MONITOR, Jakarta – Salah satu upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan adalah melaksanakan program kemitraan GTK. Artinya, guru mitra dari daerah tertinggal, terluar, terdepan (3T) diundang ke sekolah inti untuk berkolaborasi dengan guru inti.
Hal tersebut diistilahkan sebagai On the Job Learning 1 (OJL 1) yaitu proses peserta mitra belajar di lingkungan sekolah inti dan Direktorat Jenderal GTK melakukan supervisi.
Para guru dari sekolah mitra ini akan belajar selama sepekan dengan menyaksikan dan terlibat di setiap sekolah inti agar praktik baik itu dapat mereka sebar luaskan kepada guru-guru lain di wilayahnya.
Secara teknis, program kemitraan adalah mewujudkan program penguatan pendidikan karakter (PPK), pembelajaran abad 21, dan gerakan literasi sekolah secara terpadu melalui peran guru di kelas pada tingkat satuan pendidikan melalui penguatan komunitas belajar profesional GTK di wilayahnya masing-masing.
Program kemitraan tahun ini memiliki keunikan, yakni mengintegrasikan guru dan kepala sekolah dalam program yang sama sehingga ada kesinambungan substansi yang digarap oleh keduanya. Keterpaduan program ini meliputi desain dan langkah program, lokasi dan sasaran program, serta substansi program.
Melalui program kemitraan, guru inti dapat saling berbagi pengalaman, menginspirasi, dan mengembangkan kerja sama dalam upaya peningkatan dan pemerataan kemampuan guru mitra yang berasal dari daerah 3T. Dengan ini, mereka dapat menghidupkan komunitas belajar profesional dengan fokus penguatan kualitas layanan pembelajaran.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy mengatakan, kompetensi guru merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pasalnya, hasil uji kompetensi guru tahun 2015 menunjukkan bahwa kompetensi guru secara nasional berada pada kategori rendah dan menunjukkan kesenjangan yang tinggi antardaerah.
Muhadjir menyebutkan, kondisi ketimpangan ini mendesak untuk diatasi karena terjadi ketimpangan mutu pendidikan antardaerah. Ketimpangan mutu ini dapat dilihat dari berbagai dimensi, yaitu dimensi masukan (input), proses, dan hasil.
Kondisi masukan yang menunjukkan adanya masalah mutu di antaranya adalah masih rendahnya kompetensi guru pada aspek pedagogik dan profesional. “Untuk itu diperlukan upaya-upaya sistematis dan masif secara bersama untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan,” ujarnya.
Seperti yang diungkapkan oleh Sri Herwati, guru inti dari SMPN 25 Kota Bekasi. Dalam “Supervisi Program Peningkatan dan Pemerataan Mutu Guru SMP Melalui Kemitraan 2019” di Kota Bekasi, ia mendapatkan guru mitra dari Kota Fak-fak Papua mengungkapkan bahwa dari program kemitraan ini pada dasarnya mempunyai tujuan yang standar yaitu pemerataan mutu pendidikan dan menurutnya kunci yang paling utama itu adalah kemauan.
“Kebutuhan di setiap daerah itu beda-beda, pada dasarnya kita mempunya tujuan yang nyata, yaitu pemerataan mutu pendidikan. Kuncinya adalah kemauan, guru-guru mitra ini harus mau, yakin, dan ikhlas,” ucap guru Bahasa Indonesia ini, Rabu (7/8/2019) di SMPN 25 Kota Bekasi.
Bicara mengenai bagaimana guru inti mampu menginspirasi dan berbagi pengalaman dengan guru mitra, Sri Herwati menambahkan bahwa sebenarnya para guru mitra ini mempunyai segudang pengalaman juga dan apa yang terjadi adalah lebih saling bertukar pikiran tentang apa yang menjadi nilai lebih di sekolahnya.
“Sebenarnya, yang membuat mereka disebut guru mitra bukan karena intelektual dan lain sebagainya, tetapi lebih ke demografis. Demografis yang membuat sekolah mereka mengajar itu belum memiliki budaya sekolah seperti apa yang sudah terjadi di Kota Bekasi ini. Kalau dilihat secara pengalaman, mereka juga memilikinya, jadi di sini lebih banyak bertukar pikiran tentang bagaimana mengembangkan budaya sekolah yang baik, cara menstimulan peserta didik agar lebih aktif. Dan biasanya setelah mereka mengajar kita adakan evaluasi, secara bersama. Kegiatan inilah menjadi seperti penilaian bagi mereka. Jadi mereka berpikir, oh iya ternyata di sini kekurangannya atau kelebihannya, dan itu yang akan mereka bawa ketika kembali ke daerah asalnya nanti,” tambahnya.
