OPINI

Menteri Berlimpah, Masalah Kian Merekah

Oleh: Revilia Nur Wahyuni*

         Indonesia kembali mencatatkan rekor sebagai salah satu negara dengan kabinet terbesar di dunia. Dengan 48 Menteri dan 56 Wakil Menteri, total 104 pejabat setingkat menteri kini mengisi kursi kementerian Kabinet Merah Putih (2025-2029). Sedangkan pada masa pemerintahan presiden Jokowi periode kedua (2019-2024) hanya terdiri dari 34 Menteri dan 15 Wakil Menteri, dengan seluruh total 49 Menteri dan Wakil Menteri tentu hal ini terjadi pembengkakan Menteri yang drastis pada kabinet Merah Putih. Jumlah Menteri Indonesia saat ini jauh lebih besar dibandingkan negara-negara maju seperti Singapura, yang hanya memiliki sekitar 20 Menteri tanpa Wakil Menteri. Pertanyaannya, apakah kabinet yang besar ini benar-benar efektif, atau justru menjadi beban bagi birokrasi dan keuangan negara?

          Tumpang Tindih dan Inkonsistensi Kebijakan salah satu dampak langsung dari kabinet yang terlalu besar. Banyak kementerian yang memiliki tugas dan fungsi yang saling bersinggungan, sehingga bukannya mempercepat penyelesaian masalah, justru menciptakan birokrasi yang lebih berbelit. Contohnya dalam urusan investasi, yang melibatkan Kementerian Investasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, hingga Kementerian Keuangan. Alih-alih mempermudah investor, regulasi yang saling bertabrakan justru memperlambat proses perizinan.

        Selain itu, keberadaan sejumlah besar Wakil Menteri justru dapat memperumit koordinasi dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik. Idealnya, seorang menteri memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan strategis secara langsung, tanpa harus bergantung pada terlalu banyak wakil yang dapat memperlambat proses pengambilan keputusan. Namun, dengan adanya 56 wakil menteri, dinamika kebijakan menjadi semakin kompleks, terutama karena potensi perbedaan interpretasi terhadap kebijakan serta adanya kepentingan yang berbeda di antara pejabat dalam satu kementerian. Fragmentasi ini tidak hanya berdampak pada ketidaksinkronan kebijakan, tetapi juga dapat menghambat efektivitas pemerintahan dalam merespons permasalahan secara cepat dan tepat. Dalam konteks sistem pemerintahan yang ideal, keberadaan Wakil Menteri seharusnya lebih bersifat komplementer, bukan menjadi faktor yang memperumit koordinasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh mengenai urgensi dan efektivitas jumlah wakil menteri dalam kabinet, sehingga tata kelola pemerintahan dapat berjalan lebih efisien tanpa beban birokrasi yang berlebihan.

        Pemborosan anggaran negara juga menjadi masalah yang komprehensif berkaca dari jumlah Menteri dan Wakil Menteri yang berlebihan juga berdampak pada pemborosan anggaran. Setiap menteri dan wakil menteri mendapatkan gaji, tunjangan, serta fasilitas negara yang tidak sedikit. Dengan semakin banyaknya pejabat di level kementerian, alokasi anggaran untuk birokrasi semakin membengkak. Sedangkan baru-baru ini presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan efisiensi anggaran, bukan kah hal ini menjadi ketimpangan antara banyak nya Menteri dan Wakil Menteri dengan kebijakan efisiensi anggaran?

          Secara tidak langsung berarti lebih banyak uang rakyat yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur, justru habis untuk mendanai struktur pemerintahan yang gemuk. Sebagai perbandingan, Negara tetangga yang berada di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya yakni Singapura hanya memiliki sekitar 20 Menteri tanpa Wakil Menteri, tetapi mereka tetap bisa menjalankan pemerintahan dengan baik dan menjadikan mereka negara yang maju. Hal ini karena sistem pemerintahan mereka berbasis pada teknokrasi dan kinerja, bukan sekadar bagi-bagi kursi politik seperti budaya di Indonesia. Dengan struktur yang lebih ramping, Singapura mampu mengambil keputusan lebih cepat dan efisien tanpa harus melalui birokrasi yang panjang.

        Banyaknya jumlah Menteri juga berdampak pada dinamika di parlemen. Dalam sistem politik Indonesia, kursi Menteri sering kali diberikan sebagai bentuk kompromi politik untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Akibatnya, kabinet lebih didominasi oleh pertimbangan politik daripada keahlian dan profesionalisme. Parlemen yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan pemerintah malah sering terlibat dalam negosiasi politik yang rumit. Alih-alih menghasilkan kebijakan yang efektif, parlemen justru sibuk mempertahankan kepentingan masing-masing partai nya. Ini semakin memperparah ketidakkonsistenan kebijakan yang sering berubah tergantung pada dinamika politik.

        Dengan segala permasalahan ini, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan reformasi kabinet. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Mengurangi jumlah kementerian dan menggabungkan tugas yang tumpang tindih. Misalnya, menggabungkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Investasi agar kebijakan ekonomi lebih terarah.
  2. Menghapus posisi Wakil Menteri yang tidak diperlukan. Jika Singapura bisa tanpa Wakil Menteri, mengapa Indonesia harus memiliki 56 Wakil Menteri?
  3. Menekankan teknokrasi dalam pemilihan Menteri. Parai Menteri harus dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalaman, bukan sekadar kepentingan politik serta dapat mempertimbangkan aktor politik yang ahli dalam bidangnya bukan sekedar seseorang yang sedang booming.

        Jika reformasi birokrasi tidak segera dilakukan, Indonesia akan terus terkurung dalam sistem pemerintahan yang lamban, mahal, dan kurang efektif dalam menjalankan fungsinya. Struktur kabinet yang besar bukanlah jaminan keberhasilan dalam mengelola negara, melainkan justru berpotensi meningkatkan beban anggaran serta memperlambat proses pengambilan keputusan akibat kompleksitas koordinasi antar kementerian. Sebaliknya, kabinet yang lebih ramping dengan komposisi profesional yang berbasis pada keahlian dan efisiensi memiliki potensi lebih besar dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang responsif, adaptif, serta berorientasi pada hasil. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur kabinet yang ada guna memastikan bahwa pemerintahan dapat berjalan lebih efektif tanpa pemborosan sumber daya. Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara tetangga yang telah berhasil menerapkan reformasi birokrasi dengan menyederhanakan struktur pemerintahan tanpa mengurangi kualitas pelayanan publik. Dengan demikian, pertanyaannya apakah kita akan terus mempertahankan kabinet yang gemuk ini, atau sudah saatnya Indonesia belajar dari negara tetangga dalam merampingkan sistem pemerintahan?

Penulis Adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya

Recent Posts

Jelang Lebaran, Pertamina Patra Niaga Siagakan Ribuan Agen dan Pangkalan LPG 3 Kg

MONITOR, Jakarta - Pertamina Patra Niaga memastikan kelancaran distribusi LPG 3 Kg untuk memenuhi kebutuhan…

1 jam yang lalu

Pangkoopsud II Hadiri Bazaar TNI di Makassar di Lapangan Hasanuddin.

MONITOR, Makassar - Panglima Komando Operasi Udara II Marsda TNI Deni Hasoloan S., didampingi oleh…

2 jam yang lalu

Santunan Ramadan Pertamina Patra Niaga, Berbagi Cinta dan Doa untuk Anak-anak Yatim

MONITOR, Jakarta - Dalam semangat Ramadan menjalin silaturahmi dan berbagi keberkahan bersama Anak Yatim, Pertamina…

2 jam yang lalu

Tahap Dua, 183.284 Jemaah Lunasi Biaya Haji Reguler 2025

MONITOR, Jakarta - Tahap II pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) Reguler 1446 H/2025 M…

6 jam yang lalu

DPR Soroti Ormas Minta THR, Desak Pemerintah Bertindak Tegas

MONITOR, Jakarta - Fenomena keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang meresahkan dunia usaha dan permintaan tunjangan…

8 jam yang lalu

Jelang Mudik Lebaran 2025, Menteri Dody Pastikan Kesiapan Infrastruktur Jalan Menuju Pelabuhan di Banten

MONITOR, Jakarta - Dalam rangka menyambut Mudik Lebaran Tahun 2025, Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody…

10 jam yang lalu