Oleh: Soffa Ihsan*
Banjir besar di Ibukota Jakarta tepat mengawali tahun 2020, 1 Januari 2020 rupanya tak hanya menghablurkan duka lara bagi masyarakat khususnya yang terdampak banjir. Disebalik bencana itu, ada ‘gegeran’ yang tak kunjung reda. Gara-garanya soal ‘istilah’. Loh, ya sebuah kata ternyata bisa membuat gaduh. Apa itu? Muncul istilah ‘normalisasi’ dan ‘ naturalisasi’.
Kedua istilah ini memang sudah jamak alias populer di benak khalayak. Tapi kalau menyangkut banjir, kedua istilah ini sudah masuk level ‘tehnis’. Jadi jangan coba-coba menafsirkan kalau bukan ahlinya, bisa-bisa ‘salah kamar’. Ya kalau salah masuknya ke kamarnya pengantin, bisa merem melek, lha kalau kamar mayat, wow bisa kejang semaput.
Sudahlah, ini tidak membicarakan soal istilah tehnis terkait banjir. Kayaknya kedua istilah tersebut ada nyangkutnya dengan dunia radikal-radikul. Pada kajian radikalisme dan terorisme, biasa dipakai istilah deradikalisasii.
Dari metode ini tampaknya senasib dengan metode penanganan banjir, yaitu sama-sama menghadapi ‘teror’ berupa banjir dan yang satu berwujud kekerasan dengan segala bentuknya. Begitupun, metode penanggulangan banjir maupun radikalisme juga sama-sama telah menimbulkan saling-silang pendapat hingga sampai derajad sinisme dan sarkasme.
Ada yang percaya deradikalisasi itu mungkin, tapi juga ada yang pesimis. Bahkan pula kalau ada eks napiteroris yang kembali melakukan aksi teror akan diserapahi bahwa deradikalisasi telah gagal.
Belum lagi mereka yang sudah sejak awal termakan ketidakpercayaan dan kebencian sehingga lantang menyebut aksi teror yang terjadi hanya ‘pengalihan isu’ atau apalah. Beda tipisnya, kalau banjir datang berkala di setiap musim penghujan, sedang aksi teror datangnya sulit ditebak, tiba-tiba meledak.
Normalkah?
Jauh-jauh warsa, para peneliti terutama peneliti Barat meyakini bahwa pelaku terorisme adalah orang-orang penyandang sakit jiwa., penderita gangguan kepribadian atau orang-orang sadis. Kebanyakan peneliti Barat ini menganggap teroris Indonesia bahkan anti sosial atau yang biasa disebut psikopat.
Bahkan pula, literatur Barat menganggap libido seksual mereka—dengan meminjam teori psikoanalisa Sigmund Freud—berkembang tidak normal. Ini musababnya, menurut mereka lantaran banyaknya larangan perilaku seksual dalam ajaran Islam.
Namun, lambat laun pandangan ini terpatahkan dan tidak terbukti dalam berbagai penelitian. Yang terbukti dalam penelitian lanjut adalah bahwa para pelaku terorisme adalah orang-orang biasa—bahkan beberapa diantaranya tergolong cerdas—yang kebetulan memiliki idiologi yang berbeda dengan yang normal.
Idiologi ini sangat mereka yakini seolah-olah idiologi mereka yang paling benar dan ide-ide lain diluar itu salah dan dianggap bisa merusak agama dan karenanya wajib diperangi. Perilaku teror mereka lebih banyak disebabkan oleh sikap yang dipelajari, bukan gangguan jiwa bawaan.
Sikap negatif terhadap kafir, thagut, Amerika, Israel dan pemerintah disebabkan oleh cara berfikir yang monolitik, wawasan sempit dan cuci otak. Sikap itu pada gilirannya setelah melalui proses yang panjang bisa berubah menjadi idiologi.
Idiologi yang dimaksud disini adalah ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan ingin menegakkan syariat Islam, dengan cara memerangi apa yang mereka sebut sebagai musuh-musuh Islam. Bagi pelaku teror, identitas kelompok lebih penting daripada identitas pribadi dan mereka merasa lebih bermakna di jalan jihad. Ini yang disebut bigotry.
