Selasa, 25 November, 2025

Soroti Danantara hingga Pertanian, Prof Rokhmin: Petani Harus Jadi Subjek bukan Objek!

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri, menyampaikan sejumlah catatan strategis terkait arah pembangunan sektor pertanian nasional pada Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian Republik Indonesia, Senin (24/11/2025).

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa capaian swasembada beras yang berhasil diraih Indonesia dalam beberapa tahun terakhir merupakan prestasi penting yang harus dijaga secara berkelanjutan. 

“Keberhasilan tersebut tidak boleh membuat pemerintah lengah, melainkan menjadi momentum untuk memperkuat ketahanan pangan nasional di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, krisis energi, dan gejolak geopolitik,” tegas Anggota Komisi IV DPR.

Selain itu, Prof. Rokhmin menyoroti pentingnya peningkatan kesejahteraan petani. Ia menekankan bahwa swasembada pangan tidak akan bermakna jika para petani sebagai ujung tombak produksi tidak memperoleh pendapatan yang layak. 

- Advertisement -

“Petani harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Kesejahteraan mereka adalah fondasi bagi keberlanjutan sektor pertanian,” ujarnya.  

Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar IPB University ini juga mengingatkan perlunya perlindungan lahan pertanian dari alih fungsi yang semakin masif. Ia menilai bahwa kebijakan tata ruang harus berpihak pada keberlanjutan produksi pangan, sehingga lahan produktif tidak terus-menerus tergerus oleh pembangunan industri dan perumahan. Ia mendorong agar pemerintah memperkuat sistem sertifikasi, keberlanjutan, serta hilirisasi produk sawit.  

Rektor Universitas UMMI Bogor itu menyinggung penanganan Satgas PKH–Danantara yang menurutnya harus lebih terintegrasi dan efektif. Ia menekankan bahwa program-program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat desa harus berjalan seiring dengan kebijakan pertanian, sehingga dampaknya benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil.  

1. Apresiasi: Swasembada Beras & “Era Kebangkitan Pertanian” Prof. Rokhmin menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Menteri Pertanian dan jajaran, berdasarkan fakta kungker/reses di lapangan.

2. Pendapatan Petani: Tak Cukup Hanya NTP. Berdasarkan data BPS yang ia sampaikan, pendapatan petani rata-rata sekitar Rp 2,4 juta/bulan, sementara rata-rata nasional sekitar Rp 2,7 juta/bulan, sehingga sektor pertanian masih yang terendah dari sisi pendapatan. Ia menegaskan bahwa kesejahteraan petani tidak boleh hanya dilihat dari NTP, tetapi juga dari real income (pendapatan riil). “Terus Pak, upayakan agar kesejahteraan petani itu terus meningkat.”

3. Swasembada Pangan & Risiko El Niño. Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa swasembada pangan jangan berhenti hanya di beras. Ia menyebut perlunya memperluas swasembada ke komoditas penting lain yang Indonesia punya potensi, yaitu jagung, kedelai, gula, dan daging.

4. Varietas Climate Resilient & Mitigasi Hayati. Dalam kunjungan ke Bali bersama Ketua Komisi IV dan Kepala Badan, Prof. Rokhmin mengaku “surprise” karena temuan Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian belum menunjukkan adanya spesies-spesies yang climate resilient. Padahal, ia pernah mendengar bahwa di Kementan sudah ada jenis padi yang tahan terhadap perubahan iklim, baik terkait kenaikan temperatur maupun kadar garam. 

5. Economic of Scale, Skala Lahan, Alih Fungsi & “Back to Pupuk Organik”. Dari sisi economic of scale, berdasarkan catatan BPS 20 tahun terakhir, ia menyebut lahan garapan padi sawah di Pulau Jawa rata-rata hanya 0,4 hektar, padahal economic of scale padi sawah adalah 2 hektar, yang disebutnya baru bisa menghasilkan sekitar Rp 7,5 juta/bulan. 

6. Rantai Pasok, Alsintan, Irigasi & Hama. Prof. Rokhmin menyebut “terfragmentasinya manajemen sistem rantai pasok” sebagai problem struktural terakhir: ketika tidak panen, harga tinggi; begitu panen, harga “mendadak sontak turun”. Keluhan lama seperti petani kekurangan pupuk dan bibit masih muncul. Ia menilai Menteri sudah “excellent” di bidang ini, namun mengingatkan agar manajemen rantai pasok tidak lagi “jatuh bangun seperti lagu Christina”, melainkan stabil dan prediktif. 

7. Sawit, Satgas PKH, Danantara & Risiko Menghancurkan Sumber Pertumbuhan. Terkait tata kelola, ia menyampaikan keprihatinan terhadap Satgas PKH yang disebutnya “geblau” dan “grusa-grusu” (gegabah), dan mencontohkan perusahaan sawit yang sudah bagus tetapi ikut ditindak dan dihukum. 

Ia juga menyoroti Danantara yang menurutnya kurang kompetensi di bidang sawit, meski sekitar 3,7 juta hektar lahan diambil alih Satgas dan dijadikan aset Danantara, namun tidak dikerjakan sendiri dan dikembalikan lagi kepada pengusaha nakal. Karena itu, ia meminta kewibawaan dan “powerful”-nya Menteri Pertanian digunakan untuk:

“Selamatkan sawit dengan cara benar-benar diteliti. Kalau pengusaha yang nakal memang harus dibabat, tapi kalau yang baik, tolong dijaga.”

Ketua DPP PDI-Perjuangan tersebut mengingatkan bahwa pengangguran berada di titik tertinggi, pabrik tekstil 90% sudah gulung tikar, PHK terjadi di mana-mana, dan sektor pertanian dijadikan andalan. Dalam konteks itu, ia menegaskan bahwa bila sumber pertumbuhan yang sudah ada dihancurkan, maka “berdosa kita semua.”

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER