Senin, 2 Desember, 2024

Fenomena Kotak Kosong Menang di Pilkada 2024, DPR: Absurd dan Rugikan Negara

MONITOR, Jakarta – Selain isu banyaknya golput, Pilkada serentak 2024 juga diwarnai fenomena maraknya kotak kosong yang menang. Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan pun menilai pemilihan kepala daerah yang dilakukan serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota itu mengalami anomali dan tidak masuk akal. “Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd). Menangnya kotak kosong merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati,” kata Ahmad Irawan, Senin (2/12/2024).

Seperti diketahui, Pilkada Serentak 2024 banyak diwarnai pasangan calon (paslon) tunggal yang artinya mereka melawan kotak kosong. Beberapa paslon tunggal kalah dengan kotak kosong sehingga menjadi perhatian banyak pihak.

Kotak kosong sendiri merupakan fenomena ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi dalam pemilu di mana kondisi ini seringkali dianggap menguntungkan paslon tunggal karena ketiadaan lawan dinilai membuka peluang lebar untuk menang. Oleh karena itu, kemenangan kotak kosong menjadi kontroversi.

Kemenangan kotak kosong di Pilkada 2024 yang menjadi perhatian terjadi di Pilwalkot Pangkalpinang dan Pilbup Bangka, meski baru berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count). Menurut Irawan, fenomena kemenangan kotak kosong berpotensi merugikan negara. “Jika memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan tersebut seharusnya telah dimulai dan harus ada sejak proses pencalonan. Toh ada mekanisme perseorangan (independen) jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik,” ungkapnya.

- Advertisement -

“Aspirasi atas kepemimpinan alternatif seharusnya tidak hanya pada saat proses pemberian suara (voting day), namun juga bisa mulai sejak awal di proses pencalonan. Akhirnya potensial juga Negara dirugikan karena harus keluar biaya lagi untuk dilakukan pemilihan ulang,” tambah Irawan.

Irawan menjelaskan bahwa hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) merupakan hak konstitusional dan merupakan perwujudan dari kesetaraan dan partisipasi dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law).

“Mengenai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan jalan konstitusional untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik,” paparnya.

Irawan menyebut adanya calon perseorangan merupakan suatu realitas baru dan telah menimbulkan kesadaran konstitusional tentang adanya kesempatan perorangan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada. “Karena partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon,” ungkap Irawan.

Terkait jumlah dukungan ini, memang sudah ada ketentuan konstitusional terbaru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi apabila partai politik menggunakan jumlah perolehan suara minimal yang didapatkan dalam pemilu, saat ini presentase dukungannya telah disamakan dengan dukungan perolehan suara calon perseorangan.

Menurut Irawan, banyak daerah untuk Pilkada 2024 yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD. “Kenapa perlu syarat dukungan? agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah,” tutur anggota dewan yang juga bertugas di Badan Legislasi (Baleg) tersebut.

Ditambahkan Irawan, syarat dukungan juga sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun, serta serta ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab. “Sehingga menurut saya, Negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota),” ujar Irawan.

Irawan menyoroti bagaimana dua pilkada di Provinsi Bangka Belitung (Babel) dikalahkan oleh kotak kosong walaupun baru versi hitung cepat. Paslon Maulan Aklil (Mole) dan Masagus M Hakim yang merupakan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pangkalpinang kalah telak dari kotak kosong yang meraih 48.528 suara atau 57,98 persen. Paslon petahana itu hanya memperoleh 35.177 suara atau 41 persen. Terdapat selisih belasan ribu suara.

Sementara pasangan bupati-wakil bupati Bangka, Mulkan-Ramadian hanya berjasil meraup 50.443 suara atau 42,75 persen, sehingga pasangan calon petahana tersebut untuk sementara kalah dari kotak kosong yang unggul dengan perolehan 57,25 persen. Irawan menyayangkan hal tersebut. “Saya sendiri berpendapat yang dipilih dan berhak dipilih di tempat pemungutan suara dan di dalam surat suara adalah yang telah mengikuti proses pencalonan,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Timur V itu.

Irawan menerangkakan alasannya, yakni karena negara telah memberikan kesempatan yang setara dan kemudahan, baik melalalui jalur perseorangan atau melalui jalur partai politik. Sehingga tidak perlu lagi pertanyaan lanjutan untuk setuju/tidak setuju terhadap calon yang telah melalui proses demokratis. “Meskipun untuk saat ini kita harus menghormati ketentuan konstitusional yang sedang berlaku mengenai dan keberadaan kotak kosong,” kata Irawan.

Irawan mengatakan, hal ini akan menjadi evaluasi bersama antara penyelenggara Pemilu, Pemerintah, dan Komisi II DPR yang membidangi urusan terkait pemilihan umum. “Ke depan semua ini akan kita evaluasi secara holistik dan komprehensif, termasuk apakah mekanisme kotak kosong ini relevan,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER