MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menyoroti rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang akan mengeluarkan kebijakan terkait kemasan rokok dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Kebijakan tersebut mengatur soal zonasi dan iklan produk tembakau, khususnya desain kemasan agar polos dan seragam.
Nurhadi mempertanyakan keberlangsungan terkait RPMK ini yang pada rapat bersama Komisi IX DPR beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dinilai belum secara gamblang menjelaskan tujuan dari penerapan aturan tersebut.
RPMK yang mengatur pembatasan iklan dan pengendalian produk tembakau itu pun dikhawatirkan akan merugikan kota-kota yang ekonominya sangat bergantung pada industri rokok, seperti Bondowoso dan Kediri.
“Saya mendorong agar Pemerintah mengevaluasi kembali dan melibatkan lebih banyak pihak sebelum RPMK disahkan,” kata Nurhadi, Senin (9/6/2025).
Sebelumnya, Kemenkes menjelaskan bahwa tujuan RPMK ini adalah untuk pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya. Kemenkes menyatakan tidak melarang orang merokok, karena merokok adalah hak dari setiap orang.
Namun, rencana penyusunan RPMK tersebut justru menimbulkan berbagai polemik. Bahkan banyak yang menganggap aturan ini bisa memberikan dampak buruk, baik bagi perekonomian nasional maupun dari sisi kesehatan.
Aturan ini juga dinilai akan memberikan kesempatan besar bagi penjualan produk rokok ilegal sehingga kontraproduktif dengan tujuan Pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok. Nurhadi pun memberi analogi mengenai kebijakan tersebut.
“Saya menganalogikan kebijakan RPMK seperti pengemudi yang di depannya ada kerbau yang ingin menyeberang. Kalau maju terus ya pengemudi nabrak kerbau, mungkin kerbau mati, mobilnya rusak dan pengemudi luka-luka, akan tetapi kalau sedikit menahan keinginan untuk terus maju maka semuanya akan bisa selamat,” tuturnya.
Nurhadi meminta Kemenkes mengkaji lebih dalam mengenai RPMK industri tembakau ini. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak menunjukan keberpihakan terhadap petani dan pelaku usaha tembakau.
Adapun tiga poin yang menjadi fokus kebijakan tersebut, yakni penerapan kemasan polos pada rokok, larangan penjualan rokok pada radius 200 meter di pusat pendidikan dan taman bermain serta larangan pengiklanan produk rokok. Ketiga poin itu juga masih kontroversial sehingga perlu adanya kajian lebih lanjut.
“Kita harus kaji lebih mendalam terkait rencana tiga poin yang mau diterapkan ini. Jika skenario itu dijalankan maka dampak ekonomi yang akan hilang setara dengan Rp308 Triliun atau 1,5 persen dari PDB,” jelas Nurhadi.
Selain itu, kebijakan RPMK dinilai juga bisa mempengaruhi capaian target pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 5 persen. Apabila tetap diterapkan, Nurhadi menyebut Pemerintah berisiko kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp160,6 triliun atau 7 persen dari total penerimaan pajak nasional.
“Maka saya pertanyakan lagi, mengapa Kemenkes begitu memaksakan agar PMK ini jalan? Padahal, penerapan aturan ini akan menyuburkan peredaran rokok ilegal dengan mendorong kebijakan eksesif,” ucap Legislator dari Dapil Jawa Timur VI tersebut.
Di sisi lain, Nurhadi mempertanyakan rencana pemberian kompensasi atau program alternatif bagi petani dan pedagang retail yang akan terdampak atas RPMK ini. Ia menyayangkan tidak adanya pelibatan organisasi masyarakat seperti Serikat Petani Tembakau yang dapat memberikan perspektif lain dari rencana penerapan kebijakan tersebut.
“Bukan saya rewel, saya tidak merokok, tapi saya berempati kepada 1.300 industri rokok dengan 600 ribu karyawan. Ratusan ribu petani tembakau dan puluhan ribu pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya di industri ini akan terdampak,” sebut Nurhadi.
Nurhadi menilai akan banyak masyarakat yang terdampak bila kebijakan ini diterapkan, termasuk ekonomi daerah produksi rokok seperti di dapilnya, Kediri, yang memiliki pabrik rokok terbesar di Indonesia.
“Kebijakan ini memang untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tapi jangan juga Pak Menteri menutup mata terkait keberadaan ribuan industri tembakau ini. Di mana notabene ada ratusan ribuan orang yang menggantungkan hidupnya di sini” lanjutnya.
“Kita minta Menteri Kesehatan kembali mempertimbangkan baik-baik dampak domino dari kebijakan RPMK. Apabila diterapkan, saya pikir jadinya Pak Menteri tidak bijaksana,” sambung Nurhadi.
Oleh karena itu, Nurhadi mengimbau Kemenkes untuk mencari solusi yang lebih bijak dalam mengatasi persoalan tersebut. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah juga harus mementingkan kehidupan rakyat.
Nurhadi menyatakan bahwa Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan akan mengawal penerapan RPMK. Ia juga menyoroti bahwa pembahasan RPMK belum pernah melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan, sehingga ada penafsiran antara pihak Kemenkes dan Kemenaker tidak sama.
“Dan apabila RPMK ini di terapkan, maka tidak akan jauh berbeda kondisinya dengan saudara-saudara kita peternak sapi perah, di mana setiap hari ada ratusan ton sapi perah yang dibuang dan dikorbankan,” tegas Anggota Fraksi NasDem DPR itu.
“Jadi lucu betul negara ini jika setiap kebijakan harus menunggu evaluasi setelah kegaduhan terjadi. Dan harus digarisbawahi pula, saya keras menolak RPMK ini bukan karena saya perokok, tapi murni karena saya pribadi melihat efek negatif dari pemberlakuan RPMK nantinya,” pungkas Nurhadi.