Hal yang senada juga dituturkan oleh Wiwik Suluh Trisna Handriyani, guru inti asal SMPN 26 Kota Bekasi. Ia menuturkan bahwa tidak hanya kegiatan belajar mengajar yang menjadi fokus dari guru mitra ini, tetapi juga banyak hal yang bisa dipetik dari keseluruhan kegiatan yang berada di sekolahnya.
“Tidak hanya kegiatan KBM atau tentang bagaimana mengajar yang baik, menarik perhatian peserta didik agar memperhatikan, tetapi juga tentang budaya sekolah yang ada di sini pun menjadi perhatian mereka. Pembiasaan, literasi, dan suasana sekolah yang seolah-olah merangkul peserta didik agar betah di sekolah pun menjadi topik hangat bagi kami, guru inti dan mitra ketika tahap evaluasi kami lakukan,” tutur Wiwik yang juga dalam keseharian menjadi pengajar di bidang Bahasa Inggris, Kamis (8/8/2019) di SMPN 26 Kota Bekasi.
Wiwik juga mengungkapkan tentang bagaimana program kemitraan ini dapat menjadi terobosan yang sangat efektif bagi peningkatan serta pemerataan mutu pendidikan di Indonesia.
“Sebelumnya saya sangat sekali dipercaya oleh Kemdikbud menjadi guru inti untuk bermitra dengan teman-teman dari Fak-fak Papua ini. Dimana saling bertukar pikiran untuk saling memberi dan menerima itu dapat terjadi dengan lancar. Bagi saya kemitraan ini menjadi terobosan yang sangat baik untuk mempercepat pemerataan mutu pendidikan, karena kalau kita hanya menunggu secara alamiah seiring perkembangan budaya anak bangsa di Indonesia akan membutuhkan waktu yang sangat lama,” ungkapnya.
“Dengan kemitraan ini diharapkan terjadi kesejajaran, tidak ada lagi tertinggal. Semua sama-sama maju, maju bersama membangun bangsa dengan peserta didik yang secara utuh telah mendapatkan pemerataan mutu pendidikan,” tukasnya.
Pemahaman yang selaras diberikan oleh Yuliana Kargiyati guru mitra SMPN 2 Fak-fak, setelah sepekan melakukan observasi, mengajar dan melewati tahap evaluasi bersama dengan guru inti di SMPN 25 Kota Bekasi, ia menyatakan bahwa ia memiliki pandangan yang lebih luas lagi tentang bagaimana cara mengajar, membimbing peserta didik hingga administrasi guru.
“Dari kegiatan ini, saya jadi mempunyai pandangan yang lebih luas lagi terutama dalam menghadapi kegiatan KBM. Ibu Hera selaku guru inti juga tidak pernah bosan membagi ilmunya. Dari mulai mengajar, membimbing hingga ke tahap administrasi guru,” ucapnya, Rabu (7/8/2019).
Menurutnya, perjuangannya tidak berhenti sampai masalah di guru inti dan mitra, setelah melalui tahapan-tahapan yang ada, ia mengaku masih banyak yang harus diperbaiki di daerah asalnya.
“Banyak yang berbeda, dari budaya hingga peserta didik. Tidak dipungkiri memang, di daerah saya, Fak-fak, peserta didik memang beberapa ada yang lebih senang bermain, sekolah hanya menjadi rutinitas yang biasa-biasa saja. Namun perjuangan saya tidak boleh berhenti begitu saja, kekurangan yang ada di daerah saya harus saya perbaiki. Mulai dari semangat, tidak hanya semangat anak-anak tetapi para GTK, dedikasinya juga harus lebih ditingkatkan. Ini menjadi PR bersama memang, tetapi yang seperti Bu Hera bilang bahwa semua kuncinya adalah kemauan. Kemauan tekad yang kuat, tentu akan ada jalan yang baik juga untuk memperbaiki itu semua,” ungkapnya.