MONITOR, Jakarta – Bukti-bukti yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan kartel minyak goreng tidak kuat untuk menyatakan ada pelanggaran Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).
Kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 sampai dengan pertengahan 2022 lebih disebabkan antara lain oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO) dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat, khususnya penerapan harga eceran tertinggi (HET).
Begitulah kesimpulan dari “Kajian Penanganan Perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Terkait Penjualan Minyak Goreng Kemasan di Indonesia” yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI).
Berdasarkan kajian tersebut, naiknya harga minyak goreng kemasan pada akhir 2021 hingga pertengahan 2022 disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar global yang dipicu oleh beberapa faktor, seperti pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Sementara di dalam negeri, program B30 yang dicanangkan pemerintah juga berdampak pada peralihan produksi CPO untuk keperluan biodiesel.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bertujuan menekan harga minyak goreng kemasan di dalam negeri melalui penerapan HET. Mulai dari Permendag Nomor 1/2022 pada 11 Januari 2022, Permendag Nomor 3/2022 yang mulai berlaku pada 19 Januari 2022, Permendag Nomor 6/2022 pada 1 Februari 2022 yang kemudian juga diganti dengan Permendag Nomor 11/2022 pada 16 Maret 2022. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) lewat Permendag Nomor 2/2022, serta larangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya (Permendag Nomor 22/2022). Kebijakan ini untuk mengoptimalisasi ketersediaan CPO sebagai bahan baku utama serta memastikan ketersediaan minyak goreng di pasar domestik.
“Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada akhirnya malah mengakibatkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Kebijakan HET minyak goreng bukan saja merugikan produsen karena harus menjual di bawah harga keekonomian, tetapi juga berdampak negatif pada rantai distribusi minyak goreng. Penetapan HET di bawah harga keekonomian membuat oknum-oknum distributor sengaja menimbun produk dan menjual minyak goreng dengan harga yang jauh di atas HET. Di lain pihak, masyarakat terpengaruh secara psikologis dan bertindak irasional dalam melakukan pembelian minyak goreng kemasan (panic buying). Sementara, kebijakan DMO/DPO tidak bisa mengatasi kelangkaan dan justru menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan karena proses distribusi minyak goreng di luar kendali produsen,” ujar Ketua LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra.
Sebagaimana diketahui, kenaikan harga yang diikuti kelangkaan minyak goreng di tahun 2021 hingga 2022 telah mendorong KPPU melakukan penyelidikan hingga pemeriksaan adanya indikasi pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c dalam Undang-Undang Nomor 5/1999 oleh 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor). Para Terlapor diduga membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober – Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari – Mei 2022.
Investigator KPPU dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) mendalilkan dugaan pelanggaran Pasal 5 tersebut berdasarkan bukti adanya perjanjian di antara pelaku usaha, yaitu adanya perilaku bersama-sama (concerted) untuk menaikan harga minyak goreng pada periode Oktober – Desember 2021 dan periode Maret – Mei 2022. Selain itu, adanya pemberitahuan secara serentak dan bersamaan kepada distributor dan/atau peritel yang didukung oleh alat bukti terkait adanya komunikasi atau interaksi melalui rapat asosiasi.
Menurut Kajian LKPU-FHUI, tindakan menaikan harga suatu barang atau jasa dalam kegiatan usaha merupakan tindakan yang biasa dilakukan. Sebagai contoh, pelaku usaha bahan bakar minyak (BBM) akan menaikan harga jual ketika harga minyak dunia meningkat, dan tindakan menaikkan harga tersebut juga dilakukan hampir bersamaan. Sepanjang tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian, maka tindakan tersebut bukan perbuatan yang dilarang. Artinya, tidak tepat apabila investigator KPPU menggunakan tindakan menaikkan harga secara bersamaan sebagai bukti telah terjadi perjanjian.
Sementara, bukti adanya komunikasi di antara pelaku ternyata hanya berbentuk rekapitulasi rapat-rapat di asosiasi, tanpa menunjukkan materi pembahasan dari rapat-rapat tersebut, khususnya pembicaraan mengenai harga. Ini tidak kuat apabila digunakan sebagai bukti adanya penetapan harga. “Dengan demikian, bisa dikatakan unsur-unsur perjanjian maupun penetapan harga sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5/1999 tidak terpenuhi,” simpul Ditha.
Berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Antimonopoli, investigator KPPU dalam LDP-nya menyatakan bahwa para Terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan atau penjulan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng. Hal ini berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel untuk kurun waktu 2021 – awal 2022 yang menunjukkan adanya penurunan pasokan minyak goreng kemasan.
Tim LKPU-FHUI dalam kajiannya menyatakan, bukti-bukti tersebut kurang relevan karena sejumlah pelaku usaha yang menjadi Terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional. Dengan demikian, bukti yang dimiliki oleh investigator tidak dapat digunakan untuk menyatakan pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan.
“Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai dengan Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih yang signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti bahwa pelaku usaha yang menjadi Terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng,” imbuh Ditha.
Kajian LKPU-FHUI juga menyatakan, investigator KPPU mengesampingkan faktor-faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng, seperti kebijakan pemerintah yang kurang tepat, meningkatnya harga CPO dunia, serta praktek spekulasi dari sejumlah pelaku usaha ritel yang tidak ingin mengalami kerugian karena kebijakan HET. Selain itu, KPPU sebaiknya juga mempertimbangkan putusan Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO. Berkaca dari perkara tersebut, majelis hakim dalam amar putusannya juga menyatakan bahwa kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah. Menurut majelis hakim, intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya dalam penetapatan HET ikut berkontribusi dalam kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng karena tindakan tersebut tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina. Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng.