OPINI

Mempercepat Realisasi Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen dengan TMC

Oleh: Doni Istyanto Hari Mahdi (Praktisi Perekayasa Cuaca)

Setelah dilantik sebagai Presiden RI yang ke-8, Prabowo Subianto langsung memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Banyak pengamat ekonomi yang menilai hal tersebut sebagai target pertumbuhan ekonomi yang sangat ambisius, sebagai penghalusan kata jika target ekonomi tersebut tidaklah realistis.

Hal ini bisa dipahami, karena para ekonom yang menimba ilmu ekonomi di negara-negara Barat, yang kebanyakan juga menganut sistem demokrasi pemilihan langsung, sangat jarang memiliki pertumbuhan yang tinggi.

Logisnya begini, karena menganut sistem demokrasi pemilihan langsung, agar bisa memenangkan pemilihan umum sehingga tetap berada pada tampuk pimpinan kekuasaan, maka seorang pemimpin haruslah mendapat dukungan dari seluruh daerah secara merata, konsekuensi hal ini adalah pembangunan harus merata.

Hal berbeda dengan negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka akan ada daerah-daerah tertentu yang diberi fasilitas lebih dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain, agar bisa menjadi lokomotif pembangunan bagi daerah-daerah sekitarnya, strategi pembangunan inilah yang menjadi pilihan Orde Baru, sehingga konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah pembangunan menjadi tidak merata.

Tekad Presiden Prabowo yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, adalah tantangan yang harus direalisasikan oleh para menteri Kabinet Merah Putih, dengan kejelian untuk memaksimalkan potensi-potensi ekonomi yang selama ini terpendam.

Para menteri Kabinet Merah Putih tidak boleh lagi terjebak dalam fenomena birokrasi di masa lalu, yaitu sekedar mengubah tantangan menjadi tentengan semata.

Berkah Iklim Tropis Indonesia

Indonesia yang terletak di sabuk khatulistiwa, diberkahi 12 bulan penuh sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis. Selain itu Indonesia juga diberkahi hanya memiliki 2 (dua) musim saja, yaitu musim kering (kemarau) dan musim basah (penghujan).

Sayangnya selama ini jika musim kemarau lahan pertanian kita kekeringan sampai tanahnya retak-retak, sebaliknya jika musim penghujan malah kebanjiran.

Air hujan sebagai sumber utama air tawar, idealnya ditahan selama mungkin didaratan. Maka selain membangun embung, waduk dan bendungan, jauh lebih mendesak lagi saat ini untuk dibuat pintu-pintu air di sepanjang sungai, sehingga mampu mengurangi laju muka air sungai agar air tawar tidak segera terbuang ke laut.

Fenomena ini menunjukkan jika water management yang kita jalankan selama ini belum komprehensif, tidak pernah menempatkan rain management sebagai faktor yang terutama.

Padahal dengan menggunakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) potensi curah hujan dapat di maksimalkan pada musim kemarau melalui hujan buatan, sebaliknya pada musim penghujan potensi curah hujan yang terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan banjir, dapat diminimalisir dengan teknik cloud buster.

Strategi Kementerian Pertanian dalam menggenjot produktivitas pertanian melalui bantuan benih, pupuk dan alsintan, selalu tidak maksimal karena kendala pasokan air untuk pertanian di musim kemarau.

Dari catatan secara nasional, 7,4 juta hektare luas baku sawah di Indonesia, ada sekitar 36 persen merupakan sawah tadah hujan.

Solusi jangka pendek masalah pasokan air bagi pertanian adalah dengan bantuan pompa untuk meningkatkan ketersediaan air melalui program pompanisasi.

Dalam jangka panjang, sebenarnya penyediaan air bagi pertanian dan perkebunan lebih murah diguyurkan dengan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melalui program hujan buatan.

Berbeda dengan pompanisasi, jika melalui program bantuan pompanisasi maka biaya pengadaan air pada akhirnya menjadi beban petani, sedangkan melalui TMC maka beban pengadaan air bisa ditanggung oleh negara, ataupun oleh perusahaan perkebunan besar baik secara mandiri, maupun melalui program CSR mereka.

Biaya TMC untuk hujan buatan saat ini sudah jauh lebih murah dan efisien, hal ini disebabkan karena adanya penemuan terbaru dari ilmuwan asli Indonesia dan teknologi ini sudah dipatenkan oleh Prof. Heri Budi Wibowo (Kepala Program Studi Persenjataan Unhan) dan Raden Djoko Goenawan MSi, Phd (c) yaitu:

  1. Flare untuk Bahan Semai Hujan Buatan (Terdaftar, 2024)
  2. Modifikasi Cuaca Berbasis Drone dengan Sistem Fogging (Terdaftar, 2023)

Jika dulu teknologi konvensional yang kita kenal untuk membuat hujan buatan adalah dengan menggunakan pesawat yang terbang diatas awan-awan potensial untuk dilakukan penyemaian (seeding) dengan menggunakan bahan semai garam, maka dengan teknologi karya bangsa Indonesia sendiri, tidak lagi menggunakan pesawat terbang yang ongkos operasionalnya sangat mahal, tetapi cukup dengan menggunakan drone dan menggunakan bahan nano partikel hygroscopic yang dibakar dalam kemasan tabung flare.

Pembentukan awan yang dihasilkan oleh setiap 1 kg bahan semai dalam bentuk flare nano partikel higroskopis, setara dengan pembentukan awan yang dilakukan penyemaian dengan 1 ton garam semai.

Komitmen Presiden Prabowo untuk memakai produk-produk karya asli bangsa Indonesia melalui mobil kepresidenan Maung Garuda, memberikan harapan baru agar TMC dengan teknologi flare dan drone karya asli bangsa Indonesia, yang lebih efektif dan biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan teknologi konvensional yang menggunakan garam semai yang diangkut moda pesawat terbang, harapan kami dapat digunakan secara massive sebagai pilihan utama dalam rain management di Indonesia.

Dalam rangka mempercepat realisasi pertumbuhan 8% tersebut, salah satu alternatif adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Tenaga kerja pertanian (dalam arti sempit) merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36,46 juta orang pada Agustus tahun 2023.

Jumlah ini merupakan 26,07% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya yang berjumlah 139.85 juta orang, dimana sekitar 1/3 nya berada disektor perkebunan, yang memiliki kontribusi sekitar 12,98% terhadap perekonomian nasional, sayangnya pada setiap musim kemarau selalu mengalami penurunan produktivitas karena berkurangnya pasokan air.

Sedangkan pada sektor pertambangan, meski hanya menyerap sekitar 1,2% tenaga kerja tetapi kontribusinya tahun 2022 kepada pertumbuhan nasional adalah sebesar 12,22%, sayangnya pada setiap musim penghujan juga mengalami penurunan produktivitas karena alat-alat berat menjadi berbahaya dioperasikan pada saat turun hujan.

Dengan mengoptimalkan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk hujan buatan pada musim kemarau, diharapkan perkebunan dan pertanian akan mendapatkan pasokan air yang cukup. Sebaliknya pada musim penghujan, maka intensitas hujan di lokasi-lokasi pertambangan bisa diminimalisir secara signifikan.

Potensi Terpendam Industri Sawit Nasional

Marilah kita ambil contoh dari realitas yang ada pada sektor perkebunan sawit, dengan menggunakan data-data sekunder dan asumsi-asumsi yang konservatif.

Luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 17 juta hektar, usia produktif kelapa sawit adalah 8 tahun sampai 25 tahun.

