Jumat, 22 November, 2024

Khatib Aam PBNU Ajak Mahasiswa PTKI Tangkal Radikalisme

MONITOR, Serang – Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf, menyatakan munculnya kelompok radikal yang ingin mengembalikan tatanan sosial politik di masa lalu menjadi ancaman bagi semua bangsa dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebagai negara yang dikenal memiliki bangsa yang heterogen, multi aliran, multi etnis, Indonesia harus mewaspadai benih-benih radikalisme.

Dalam rangkaian acara Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Nasional (Diklatpimnas) II yang digelar 6-12 Desember 2021 di Serang, Banten, ia menjelaskan Genealogi Ekstremisme atau Radikalisme dan Ancaman bagi Indonesia kepada 80 peserta Diklatpimnas terpilih, yang merupakan mahasiswa PTKI seluruh Indonesia.

Gus Yahya, demikian sapaan karib Yahya Cholil Staquf, menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi eksistensi gerakan kelompok radikal semakin menguat dewasa ini. Pertama, motivasi kejayaan sosial politik di masa lalu yang pernah dicapai pada masa peradaban Dinasti Turki Utsmani.

Dinasti Turki Utsmani, dikatakan Gus Yahya, berhasil menjadi simbol kejayaan umat Islam yang mewarisi sistem daulah sebelumnya yaitu Abbasiyah. Format sosial politik Turki Utsmani ini menjadi konstruksi peradaban Islam yang lama sukses mengekspansi wilayah-wilayah politik.

- Advertisement -

Faktor kedua, kata Gus Yahya, ketidakstabilan tata kelola dunia hingga memicu kegagalan sistemik sering terjadi pasca Perang Dunia II. Upaya penjajahan Israel terhadap bangsa Palestina menjadi satu contoh dari permasalahan sosial, yang berhasil menyita perhatian masyarakat internasional. Selain itu, keinginan negara menguasai dan merebut wilayah perbatasan baik darat maupun laut seringkali terjadi.

“Ini ancaman terhadap format tatanan dunia pasca Perang Dunia II, jika tata dunia ini runtuh, maka Indonesia juga runtuh,” ujar Yahya tegas, Rabu (8/12/2021).

Tokoh Nahdlatul Ulama ini mengingatkan peserta ada dua hal yang harus digarisbawahi untuk menanggulangi potensi radikalisme di Indonesia.

“Pertama, kita tidak bisa pisahkan, antara problem radikalisme trans nasional dengan problem radikalisme domestik yang muncul di Indonesia,” kata Yahya.

Kedua, perlu dikaji mendalam hingga akarnya bahwa radikalisme lebih berorientasi pada kepentingan politik dibandingkan agama.

“Saya ingin tekankan disini, lihat realitas sebetulnya bahwa kita harus melihat radikalisme ini sebagai pilihan politik dengan cara menguliti atau membedah konsekuensi realistisnya. Itu lebih kita butuhkan daripada kita berdebat soal rujukan dalil, karena ini dasarnya adalah politik,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Yahya juga mengungkapkan dirinya tidak rela jika Indonesia harus bubar sebagaimana negara Timur Tengah seperti Suriah, karena adanya kepentingan kelompok yang berupaya menciptakan kerusakan luar biasa dengan memanfaatkan teknologi militer.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER