Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. (Ist)
MONITOR, Jakarta – Kritik keras DPR RI terhadap rencana Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) yang berencana mengenakan sanksi bagi produk yang belum memiliki sertifikasi halal dinilai sebagai langkah yang mencerminkan keberpihakan terhadap kebutuhan masyarakat.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut pernyataan anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam sebagai bentuk keberanian politik karena menyuarakan kepentingan publik secara luas, terutama pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang akan paling terdampak.
“Sudah mewakili kebutuhan rakyat. Terus menurut saya, suara ini harus menjadi entry point untuk membenahi mengenai regulasi yang terkait dengan BPJPH itu, jaminan halal itu, produk halal,” kata Trubus, Selasa (14/10/2025).
Seperti diketahui, Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menanggapi pernyataan Kepala BPJH Ahmad Haikal Hasan yang menyebut seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026. Menurut Mufti, kebijakan BPJPH tersebut ngawur dan sembrono.
Terkait hal ini, Trubus menyebut pelaksanaan kebijakan publik idealnya tidak hanya mengikuti amanat UU secara kaku, tetapi juga harus mempertimbangkan kesiapan masyarakat dalam menerapkannya. Dalam hal ini, kewajiban sertifikasi halal yang disertai sanksi dinilai belum tepat secara timing maupun pendekatan.
Trubus mengatakan banyak pelaku UMKM masih menghadapi tantangan akses terhadap proses sertifikasi, baik dari sisi biaya, birokrasi, hingga kurangnya sosialisasi yang merata.
“UMKM justru akan menjadi kelompok yang paling dirugikan jika regulasi ini diterapkan secara kaku. Padahal mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional. Kebijakan harus mendukung, bukan membebani,” tambahnya.
Lebih jauh, Trubus menilai DPR tidak hanya menjalankan fungsi pengawasan, tapi juga fungsi representasi dan advokasi terhadap aspirasi masyarakat. Ia menilai pernyataan Mufti Anam seharusnya dibaca sebagai evaluasi terhadap regulasi jaminan produk halal agar lebih relevan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
“Langkah DPR ini penting untuk menjadi pemicu evaluasi terhadap regulasi yang ada. Tidak cukup hanya mengawasi, tapi juga aktif mengusulkan perubahan aturan yang lebih adaptif dan inklusif. Ini yang kita harapkan dari lembaga legislatif,” tegas Trubus.
Trubus pun menilai respons DPR bisa menjadi pintu masuk untuk mendorong revisi kebijakan BPJPH, dengan memperkuat partisipasi publik, transparansi, dan keberpihakan terhadap sektor usaha rakyat.
Menurutnya, keberlanjutan program jaminan halal tidak akan berhasil jika dijalankan tanpa pemahaman terhadap realitas sosial di akar rumput.
“Tujuan jaminan halal sangat baik, tapi cara mencapainya harus bijak dan realistis. Jangan sampai publik justru merasa dipaksa atau dibebani. Karena dalam kebijakan publik, pendekatan yang partisipatif dan kontekstual jauh lebih efektif,” sebut Trubus.
“Dan Negara juga harus menjamin pelaksanaan sertifikasi halal itu gratis bagi pelaku usaha. Jadi Negara yang harus memfasilitasi,” tambahnya.
Seperti diketahui, Kepala BPJH Ahmad Haikal Hasan atau yang kerap disapa Babeh Haikal mengatakan seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026.
Menurut Haikal, UU Nomor 33 Tahun 2014 mengamanahkan semua makanan, minuman, termasuk di dalamnya obat, kosmetik dan lain sebagainya wajib memiliki sertifikat halal. Ia juga menyerukan, batas sertifikasi halal bagi produk-produk tersebut diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2024 Pasal 160 dan 161.
Pelaku usaha mikro dan kecil disebut wajib memiliki sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihannya mulai 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2026. Ketentuan terkait jenis-jenis produk lainnya lebih lanjut diuraikan pada Pasal 161.
Adapun produk-produk yang wajib memiliki sertifikat halal antara lain barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menyikapi hal itu, Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam menilai kebijakan pemerintah yang akan mengilegalkan produk tanpa sertifikasi halal mencerminkan ketidaksiapan dalam membangun ekosistem industri halal yang inklusif dan berpihak pada rakyat.
Mufti mengingatkan bahwa pendekatan koersif dalam penerapan aturan justru berisiko menekan jutaan pelaku UMKM yang saat ini tengah berjuang mempertahankan usahanya di tengah tekanan ekonomi global.
“Kita semua sepakat bahwa halal itu penting, bahkan wajib. Tapi kebijakan besar seperti ini tidak bisa dijalankan dengan pendekatan maklumat dan ancaman,” tegas Mufti Anam, Jumat (10/10).
“Sebelum bicara pemaksaan, negara harus bercermin: apakah ekosistem sertifikasi halal di Indonesia sudah siap? Apakah prosesnya sudah sederhana, murah, dan bebas pungli? Apakah aparat dan lembaganya sudah punya kredibilitas? Karena kenyataannya, banyak pelaku usaha yang ingin taat, tapi tidak mampu,” lanjut Mufti.
Menurut Anggota Komisi Perdagangan DPR itu, kebijakan BPJPH tersebut ngawur dan sembrono. Mufti tak sepakat dengan BPJH.
“Saya menilai, pernyataan bahwa mulai tahun 2026 semua produk tanpa sertifikasi halal akan dianggap sebagai produk ilegal adalah pernyataan yang ngawur dan kebijakan yang sembrono,” tukasnya.
Mufti pun menyinggung proses sertifikasi halal yang rumit dan mahal sehingga membebani pedagang kecil. Bahkan, ia mendengar sendiri bahwa biaya dan birokrasi sertifikasi halal masih menjadi momok, karena banyak oknum dan makelar bermain di tengah sistem yang tidak transparan.
“Bayangkan pedagang gorengan di pinggir jalan, penjual bakso keliling, warung nasi padang, toko kelontong di kampung, sampai penjual bumbu di pasar tradisional, semua itu tulang punggung ekonomi rakyat,” sebut Mufti.
“Apakah kita tega menyebut mereka ‘ilegal’ hanya karena belum punya sertifikat halal yang prosesnya rumit dan mahal? Kebijakan seperti ini bukan memberdayakan rakyat, tapi menakuti rakyat kecil yang justru paling loyal pada produk dalam negeri,” tutup Legislator dari Dapil Jawa Timur II itu.
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta berharap kehadiran Presiden Prabowo Subianto…
MONITOR, Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta seluruh lembaga penyiaran (TV dan radio) untuk…
MONITOR, Jakarta - Tragedi ambruknya bangunan musala pondok pesantren menjadi pengingat penting bagi pemerintah untuk…
MONITOR, Malang - Delegasi MAN Insan Cendekia Pekalongan (ICP) raih medali emas bidang ekonomi, pada…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya langkah terpadu antara pusat dan daerah…
MONITOR, Jakarta - Komisi Informasi Pusat (KIP) resmi membuka Pameran Keterbukaan Informasi Publik 2025 di…