Rabu, 4 Desember, 2024

Prof Rokhmin: Rumput Laut Sebagai Game Changer Menuju Indonesia Emas 2045

MONITOR, Jakarta – Anggota DPR RI 2024-2029, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., menjadi pembicara utama dalam acara Rembuk Nasional Masyarakat Rumput Laut Indonesia di Makassar, Sabtu, 30 November 2024. Acara diselenggarakan Asosiasi Pengusaha Rumput Laut Indonesia (Aspperli), Maporina, Hipka, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam pemaparannya, Prof. Rokhmin Dahuri memberikan wawasan berdasarkan penelitian dan pengalaman pribadinya dalam bidang kelautan dan perikanan. Bahwa rumput laut memiliki potensi besar sebagai sumber daya hayati yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. 

“Rumput laut tidak hanya bermanfaat sebagai bahan baku industri pangan, tetapi juga memiliki aplikasi luas dalam bidang farmasi, kosmetik, dan bioenergi,” ujarnya dengan tema “Masa Depan Rumput Laut Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Biru”.

Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University itu menjelaskan reasonings rumput laut sebagai game changer (sumber pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan) menuju Indonesia Emas 2045.

- Advertisement -

Prof Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya peran strategis rumput laut dalam pembangunan ekonomi biru untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Selain peluang, Prof. Rokhmin juga mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi oleh industri rumput laut, seperti perubahan iklim, serangan hama, dan fluktuasi harga pasar. Beliau mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan ini melalui inovasi dan kerjasama lintas sektor.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa dengan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan industri, Indonesia dapat menjadi pemain utama dalam industri rumput laut global. 

“Saya berharap acara Rembuk Nasional ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam memajukan industri rumput laut Indonesia secara berkelanjutan,” tuturnya.

“Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip (surplus) secara berkelanjutan.  Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

“Posisi geoekonomi yang sangat strategis ini harusnya dijadikan peluang bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang dan jasa (goods and services) utama di dunia, sehingga menghasilkan neraca perdagangan yang positip (surplus) secara berkelanjutan.  Sayangnya, sejak 2010 hingga 2019 neraca perdagangan RI justru negatip terus,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan 2001 – 2004 itu.

“Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kekayaan sumber daya alam darat dan laut yang melimpah serta posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia menjadi sangat strategis. Akan tetapi, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Prof Rokhmin Dahuri menguraikan  tantangan dan permasalahan pengelolaan dan pengembangan budidaya rumput laut, yaitu: Kepastian Tata Ruang Pemanfaatan Wilayah Perairan, Serangan Hama Dan Penyakit, Keterbatasan Benih Berkualitas, Kondisi Cuaca Dan Iklim Yang Tidak Stabil, Keterbatasan Teknologi dan Kurangnya Akses Pembiayaan.

Selanjutntnya, Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se Indonesia ini membeberkan, petani rumput laut di Desa Labuhan Kertasari, Sumbawa Barat, mengeluhkan harga fluktuatif di kisaran Rp13.000–16.000 per kilogram, jauh dari harga ideal Rp25.000 yang diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Desa ini memiliki potensi budidaya rumput laut seluas 1.500 hektare, tetapi baru dimanfaatkan 40%, dengan produksi mencapai 20–30 ton per petani per bulan.
Petani rumput laut di Nunukan menghadapi tiga masalah utama: anjloknya harga rumput laut dari Rp42 ribu/kg di tahun 2023 menjadi Rp7 ribu/kg di tahun 2024, maraknya pencurian rumput laut yang dilaporkan tanpa tindak lanjut, serta konflik zona budidaya dengan zona nelayan yang sering merusak tali budidaya.

Aliansi Pembudidaya Rumput Laut (APRL) menilai pemerintah kurang peduli dengan tata niaga dan keamanan, yang memperburuk kondisi petani. 

Petani rumput laut di Lampung Selatan menghadapi ancaman gagal panen akibat cuaca buruk, dengan gelombang deras dan lumpur yang merusak bibit serta pertumbuhan tanaman. 

Bibit rumput laut banyak yang putus atau tertimbun sampah dan lumpur, sehingga kualitas panen menurun. Beberapa petani terpaksa panen lebih awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar, meskipun harga panen dini lebih murah. 

Budidaya rumput laut di Pulau Morotai mengalami penurunan produksi selama dua dekade terakhir akibat kualitas bibit yang tidak tahan terhadap musim paceklik.

