Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum. (foto: dok pribadi)
MONITOR, Jakarta – Sepanjang tahun ini Indonesia didera rentetan bencana ekologis yang kian ekstrem, dari deforestasi, banjir bandang, kekeringan panjang, hingga kenaikan permukaan air laut. Indonesia menutup tahun 2025 pun dengan catatan kelam bencana hidrometeorologi yang kian intens. Transisi Bersih percaya frekuensi bencana ini merupakan alarm keras bagi pemerintah untuk segera menghentikan ketergantungan pada sektor ekstraktif yang menjadi pemicu utama krisis lingkungan dan akibat-akibatnya.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa lagi bermain aman dengan target-target yang longgar. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus dengan ketat menerapkan transisi energi yang berkeadilan. ”Tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik. Kita melihat masyarakat di akar rumput menanggung beban paling berat dari bencana ekologi, sementara transisi menuju energi terbarukan masih terhambat oleh ketergantungan pada kontrak-kontrak PLTU batu bara, pemberian konsesi lahan sawit yang berlebihan dan merusak, termasuk buruknya tata kelola hilirisasi nikel. Kita butuh langkah konkret, bukan sekadar komitmen di atas kertas,” ujar Rahman.
Transisi Bersih menegaskan bahwa deret bencana ini bukan sekadar siklus alam, melainkan konsekuensi logis dari lambatnya transisi energi dan ketergantungan pada industri ekstraktif yang merusak keseimbangan iklim. Riset terbaru lembaga ini di tahun 2025 menyoroti adanya ketimpangan besar antara keuntungan industri ekstraktif dengan kontribusinya terhadap mitigasi dampak iklim dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Untuk itu, di sektor batu bara, perlu adanya penggantian kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO) dengan pungutan ekspor dan royalti yang lebih tinggi. Hal ini krusial untuk menciptakan ruang fiskal bagi pendanaan transisi energi yang adil, termasuk mitigasi bencana dan penanggulangannya, terutama di wilayah-wilayah yang kini rentan terhadap bencana akibat kerusakan lingkungan.
Dalam riset Transisi Bersih, pada sektor sawit (crude palm oil/CPO) terdapat ketidakadilan berupa ekspansi lahan tidak berbanding lurus dengan produktivitas maupun kontribusi fiskal yang memadai untuk pembiayaan iklim. Hal itu diungkapkan oleh Aimatul Yumna, peneliti Transisi Bersih.
Sebagai contoh, kerugian ekonomi akibat bencana di Sumatera seharusnya bisa dimitigasi jika pemerintah berani melakukan reformasi fiskal pada sektor penyebab emisi. Adapun penyebab utamanya adalah kegagalan distribusi manfaat: pajak dan royalti dari sektor batu bara dan sawit di Sumatera tidak kembali secara proporsional untuk membiayai resiliensi iklim dan pemulihan bencana di wilayah tersebut.
Sejauh ini pemerintah mendorong hilirisasi nikel dan ekspansi sawit dengan dalih ekonomi, namun “menutup mata” saat dampak lingkungannya menghancurkan ruang hidup masyarakat di Sumatera. ”Pemerintah tidak boleh hanya mau mengambil ‘rente’ dari komoditas ekstraktif di Sumatera, tapi cuci tangan saat alamnya mulai menuntut balas. Transisi energi harus dimulai dengan mengakui bahwa kita sedang dalam keadaan darurat ekologis,” kata Yumna.
Peran Strategis Danantara
Naya Tirambintang, peneliti lain dari Transisi Bersih, menyatakan bahwa pemerintah memiliki instrumen baru yang harus dioptimalkan, yaitu badan pengelola investasi milik negara Daya Anagata Nusantara (Danantara). Lembaga seperti Danantara harus mengambil peran strategis sebagai lead co-investor dalam investasi hijau dan transisi energi. “Artinya, Danantara wajib memastikan portofolio investasi negara beralih dari energi fosil ke energi bersih yang berkelanjutan,” ucap Naya.
Pada saat yang sama, pemerintah mengalihkan sebagian pendapatan dari pungutan ekspor CPO dan batu bara secara langsung untuk dana darurat iklim daerah. Secara teknis, pemerintah, melalui Danantara memastikan komitmen investasi benar-benar dialokasikan untuk memitigasi risiko di wilayah “hotspot” bencana ekologis.
Untuk jangka pendek, Transisi Bersih mendesak agar Danantara dan kementerian terkait memprioritaskan “dana pemulihan ekologis” yang bersumber dari pajak tambahan industri ekstraktif. “Menteri Keuangan dan pengelola dana negara ditantang untuk lebih ekstensif dalam menerapkan pajak industri ekstraktif. Pendapatan ini seharusnya dikembalikan untuk memperkuat resiliensi masyarakat yang menjadi korban bencana iklim di garis depan,” ujarnya.
Peneliti senior Transisi Bersih, Sisdjiatmo K. Widhaningrat, mengingatkan, saat ini penduduk Indonesia sekitar 287 juta orang (BPS) dan tiap tahun bertambah sekitar 1 persen. “Pertambahan penduduk ini akan memengaruhi efektivitas pelestarian hutan dan efisiensi di sektor pertambangan. Artinya, upaya agar penduduk dapat menggunakan energi yang lebih bersih tidaklah mudah. Namun, ikhtiar seyogianya tetap dilakukan demi mencapai kehidupan yang lebih setara dan berkeadilan,” ungkapnya.
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Partai…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bireuen telah mendistribusikan bantuan kemanusiaan berupa sekitar 7…
MONITOR, Jakarta - Guru honorer patut menyambut gembira rencana kenaikan insentif sebesar Rp100 ribu per…
MONITOR, Jakarta - Tim gabungan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh dan Kemenag Kabupaten Bireuen…
MONITOR, Jakarta - Kapolda Banten, Irjen Pol Hengki, resmi melepas 100 personel Satbrimob untuk menjalankan…
MONITOR, Cirebon - Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat bakal dijadikan sebagai…