Diluar idiologi mereka yang ekstrem itu, mereka adalah orang-orang normal yang beranak istri. Artinya, libido seksual mereka tersalurkan dengan normal, cinta pada orang tua, setia kawan, bekerja untuk mencari nafkah dan seterusnya. Sebagian pelaku terorisme yang lain adalah orang-orang biasa yang kebetulan berkerabat, bertetangga atau pernah menjadi santri di pesantren tertentu.
Mari kita lacak sepintas ‘biografi’ pada ‘generasi I’ teroris yaitu pelaku Bom Bali. Kita cukupkan 3 sosok yang legendaris. Ibarat sebuah grub band, mereka ini kompak dalam memainkan strategi dan berhasil melakukan aksinya dengan mulus.
Masyarakat dan aparat sampai tak menduga sama sekali bakal terjadi laku teror yang dampaknya sangat besar dengan memakan korban yang besar. Bahkan ketika di rumah kontrakan pelaku Bom Bali itu terjadi ledakan akibat percobaan gagal menyalakkan bom, masyarakat sekitar rumah kontrakan tersebut tidak curiga. Ini lantaran saking acuhnya masyarakat sekeliling.
Kita awali dari Imam Samudera. Laki-laki kelahiran 1970 ini berasal dari Banten. Kakek dari ayahnya dikenal dengan jagoan ilmu kebal. Ibunya adalah keturunan tokoh Islam lokal yang terkenal yaitu KH Wasith. Sebagai anak laki-laki, Imam Samudera mempelajari ilmu kebal, tapi kemudian dia berhenti menjalaninya karena mendadak timbul kesadarannya bahwa itu adalah perbuatan syirik. Imam Samudera dikenal di kampungnya sebagai jago berkelahi dan selalu memenangkan perkelahian meski musuhnya tubuhnya lebih besar.
Pada masa pendidikannya dari SD dan SMP yang dibarengi dengan belajar agama di madrasah pada sore harinya, Imam Samudera dikenal selalu mendapat ranking pertama di kelas. Ini hingga di jenjang SMA yang kemudian dia berhenti karena memilih di madrasah Aliyah.
Sejak di SMP, Imam Samudera melihat teman-temannya tidak terlalu dekat dengan ajaran agama serta cara hidup mereka terutama soal seksual yang permisisf. Teman-temannya tidak banyak yang mau mengaji karena menganggap akan mengganggu pelajaran mereka di sekolah.
Imam Samudera sendiri hobi membaca buku terutama tentang pergerakan Islam, sejarah dan pemimpin Islam seperti Malcom X, Sayyid Qutbub, Hassan al-Banna danjuga tentang Darul Islam. Untuk tokoh di Indonesia, dia tertarik dengan figur Imaduddin, seorang insiyur lulusan ITB yang mengajarkan Islam. Namun dia tidak menyukai Nurcholis Majid yang dipandangnya terlalu sekuler.
Imam Samudera dengan menganggap sebagai inspirasi dari ayat al-Quran, memandang bahwa orang Yahudi dan Kristen ingin menghancurkan Islam yang direpresentasikan oleh Amerika dan Israel.
Baginya, satu-satunya cara untuk mewujudkan pembelaan Islam adalah dengan cara menghancurkan Amerika, Israel dan kroni-kroninya. Ini baginya merupakan kelanjutan dari perang salib. Jadi bukan perang lokal lagi.
Dari sinilah, Imam Samudera bertekad untuk melakukan sesuatu demi Islam. Dia akhirnya bisa pergi ke Afghanistan. Sepulangnya, dia terlibat dalam aksi bom-bom yang terjadi di gereja Santa Anna, HKBP dan gereja Atrium di Jakarta. Aksi besarnya adalah Bom Bali yang merupakan idenya. Ini dilatari oleh dendam atas kejadian di Palestina, Afghanistan dan lainnya. Dia lalu berkolaborasi dengan Ali Ghufron yang dipandang punya semangat yang sama.
Ali Ghufron adalah sosok yang berasal dari Lamongan. Ayahnya adalah seorang pejuang melawan penjajah Belanda. Ayahnya hidup dalam keluarga Nahdhiyin. Namun lambat laun, Ali Ghufron jengah dengan kehidupan di kultur Nahdhiyin.
Dia lalu memandang lingkungan seperti itu memiliki tradisi yang korup, sehingga para kyai menjadi sangat kaya, sementara umatnya menjadi sangat miskin. Ini memicunya untuk memberontak dan bergerak keluar dari desa dan bergabung dengan Muhammadiyah. Pendidikannya tidak tinggi dan sempat di pesantren Ngruki.
