MONITOR, Jakarta – Fenomena jatuhnya harga minyak dunia di tengah pandemi virus Corona menyita perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Data Bloomberg Kamis (17/4) mencatat, harga minyak Brent untuk kontrak Juni 2020 sebesar US$ 27,82 per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Mei 2020 US$ 19,92 per barel.
Komisaris Utama Perusahaan Gas Negara (PGN), Arcandra Tahar, mengatakan hampir tidak banyak yang memprediksi bahwa harga minya dunia ini bakal jatuh begitu dalam.
“Hampir tidak banyak yang memprediksi harga minyak dunia bakal jatuh begitu dalam. Namun ada banyak pelajaran yang sebenarnya bisa kita gali dari pergerakan harga minyak dunia selama tahun 2020 ini,” ujar Arcandra Tahar dalam keterangannya di laman Instagram, yang dikutip MONITOR, Sabtu (18/4).
Arcandra mengungkapkan, jauh sebelum wabah COVID 19 meluas ke seluruh dunia, harga minyak di awal Maret sudah jatuh ke level US$ 45 per barel. Berawal dari kegagalan pertemuan OPEC+ di Vienna pada 5-6 Maret menyepakati pemangkasan produksi sebesar 1,5 juta barel per hari selama 2020.
Ia menjelaskan, saat itu Arab Saudi beserta OPEC siap untuk memangkas produksi 1 juta barel dan sisanya 500 ribu barel oleh Rusia sebagai bagian dari OPEC+. Tapi permintaan Arab Saudi tersebut ditolak.
“Dalam kacamata bisnis minyak dunia, langkah Rusia itu tidak mengejutkan. Karena sesungguhnya mereka khawatir jika produksi dipangkas, maka pasarnya akan digantikan oleh Amerika Serikat (AS),” terang mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini.
AS sendiri, terang Arcandra, saat ini sudah menjadi produsen minyak dunia. Selama 10 tahun terakhir produksi minyak AS naik dari sekitar 5 juta barel per hari pada tahun 2010 menjadi 13 juta barel per hari pada tahun 2020. Dari jumlah produksi itu, sekitar 4 juta barel harus di jual ke pasar.
Dengan kelebihan produksi sebesar itulah AS dinilai akan mengambil keuntungan jika OPEC+ memangkas produksi. Arcandra pun menilai AS punya kepentingan agar harga minyak dunia selalu diatas US$ 40 per barel.
“Ini mengingat biaya produksi minyak di AS berkisar antara US$ 40 – US$ 50 per barel,” jelasnya.
“Kini setelah harga minyak justru turun dibawah US$ 30 per dollar, siapa yang diuntungkan?” tanya dia.
Arcandra menjelaskan, biaya produksi minyak di Arab Saudi sekitar US$ 10 – US$ 15 per barel. Sementara Rusia rata-rata biaya produksi minyaknya US$ 30 per barel. Jika situasi harga minyak rendah ini berlangsung lama, tentu yang biaya produksinya mahal yang bakal rugi besar.
“Jadi siapa yang paling diuntungkan? Tentunya konsumen atau importir minyak yang bisa mengoptimalkan peluang ini untuk kepentingan jangka panjang. Apalagi dampak virus Corona diproyeksikan akan semakin membuat harga minyak dunia bertahan di level harga rendah dalam waktu lama,” pungkas Asrcandra.