Desa Ngele-ngele Besar, Galo-Galo, dan Koloray menjadi pusat budidaya, namun masalah kualitas benih menjadi tantangan utama. 

Lalu, tuturnya, tantangan dan permasalahan industri pengolahan rumput laut, antara lain: Keterbatasan Fasilitas Pengolaha, Rendahnya Nilai Tambah Produk, Kurangnya Standar Mutu, Keterbatasan Teknologi Pengolahan, Kendala Logistik Dan Transportasi serta Kurangnya Kebijakan Insentif.

Prof Dr Rokhmin Dahuri menyayangkan program hilirisasi pemerintah kurang memberikan insentif kuat untuk investasi teknologi pengolahan seperti ekstraksi karagenan dan agar-agar (Bappenas, 2021).

Indonesia, produsen rumput laut terbesar kedua dunia, masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan daya saing global karena mayoritas hasil produksi (93%) diekspor dalam bentuk mentah (KKP, 2022). 

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri menjabarkan peta jalan pembangunan industri rumput laut terpadu dan berkelanjutan (Disempurnakan dari Kemenko Marves, 2024), antara lain:

Seeding (BRIN, KKP, Universitas, Swasta, Lembaga Internasional) Menghasilkan bibit & benih unggul dengan produktivitas tinggi, tahan penyakit, dan Climate resilience; Kolaborasi bersama untuk meningkatkan produksi bibit & benih rumput laut unggul

Farming (KKP, Kemendagri, Pemda,BRIN, PT, Kemeninvest/BKPM) Senantiasa berinovasi menghasilkan teknologi budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, dan sustainable Penerapan Best Aquaculture Practices Zonasi Usaha Budidaya Perusahaan Besar dan UMKM; Kerjasama sinergis antara Perusahaan Besar dan UMKM

Harvesting (BRIN, PT (Universitas) KKP, Kemenperin, KBUMN)

Senantiasa berinovasi menemukan teknologi harvesting yang efisien dan ramah lingkungan; Desiminasi dan sosialisasi teknologi harvesting inovatif kepada pembudidaya, supaya mereka menggunakannya; Pengembangan Sistem Logistik Rumput Laut Nasional (produksi – transportasi – storage)

Processing (Kemenperin, Kemendagri, Pemda, BKPM, Dan Industri)

Pemberian insentif dan kemudahan perizinan bagi investasi industry  Rumput laut; Alokasi kawasan industri untuk pengolahan rumput laut; Perbaikan infrastruktur dasar di wilayah budidaya Penyusunan KBLI dan standar untuk produk baru; Inovasi Produk Hilir RL

Market Generation (Kemenperin, Kemeninvest/BKPM, Kementan, BUMN) 

Makanan: Forum Business Matching dengan Industri Makanan; Pertanian: Aksi afirmasi berupa pilot project oleh Kementan atau BUMN untuk biostimulan/pupuk rumput laut; Bioplastik: perluasan pembatasan penggunaan plastic reguler di berbagai daerah; Biofuel: kolaborasi riset dan pilot antara BUMN, swasta, universitas.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan, Penta Helix merupakan sebuah model kerjasama inovatif yang menghubungkan Akademisi, Bisnis (Industri), Komunitas Pemerintah, dan Media Masa untuk menciptakan ekosistem kerjasama berdasarkan pada Kreatifitas, Inovasi IPTEK.

“Sedangkan Struktur Kemitraan Penta Helix, Industri (Swasta), Perguruan Tinggi, Komunitas, Pemerintah, Media Masa,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Adapun peluang Kerjasama Penta Helix UMC di sektor Industri Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Perikanan, yaitu: 1. Tradisional Peningkatan kualitas dan daya saing, antara lain: ikan asap, pindang,  kering (asin dan tawar), fermentasi (peda), terasi, petis, dll.

Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, banyak industri (pabrik) gulung tikar atau mengurangi produksinya, sehingga gelombang PHK semakin meningkat.

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri menguraikan status gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia, berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, 21,4 persen anak Indonesia menderita Tubuh Pendek Stunting Growth. 17,7 Persen anak Indonesia menderita Gizi Buruk 10,2 Persen anak Indonesia menderita Kurus. “Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Tak heran, bila kapasitas  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

“Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%).  Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%),” ujarnya.

Yang mencemaskan, katanya, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

Maka, katanya, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).

“Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut,” kata Prof Rokhmin Dahuri mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER