Oleh: Surya Budiman Mifa*
Pengangguran menjadi persoalan serius bagi negara-negara di dunia khususnya negara sedang berkembang. Pengangguran yang tak tertangani dengan baik akan berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain menyebabkan kemiskinan, pengangguran juga dapat melahirkan berbagai tindakan kriminal. Sejatinya, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut, baik oleh pemerintah, lembaga pendidikan, dunia industri maupun masyarakat. Akan tetapi, hingga saat ini segala upaya tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8.746.008 orang pada Februari 2021.
Jumlahnya meningkat 26,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Mayoritas pengangguran terbuka Indonesia adalah lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 2.305.093, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 2.089.137 orang dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) mencapai 1.515.089 orang. Sementara pengangguran paling kecil berasal dari kalangan yang tidak sekolah sebanyak 20.461 orang.
Data di atas sudah cukup menjadi bukti bahwa pengangguran merupakan persoalan yang tidak boleh dipandang remeh. Perlu perhatian dan penanganan serius dari semua pihak agar dampak yang ditimbulkan tidak semakin meluas. Dalam konteks itulah, pemerintah mendorong terciptanya wirausaha baru sebagai salah satu solusi untuk mengurangi angka pengangguran.
Komitmen pemerintah dituangkan dalam Perpres No. 2 Tahun 2022. Perpres tersebut mengatur penetapan kebijakan pemerintah yang dijadikan sebagai pedoman bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan dalam melakukan pengembangan kewirausahaan nasional sampai 2024 nanti.
Di era digital saat ini, keberadaan wirausaha semakin dibutuhkan guna meminimalisir angka pengangguran sekaligus meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Semakin banyak jumlah wirausaha, maka akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi sebuah negara.
Van Draag dan Versloot (2007) menyatakan, kewirausahaan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi, inovasi, pekerjaan dan kreasi usaha. Penelitian empiris juga mendukung hubungan positif antara aktivitas kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, kemampuan Indonesia dalam mengembangkan kewirausahaan masih sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio jumlah wirausaha kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Thailand yang jumlahnya sudah 4,2 persen, Malaysia 4,7 persen, dan Singapura 8,7 persen. Menurut data Global Entrepreneurship Index 2019, Indonesia berada di urutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.
Langkah Strategis
Mencetak wirausaha baru dalam waktu singkat memang bukan perkara mudah. Di sini dibutuhkan langkah strategis dalam menyukseskan program pemerintah guna mencetak satu juta wirausaha. Karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan.
Pertama, penguatan pendidikan kewirausahaan. Pendidikan ini sangat penting untuk mengubah paradigma pekerja menjadi wirausaha (entrepreneur). Pendidikan kewirausahaan akan mendorong para pelajar dan mahasiswa agar berani membuka usaha. Pola pikir yang selalu berorientasi menjadi karyawan diputarbalik menjadi berorientasi untuk mencari karyawan.
Pendidikan kewirausahaan dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan dan dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan kewirausahaan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Rita Ningsih (2017) menegaskan, pendidikan kewirausahaan tidak hanya memberikan teori mengenai konsep kewirausahaan tetapi juga membentuk sikap, perilaku dan pola pikir entrepreneur. Pembekalan keterampilan dan pengetahuan dapat membantu mengembangkan dan memperluas bisnis mereka nantinya.
Pendidikan kewirausahaan juga membutuhkan kurikulum yang memadai. Karena itu, perumusan kurikulum perlu melibatkan praktisi bisnis atau pengusaha sehingga nantinya mampu menghasilkan konsep dan gagasan kewirausahaan yang tepat sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Kedua, kerja sama. Mencetak wirausaha baru juga dibutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat/daerah, pelaku usaha, dan lembaga pendidikan. Kolaborasi ini sangat penting agar program pengembangan kewirausahaan nasional benar-benar terwujud sesuai target yang telah ditentukan.
Ketiga, membangun unit usaha. Pihak sekolah atau kampus perlu membangun unit-unit usaha sebagai wadah praktikum bagi para siswa. Unit usaha tersebut bisa berupa toko buku, percetakan, bengkel, dan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi para siswa dalam mengembangkan minatnya di dunia wirausaha.
Sekali lagi, mencetak wirausaha dalam jumlah besar tidak dapat dilakukan secara instan. Butuh perjuangan dan dukungan semua pihak. Pihak pemerintah, pelaku usaha, lembaga pendidikan maupun masyarakat perlu bergandengan tangan sehingga ikhtiar mencetak wirausaha baru segera terwujud.
*Penulis Adalah Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bengkalis