MONITOR, Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus melakukan upaya dalam mengatasi Kebakaran hutan lahan (Karhutla) perkebunan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Salah satu solusi jitu yang digalakkan adalah metode pengendalian ramah lingkungan agar ketersediaan dan keberlangsungan komoditas perkebunan tetap terjaga, bahkan meningkat.
Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah mengatakan penerapan metode pengendalian Karhutla perkebunan yang lebih ramah lingkungan, seperti fasilitasi pembiayaan operasional brigade dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) serta penerapan demplot Perluasan Lahan Tanam Baru (PLTB) seluas 225 hektare di 6 provinsi rawan Karhutla. Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan juga telah memberikan bantuan sarana pengendalian kebakaran kepada brigade dan KTPA antara lain seperti mobil dan motor untuk operasional brigade dan sebanyak 545 unit pompa pemadam kebakaran.
“Selain itu, Ditjen Perkebunan juga gencar melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan berbagai pihak terkait dan melakukan pembinaan kepada para pekebun, salah satunya mensosialisasikan pengolahan atau pembukaan lahan tanpa bakar untuk mendukung potensi penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) Perkebunan Sawit di sentra perkebunan, termasuk Jambi,” demikiak dikatakan Andi Nur Alam di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Terpisah, pada pada kegiatan penyempurnaan regulasi di Jambi, Direktur Perlindungan Perkebunan Kementan, Hendratmojo Bagus Hudoro mengungkapkan dengan mempertimbangkan ilmu dan teknolohi, review terhadap Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar, perlu dilakukan untuk mendukung inovasi dan perubahan. Sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun sekarang ini dapat digantikan oleh teknologi mutakhir sehingga kebakaran lahan dan kebun dapat ditangani secara efisien.
“Oleh karena itu, perlunya penyempurnaan regulasi untuk mengakomodasi terjadinya perubahan teknologi pemantauan dan pengendalian kebakaran seperti citra dan lain lain,” ungkapnya.
Bagus menjabarkan salah satu substansi Permentan Nomor 05 Tahun 2018 tersebut yang diusulkan untuk diubah yaitu pasal 21 ayat (2). Pasal tersebut sebelumnya megatur bahwa sarana pemantauan titik panas meliputi perangkat komputer yang terhubung dengan jaringan internet dan menara pemantau api.
“Saat ini, diubah menjadi sarana pemantauan titik panas meliputi perangkat komputer yang terhubung dengan jaringan internet, menara pemantau api, menara pengawas yang dilengkapi dengan kamera atau CCTV, atau melalui penginderaan jarak jauh yakni potret udara atau citra satelit,” sebutnya.
Adapun dinas yang membidangi perkebunan memberikan beberapa saran dan masukan terhadap Permentan Nomor 5 tahun 2018, salah satunya terkait pembukaan dan/atau pengolahan lahan perkebunan tanpa membakar. Selain itu, penyempuraan substansi lainnya yaitu tentang pengaturan Satgas di perusahaan perkebunan dan alternatif tempat penyimpanan air selain embung.
“Saya berharap hasil dari review regulasi ini dapat segera diselesaikan dan dilaksanakan langsung oleh pekebun dan perusahaan kelapa sawit agar kebakaran lahan ini bisa segera dikendalikan dan dioptimalkan,” ungkap Bagus.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai dengan bulan Oktober 2023, telah terdeteksi terjadi luas area terkena dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai angka 642.099,73 hektare.