Dimas Dwi Pratikno *
Pembangunan diartikan sebagai upaya meningkatkan pendapatan perkapita tanpa memperhatikan masalah-masalah seperti kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, dan kesenjangan.
Pada tahun 1990-an definisi pembangunan berkembang dengan perhatian terhadap peningkatan kualitas hidup, dan barulah pada tahun 2000-an dikenal konsep pembangunan berkelanjutan yang mengalami perkembangan pengertian, tidak hanya menekankan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pada masa yang akan datang (Niken et al., 2018).
Pembangunan yang mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan dalam jangka panjang sudah mulai dilakukan oleh banyak negara di dunia. Melalui kesepakatan Paris misalnya, sebanyak 115 negara yang telah menandatangani kesepakatan tersebut berkomitmen melakukan dekarbonisasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkomitmen untuk menurunkan temperatur global hingga dibawah 2%.
Kesepakatan tersebut setidaknya menggambarkan bahwa banyak negara telah sadar bahwa pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya dilakukan. Namun, pertanyaanya ialah bagaimana dengan negara yang tengah fokus membangun ekonominya, dimana penggunaan energi akan semakin meningkat dan diikuti dengan menghasilkan emisi yang juga semakin tinggi?
Indonesia saat ini tengah melakukan pembangunan ekonomi secara serius dimulai dengan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat konektivitas antar wilayah. Walaupun masih menimbulkan banyak kontroversi mengingat data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa persentase kontribusi industri pengolahan terhadap Pendapatan Domestik Bruto justru tumbuh minus pada tahun 2014 sebesar 21,08% turun di tahun 2015 menjadi sebesar 20,99%, kemudian turun kembali di tahun 2016 hingga 2018 masing-masing sebesar 20,52%, 20,16%, dan 19,86%.
Data tersebut menunjukan gejala deindustrialisasi sedang terjadi di Indonesia, tetapi jika melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup stabil. Merujuk data BPS pada tahun 2017 sebesar 5,07% dan 2018 sebesar 5,17% artinya masih ada harapan pembangunan ekonomi Indonesia terus berlanjut ditopang dengan konsumsi rumah tangga yang masih tinggi.
Sudah banyak studi dilakukan terkait hubungan kebutuhan energi dengan perekonomian seperti studi yang dilakukan oleh Jahen Fachrul Rezky (2011) berjudul “Konsumsi Energi dan Pembangunan Ekonomi Asia Tenggara” atau peneitian serupa yang dilakukan oleh Kebede et al (2010) di Kawasan Sub-Sahara Afrika.
Studi-studi tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi memiliki hubungan dan terdapat indikasi jika hubungan tersebut merupakan hubungan yang bersifat kausalitas.
Tahun 2014 konsumsi energi Indonesia berada diposisi 4.199.683 Terajoule dan terus meningkat hingga tahun 2018 sebesar 4.947.693 Terajoule. Hanya di tahun 2017 tumbuh minus 0,26% diposisi 4.511.078 Terajoule.
Konsumsi energi tersebut sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukan tren naik pada tahun 2014 sebesar 4,88% hingga tahun 2018 sebesar 5,17% meskipun banyak juga ekonom yang berpandangan bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari itu.
Konsumsi energi yang semakin tinggi tersebut mendorong ekonomi Indonesia juga tumbuh dengan kata lain pembangunan di Indonesia berjalan dengan lancar hanya saja masih menyisahkan sedikit dilema karena ternyata pembangunan tersebut tidak memperhatikan dampak lingkungan, tercermin dari laporan inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terkait emisi yang dihasilkan oleh sektor energi menunjukan tren yang selalu meningkat seperti gambar berikut:
Ini tentu menjadi catatan bagi pembangunan ekonomi di Indonesia, satu sisi pembangunan memerlukan energi yang besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi namun disisi lain pembangunan tersebut harus mempertimbangkan keberlanjutan dimasa yang akan datang.
Pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan agar pembangunan yang dilakukan lebih memperhatikan dampak lingkungan dan berkelanjutan.
Saat ini produksi energi Indonesia sebagian besar bersumber dari Batu Bara dan belum ada kebijakan yang ingin diambil pemerintah untuk mengurangi penggunaan Batu Bara sebagai sumber energi bahkan Perusahaan Listrik Negara justru ingin menambah penggunaanya hingga 2 kali lipat mulai tahun 2017 hingga 2025 nanti.
*) Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Lampung (Unila)