MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Arif Rahman, mengkritisi implementasi kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Menurutnya, meskipun kebijakan ini sudah didukung dengan tujuh instruksi menteri, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, termasuk keterbatasan anggaran negara.
“Mengenai kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), secara kebijakan sebenarnya sudah ada upaya dari KKP. Namun, implementasinya masih belum optimal. Salah satu kendalanya adalah keterbatasan APBN, misalnya dalam pembangunan pelabuhan,” ujar Arif Rahman dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama KKP di Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Ia juga menyoroti dampak kebijakan tersebut terhadap nelayan lokal, terutama di daerah Banten I yang ia wakili. Menurut Arif, banyak nelayan di wilayah tersebut yang terjerat masalah hukum karena dinilai melanggar aturan, meskipun hal itu terjadi akibat faktor teknis dan administratif yang lambat.
“Banyak nelayan di daerah saya, khususnya di Lebak dan Pandeglang, yang ditangkap polisi karena membeli BBM yang dianggap ilegal. Hal ini terjadi karena proses pendaftaran perahu di dinas terlalu lama. Nelayan yang butuh makan akhirnya tetap melaut dan membeli BBM dari SPBU lain, tetapi kemudian ditangkap,” jelasnya.
Arif menegaskan bahwa persoalan tersebut sangat merugikan nelayan kecil, terutama mereka yang memiliki pendidikan rendah dan sulit memahami prosedur yang kompleks.
Ia menyarankan agar KKP segera menciptakan strategi yang lebih ramah nelayan, seperti mempercepat proses administrasi dan menyediakan fasilitas loket khusus di daerah-daerah nelayan. “KKP seharusnya membuat loket-loket atau tempat layanan di daerah masing-masing agar nelayan bisa lebih cepat mengurus izin perahu. Proses yang lambat ini mencerminkan kelalaian pemerintah dalam melayani kebutuhan masyarakat,” tegas Arif.
Selain itu, ia menduga adanya oknum yang memanfaatkan proses administrasi ini untuk keuntungan pribadi. Ia meminta KKP untuk menyelidiki dan menindak tegas jika ada indikasi penyimpangan. “Kalau di tempat lain, izin bisa selesai dalam waktu seminggu hingga sebulan. Tapi di Banten, prosesnya bisa sampai enam bulan. Saya menduga ada oknum tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk memeras nelayan,” ungkapnya.
Arif juga menyoroti kesulitan nelayan dalam beradaptasi dengan kebijakan digitalisasi, seperti penggunaan barcode saat membeli BBM. Menurutnya, banyak nelayan yang bahkan kesulitan memiliki perangkat teknologi dasar seperti ponsel. “Nelayan membeli HP saja sulit, apalagi kalau harus menghadapi sistem digitalisasi. Ini harus menjadi perhatian KKP agar kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kondisi riil di lapangan,” tutupnya.
Arif berharap KKP segera melakukan perbaikan menyeluruh, mulai dari percepatan administrasi hingga pendampingan digitalisasi, untuk mendukung kesejahteraan nelayan kecil di seluruh Indonesia.