MONITOR, Jakarta – Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, meminta kepada semua pihak, terutama pemerintah, untuk menjadikan warga Papua sebagai subjek, bukan objek.
“Aspirasi langsung dari rakyat Papua wajib didengar, guna menghindari eskalasi kekerasan yang berpotensi meningkat seiring dengan pembahasan RUU Otsus Papua,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Mardani menyampaikan, jika ingin menuju model resolusi konflik seperti perundingan Helsinki pada 2005 lalu, maka pemerintah mesti melihat persoalan Papua dengan paradigma dan perspektif yang lebih demokratis.
“Penanganan keamanan tetap dalam bingkai kerangka hukum yang proporsional,” ujarnya.
Namun, Anggota DPR RI itu mengatakan, hal tersebut harus diiringi upaya melakukan proses dialog. Menurut Mardani, bangun ruang komunikasi dengan berbagai pemangku kebijakan yang strategis di Papua.
“Kelompok-kelompok tersebut jadikan satu ruang oleh pemerintah untuk duduk bersama, lebih baik, lebih inklusif dan lebih demokratis. Itu cara terbaik penyelesaiannya,” katanya.
Tidak terelakkan, lanjut Mardani, tata kelola Otsus Papua memang jadi persoalan, sudah hampir 20 tahun penerapan Otsus Papua namun dampaknya belum terasa. Terlebih mekanisme pertanggungjawaban dana tersebut tidak diatur secara tegas.
“Imbasnya, manfaat dana tidak terlihat dan tidak bisa dibedakan dengan dana APBD. Publik tidak tahu dana untuk pendidikan, ekonomi, kesehatan selama ini apakah berasal dari dana otsus atau berasal dari APBD. Harus ada sistem pemantauan anggaran yang transparan agar monitoring alokasi anggaran bisa berjalan, sekaligus mencegah praktik penyelewengan,” ungkapnya.
Mardani menilai, masyarakat Papua pun saat ini menjadi skeptis dan lelah terhadap kelanjutan Otsus Papua karena dianggap tidak merubah keadaan. Menurut Mardani, jangan sampai ada anggapan pembiaran yang dilakukan pemerintah dalam pengelolaan dana otsus.
Mardani mengakui, kebijakan tersebut mesti dipertahankan, tapi dengan syarat perbaikan kesejahteraan yang rill, bukan semu.
“Tidak bisa dari Jawa, apalagi hanya Jakarta. Jadikan masyarakat Papua sebagai subjek, pendekatan damai dan ‘mengalah’ untuk sebuah kemenangan dalam hidup bersama di bingkai kedamaian,” ujarnya.