Ali Ghufron ingin sekali belajar ke luar negeri yang kemudian membawanya ke Malaysia, Dari sini dia kemudian ke Pakistan. Di negara ini, Ali Ghufron bertemu dengan mujahidin Arab yang akan pergi ke Afghanistan yang akhirnya membuatnya justru bergabung dengan mereka dan bukannya melanjutkan pendidikannya.
Di Afghanistan dia terlibat dalam pertempuran melawan Uni Soviet dan bertemu dengan Osama bin Laden yang sangat dia kagumi serta menemaninya selama beberapa bulan di medan perang.
Selama ikut perang di Afghanistan, Ali Ghufron merasakan begitu senangnya bahkan baginya lebih menyenangkan daripada bercinta dengan istrinya. Dia sangat senang melihat mayat kawan-kawannya yang tersenyum dalam pertempuran dan dia selalu bertanya-tanya, kenapa dia, mengapa tidak saya?.
Keterlibatan Ali Ghufron dalam Bom Bali, baginya merupakan upaya untuk memperbaiki masyarakat yang manja. Dia mengibaratkan masyarakat sebagai sungai yang dulunya sangat bersih namun kemudian menjadi kotor. Dan yang mengotori ini ada ‘dalangnya’ yaitu Israel dan Amerika.
Bagaimana dengan Amrozi? Sosok ini juga berasal dari Lamongan. Tidak mengenyam pendidikan yang layak dan drop out. Amrozi karena benci terhadap tradisi masyarakat yang dianggapnya syirik, pernah melakukan pengecetan pohon-pohon dengan kotoran manusia.
Di lingkungan keluarganya, Amrozi dipandang anak yang bermasalah. Dia pergi ke Malaysia mengikuti saudaranya Ja’far Shodiq. Namun dia di sana tidak melakukan apapun, terlalu malas untuk bekerja.
Amrozi adalah orang dengan pikiran sederhana. IQ-nya kurang dari rata-rata. Dia sulit mengungkapkan pemikirannya dalam kalimat yang tepat. Dia adalah tipe anak yang suka memberontak dan melakukan tindakan aneh seperti merusak kuburan yang diziarahi warga sekitar. Dia juga orang yang impulsif.
Dari pikirannya yang cekak ini, mumbul pandangan bahwa dia harus berjuang untuk Islam, bukan untuk negara. Jihad baginya adalah satu-satu cara yang benar. Karenanya, mengharuskan dia untuk melakukan aksi yang menurutnya sebagai wujud jihad yang benar seperti ke Ambon dan yang fantastis adalah keterlibatannya dalam Bom Bali.
Pada generasi paska Bom Bali, muncul sosok pelaku teror yang berwajah baru. Mereka juga punya ‘keunikan’ dalam latar yang mendorong pilihannya. Misalnya, sosok Yudi Zulfahri, seorang mahasiswa STPDN yang masuk di jaringan radikal.
Ada lagi, seorang desertir tentara yaitu Yuli Harsono yang terlibat dalam aksi teror setelah direkrut oleh mentor jihadis Aman Abdurrahman di penjara Sukamiskin. Yuli Harsono setelah keluar penjara terlibat penembakan polisi di pos polisi Purworejo, yang mengakibatkan dua polisi tewas. Aksi ini sebagai balasan atas tindakan polisi yang telah menangkap Aman Abdurrahman yang terkait dengan dengan kasus kamp pelatihan di Aceh.
Mereka yang Tak Terduga
Ini sekedar mengingatkan masa-masa ketika negeri kita dihujami oleh kasus teror. Menariknya, pada aksi teror ini muncul wajah-wajah baru yang tak terduga. Pada 15 April 2011, khalayak dikejutkan dengan bom bunuh diri di masjid Polresta Cirebon.
Pelakunya adalah Muhammad Syarif. Peristiwa pemboman ini mengagetkan karena sejak Bom Marriot II pada 2009 situasi relatif aman terkendali, tidak terjadi aksi bom. Bahkan sebelum Bom Marriot II, sejak Bom Bali II pada 2005, Indonesia boleh dikata sepi bom.
