.

“Realitas ini mengingatkan kita bahwa insting pertama kita haruslah de-eskalasi dan dialog yang kredibel, bukan upaya terakhir yang diambil terlambat,” terangnya.

Di sisi lain, Puan mengatakan Parlemen bukanlah pengamat dalam pembangunan perdamaian. Menurutnya, parlemen mengubah komitmen menjadi undang-undang, anggaran, dan pengawasan yang membuat perdamaian langgeng.

“Peran kita adalah memastikan mandat dan sumber daya selaras dengan kenyataan di lapangan, bukan pola yang dipaksakan dari jauh,” jelas Puan.

Tak hanya itu, Mantan Menko PMK ini pun menyinggung soal Indonesia yang mengakui AI sebagai teknologi strategis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di masa depan, meskipun permintaan energinya tinggi. Puan juga menilai, AI dapat berkontribusi langsung pada tujuan pembangunan berkelanjutan.

“Indonesia secara konsisten menyerukan kerja sama internasional dalam tata kelola AI yang inklusif, berpusat pada manusia, dan adil bagi negara-negara berkembang,” kata perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI tersebut.

“Kami menyadari peluang AI untuk mempercepat pembangunan, dan bahaya yang dapat ditimbulkannya, yaitu kesenjangan teknologi yang semakin dalam antara negara kaya dan miskin,” lanjut Puan.

Untuk memastikan transisi yang adil dan inklusif, Puan menekankan parlemen harus terlebih dahulu menetapkan arah yang jelas. Ia menilai Parlemen harus mengesahkan peraturan yang mendefinisikan jalur energi jangka panjang, memberikan kepastian hukum bagi investasi energi terbarukan, dan melindungi pekerja serta masyarakat terdampak.

Puan juga mengingatkan agar parlemen harus mendengarkan. Ia menilai, transisi yang adil tidak dapat dirancang hanya oleh kementerian dan para ahli di ibu kota, tetapi juga mendengarkan semua aspirasi masyarakat.

Lebih lanjut, parlemen pun dinilai harus menganggarkan dan mengawasi secara efektif. Puan menyebut, tidak ada transisi yang kredibel tanpa biaya.

“Kita memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pendanaan untuk transisi tidak lenyap dalam birokrasi, tetapi menjangkau pekerja, pemerintah daerah, dan warga negara yang diminta untuk beradaptasi,” sebut cucu Bung Karno itu.

Puan juga mendorong parlemen MIKTA untuk memastikan akuntabilitas dalam teknologi. Ia menuturkan bahwa AI memasuki tata kelola, termasuk pekerjaan parlemen.

“Sebagai anggota parlemen, kita harus menetapkan batasan: bagaimana data dikumpulkan dan digunakan; bagaimana bias dikelola; bagaimana akuntabilitas tetap berada di tangan manusia yang terpilih. Kita juga harus mempertahankan inklusi digital agar AI tidak menjadi hak istimewa segelintir negara dan segelintir kelas sosial,” pungkas Puan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER