MONITOR, Jakarta – Setelah melalui proses yang panjang, Pemerintah dan DPR kecuali fraksi Demokrat dan PKS akhirnya dengan kompak dan yakin mengesahkan Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja melalui rapat paripurna yang digelar pada Senin (5/10/2020).
Pengesahan UU Ciptaker tersebut kemudian disambut penolakan dari berbagai elemen masyarakat seperti buruh, mahasiswa, akademisi dan lainnya sehingga menimbulkan gelombang protes di berbagai daerah termasuk pada Kamis (8/10/2020) yang memunculkan bentrokan di beberapa wilayah utamanya di DKI Jakarta.
Sementara itu, beberapa Ormas penting seperti NU dan Muhammadiyah yang juga menyatakan menolak mempertimbangkan untuk menggugat melalukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa pasal yang dinilai tidak menguntungkan kaum lemah dengan pertimbangan RUU Cipta Kerja lebih berat kepada kelompok kepentingan tertentu.
Menyikapi berbagai polemik terkait UU Cipta Kerja tersebut, Ketua Umum Forum Satu Bangsa (FSB), Hery Haryanto Azumi mengapresiasi Pemerintah yang telah mengambil risiko untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja ini.
Menurut mantan ketua umum PB PMII itu, UU Ciptaker adalah sebuah langkah maju dalam membenahi keruwetan dan bottlenecking birokrasi Indonesia yang sekian lama tidak mampu untuk menangkap peluang perubahan geopolitik dan geoekonomi dunia yang sebenarnya menguntungkan Indonesia.
“Namun karena lemahnya perangkat dan ekosistem Indonesia, peluang pergeseran tersebut tidak cukup dapat ditangkap,” kata Hery melalui keterangan tertulisnya kepada media di Jakarta. Jumat (9/10/2020).
Terkait dengan banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat, Hery menilai ada komunikasi yang tidak cukup terbuka terkait dengan RUU Cipta Kerja tersebut sehingga timbul mispersepsi yang cukup substantif dan meluas terkait dengan pasal-pasal yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, Hery meminta agar Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin harus lebih solid dan terbuka dalam proses pembuatan kebijakan sehingga tujuan-tujuan baiknya dapat diterima dan dipahami dengan benar oleh publik.
“Harus dibuka kemungkinan untuk merevisi beberapa pasal yang dinilai merugikan kalangan masyarakat yang tidak terproteksi melalui jalur Judicial Review di Mahkamah Konstitusi,” tegas Hery.
UU Cipta kerja, tambah pendiri Majelis Dzikir Hubbul Wathon ini, justru memberikan kepastian hukum sehingga credit rating Indonesia semakin naik. “Dengan turunnya risiko politik di Indonesia, maka peluang investasi yang akan mengikuti pemulihan ekonomi pasca Covid-19 akan semakin besar,” terang Hery.
Pemerintah, lanjut Hery justru harus membuktikan bahwa dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini, pihak-pihak yang telah memberikan komitmen untuk berinvestasi segera dapat direalisasikan secara lebih cepat.
“Pemerintah harus berani untuk melawan populisme yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Bagian terbesar dari rakyat Indonesia menghendaki agar pemerintah benar-benar committed kepada perbaikan sistem yang lebih berpihak kepada rakyat,” pungkasnya.