Ketika Bom Marriot II meledak, orang sudah mulai bertanya-tanya, karena pelakunya yaitu Ibrahim adalah orang baru sama sekali yang tidak dikenal sebelumnya baik oleh Polisi maupun dikalangan para mantan pelaku bom yang sudah tertangkap. Baru belakangan terungkap orang yang merekrutnya adalah Saifuddin Zuhri.
Kasus Bom Cirebon tampaknya lebih mengherankan. Selain karena pelakunya juga orang baru yang tidak dikenal sebelumnya, juga karena sasarannya masjid dimana umat Islam sedang melaksanakan sholat jumat dan polisi.
Tentang polisi mudah diberi penjelasan oleh karena polisi adalah bagian dari pemerintah yang dipandang thoghut yang harus dilawan dan dibunuh. Hal ini lantaran belum ada sebelumnya masjid dan umat yang sedang menjalankan ibadah menjadi sasaran teror bom. Beda banget yang terjadi di negara lain seperti Irak atau Pakistan, banyak masjid yang menjadi sasaran bom.
Gejala baru ini menyebabkan orang menyangka bahwa bom Cirebon dan mungkin bom-bom lainnya termasuk bom Solo yang terjadi pada 25 September 2011 dengan Ahmad Yosepa Hayat sebagai pelaku bom bunuh diri, tidak ada hubungannya dengan kasus bom-bom masa lalu. Bahkan Abu Bakar Baásyir secara spontan kala itu menyatakan bahwa pelaku bom Cirebon adalah kafir.
Sementara itu terjadi Bom Buku dan polisi menemukan bom-bom yang sudah ditanam di gorong-gorong di sekitar gereja Christ Cathedral di Serpong. Ketika terungkap ternyata pelakunya sama, yaitu seseorang yang bernama Pepi Fernando, alumni IAIN Jakarta, pekerja TV, pernah menjadi wartawan infotaintmen.
Selidik punya selidik, dulunya Pepi tidak rajin shalat dan tidak ada tanda-tanda sedikitpun yang mengarahkan untuk menjadi pelaku teror. Walaupun terungkap Pepi pernah masuk jaringan NII wilayah Sumatera pimpinan Abu Kholis.
Pilih Metode Apa?
Nah, pada akhirnya apa yang harus kita pilih untuk membendung arus radikalisme?. Apa lalu dengan ‘normalisasi’, caranya menggusur mereka yang berada di ‘bantaran’ aliran sungai radikal, lalu membangunkan tempat khusus buat mereka.
Kalau ‘naturalisasi’ di sini akan bermakna ‘menghijaukan’ sekitar lingkungan mereka yang terjerat radikal, supaya ketika ada ‘banjir’ luapan gejolak, akan menghambat gerak laju mereka.
Ternyata membendung ‘murka alam’ dengan ‘murka manusia’ tidak sejenis. Alam masih bisa disiasati dengan kecerdikan manusia. Tapi kalau manusia yang sama-sama cerdik, persoalannya ‘siapa mensiasati siapa’.
Radikalisme lahir dari kepicikan pikir yang dibaluti oleh idiologi yang lalu membuat kejumawaan bahwa idiologinya paling benar. Cara berfikir mereka monolitik, wawasan sempit dan cuci otak. Seperti para pelaku teror, mereka adalah orang-orang normal dengan ragam ‘psikologi’ yang melatarinya. Kemudian mereka menjadi kalap dan nekad melakukan amaliyat teror.
Bagaimana pula dengan ‘radikalisme milenial’ yang bisa lahir dari sosok-sosok klimis dandy, dan agamis, tetapi garang dalam menyemburkan kebencian terhadap kelompok lain? Ada resep jitu.
Apapun istilahnya entah itu normalisasi, naturalisasi, atau deradikalisasi untuk menanggulangi ‘banjir’ radikalisme perlu menoleh pada penguatan literasi. Cara ini murah dan efektif serta dijamin bebas pro-kontra.
Dengan metode literasi, sejatinya ‘melampaui’ metode yang ada. Karena, literasi akan mengajak ‘kembali’ pada fitrah manusia yang selalu haus ilmu dan kerohanian sehingga akan menjadi ‘tembok’ atau ‘penghijauan’ yang menghambat pada ‘banjir’ kemarahan dan tindakan teror yang hanya akan menenggelamkan peradaban umat manusia.
Penulis adalah seorang Marbot pada Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku).