MONITOR, Jakarta – Revisi kebijakan kehutanan yang komprehensif dan holistik adalah langkah penting untuk memastikan kelestarian hutan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi IV DPR-RI Fraksi PDIP Prof Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) “Menavigasi Undang-Undang Kehutanan” di Hotel Sofyan, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Dalam paparannya yang bertajuk “Revisi UU Kehutanan Untuk Mewujudkan Sektor Kehutanan
Yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, Ramah Lingkungan, Dan Berkelanjutan” Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu menyoroti isu-isu kritis yang memerlukan perhatian serius, mulai dari deforestasi hingga perlunya revisi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999.
Adapun beberapa permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian serius diantaranya adalah: Pertama, Deforestasi yang Masif dan Dampak Negatifnya. “Indonesia mengalami rata-rata deforestasi sebesar 492.950 hektar per tahun sejak 2001 hingga 2024. Puncak deforestasi terjadi pada 2016 dengan lebih dari 1 juta hektar hutan hilang,” ujarnya.
Kedua, ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu adalah Alih Fungsi Kawasan Hutan cecara Ilegal. Menurutnya, banyak kawasan hutan yang berubah menjadi lahan perkebunan, pertambangan, dan pemukiman tanpa izin resmi.
Keruga, Kebakaran Hutan dan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dimana Indonesia menyumbang 0,9 miliar metrik ton CO2e pada 2023, menjadikannya kontributor emisi GRK dari deforestasi terbesar kedua di dunia, setelah Brasil.
Keempat, Penurunan Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB. “Sektor kehutanan terus kehilangan daya saing di tengah tekanan ekonomi global dan maraknya praktik ilegal seperti illegal logging,” terang Prof Rokhmin.
Kelima, Konflik Agraria dan Termarginalkannya Masyarakat Adat. Prof Rokhmin menyebut setidaknya asa sebanyak 121 kasus konflik agraria mencakup 2,8 juta hektar wilayah adat, memperburuk ketimpangan di masyarakat.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan perlunya revisi UU Kehutanan untuk memperkuat pengelolaan hutan dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Beberapa poin penting dalam revisi ini meliputi:
- Pemanfaatan Hutan untuk Energi Bersih: Perluasan akses pemanfaatan energi terbarukan di kawasan konservasi untuk mendukung energi hijau nasional.
- Pengawasan dan Penegakan Hukum: Memperkuat pasal terkait dengan teknologi pengawasan dan sanksi hukum untuk mencegah pembukaan hutan ilegal.
- Pengakuan Hak Masyarakat Adat: Memberikan pengakuan hukum dan keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
- Pengembangan Ekonomi Hijau: Penyusunan regulasi perizinan dan insentif fiskal untuk investasi pangan dan energi berbasis hutan yang ramah lingkungan.
Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se Indonesia) memaparkan, Pemerintah Indonesia berencana membuka 20 juta hektar kawasan hutan untuk pengembangan tanaman pangan dan energi. Rencana tersebut mencakup: 15,53 juta hektar kawasan hutan lindung dan produksi, 3,17 juta hektar kawasan PBPH (Perhutanan Bukan Hutan Produksi) yang tidak aktif, 1,9 juta hektar lahan Perhutanan Sosial
“Namun, pembukaan lahan yang luas ini membawa ancaman besar terhadap emisi karbon. Diperkirakan bahwa pembukaan 4,5 juta hektar hutan akan melepaskan hingga 2,59 miliar ton emisi karbon ke atmosfer. Jumlah emisi ini dapat menggagalkan komitmen Indonesia terhadap NDC (Nationally Determined Contributions) dan CBD (Convention on Biological Diversity) dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim dan melestarikan keanekaragaman hayati,” tuturnya.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat deforestasi dan alih fungsi hutan menurut Prof Rokhmin sangat besar. Diperkirakan Indonesia akan kehilangan 600 juta meter kubik kayu komersial, yang berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp3.000 triliun. Selain itu, bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor, yang semakin sering terjadi akibat kerusakan ekosistem hutan, telah mengakibatkan kerugian tambahan sebesar Rp101,2 triliun sejak tahun 2015.
Rencana pembukaan kawasan hutan ini juga berpotensi memperburuk konflik agraria dan masalah hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Saat ini, terdapat 121 kasus konflik agraria yang melibatkan sekitar 2,8 juta hektar wilayah adat.
“Jika rencana pembukaan hutan dilanjutkan, jumlah dan intensitas konflik ini diprediksi akan meningkat, mengancam keamanan sosial dan kesejahteraan masyarakat adat serta lokal yang bergantung pada hutan untuk hidup mereka,” katanya.
Rokhmin Dahuri menguraikan tiga paradigma pembangunan ekonomi yang harus dipertimbangkan dalam perspektif ekologi dan ekonomi untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
- Deep Environmentalist
Paradigma pertama adalah Deep Environmentalism, yang menekankan pentingnya keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan melibatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat terkontrol, dengan prinsip-prinsip seperti: Nol pertumbuhan ekonomi (Zero economic growth), No-take zones, Low utilization of natural resources and environmental services, pertumbuhan populasi nol (Zero population growth).
- Pembangunan Berkelanjutan
Paradigma kedua adalah Pembangunan Berkelanjutan yang diartikan sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam pandangan ini, pembangunan ekonomi harus disertai dengan kesejahteraan yang adil, ramah lingkungan, dan tidak melebihi daya dukung lingkungan. Konsep ini merujuk pada definisi WCED (1987):
Pembangunan ini bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi secara adil dan ramah lingkungan tanpa melampaui daya dukung lingkungan.
- Growth Mania
Paradigma terakhir adalah Growth Mania, yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa batas dan pemaksimalan keuntungan dengan cara yang lebih selfish dan eksploitasi sumber daya alam, dengan prinsip-prinsip yang cenderung merusak lingkungan, seperti: Unlimited growth, Profit Maximization, Selfish, “Get rich dirty, clean-up later”, “Not in my own backyard, you can pollute”