Dengan demikian kita asumsikan jika terdapat tanaman sawit yang berumur dibawah 8 tahun sebesar 5 juta hektar dari 17 juta hektar, sehingga yang produktif hanyalah 12 juta hektar.
Produktivitas kelapa sawit berusia diatas 8 tahun adalah 2 ton per hektar, namun dimasa kemarau produktivitas itu bisa turun menjadi 50% (bahkan di beberapa tempat bisa jauh lebih rendah lagi) menjadi sekitar 1 ton/hektar selama 4 bulan kemarau, keadaan ini dikenal dengan istilah musim trek buah sawit.

Musim trek adalah siklus yang pasti dialami tanaman kelapa sawit setiap tahun. Saat terjadi trek buah, produksi buah jauh berkurang. Akibatnya pendapatan petani juga berkurang.
Jika diasumsikan rata-rata produksi TBS adalah 2 ton/hektar/bulan, maka dalam 12 bulan akan menghasilkan TBS:
12 bulan × 2 ton = 24 ton/tahun, karena terdapat penurunan produksi sebanyak 50% atau sekitar 1 ton/hektar selama 4 bulan musim kemarau, maka produksi TBS turun hanya menjadi 20 ton/tahun, dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas sebesar 20%.

Jika harga Tandan Buah Segar (TBS) Rp. 2.500,-/kg, maka akibat faktor kekurangan air di musim kemarau, maka terjadi hilangnya pendapatan dari hasil menjual Tandan Buah Segar (TBS) adalah sebesar:
4 bulan × 12 juta hektar × 1.000 kg × Rp. 2.500,-/kg = Rp. 120 triliun/tahun.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat produksi crude palm oil (CPO) tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15 persen dari tahun 2022 sebesar 46,73 juta ton.

Artinya jika faktor trek buah pada industri sawit dapat diminimalisir, maka seharusnya pada 2023 produksi CPO akan menjadi:
50 juta ton × 120% = 60 juta ton CPO, terdapat potensi 10 juta ton CPO yang hilang dan sebenarnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengatasi masalah trek buah pada industri sawit nasional dengan hujan buatan melalui TMC.

Pendapatan PPN dari penjualan CPO diatas jika diasumsikan harga CPO adalah Rp. 14.000,-/kg adalah:
10 juta ton CPO × PPN 11% × Rp. 14.000,-/kg = Rp 15,4 triliun.

Pendapatan PPN ini belum ditambah dengan PPH Badan dan PPH orang pribadi.

Dengan adanya tambahan produksi CPO secara nasional sebesar 10 juta ton, maka rencana pemerintah yang akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO untuk program B50 pada tahun depan, tidak perlu terjadi.

BMKG dan TMC adalah Kunci

Berkali-kali Presiden Prabowo dalam berbagai pidatonya selalu menyatakan jika luas wilayah NKRI setara dengan benua Eropa.

Demikian luasnya wilayah Indonesia, sehingga perlu berbagai strategi dalam melakukan water management termasuk rain management.

Salah satunya adalah membagi wilayah-wilayah kerja tersebut berdasarkan cluster-cluster area yang memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda.

Tidak bisa lagi dijalankan dengan pola yang ada seperti saat ini, yang sebagian besar – jika enggan untuk menyatakan seluruh- kegiatannya terpusat di Jakarta.

Sebagai contoh adalah banjir di kawasan PT IMIP Morowali yang diakibatkan oleh curah hujan yang sangat tinggi, seharusnya dengan menggunakan TMC melalui teknologi cloud buster bencana banjir dapat dicegah, minimal intensitas hujan dapat diminimalisir, karena konsentrasi awan hujan yang dapat mencurahkan hujan selama berhari-hari, tidak terakumulasi secara seketika, tetapi awan tersebut terakumulasi sedikit demi sedikit.

Sayangnya, karena keterbatasan sumber daya manusia dan juga anggaran yang dialokasikan terutama untuk TMC, menyebabkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tampak kurang maksimal.

Satu contoh, terkadang BMKG memberikan prakiraan datangnya musim kemarau, prakiraan tersebut disebarluaskan melalui berbagai media massa, tetapi setelah berita datangnya musim kemarau tersebut diketahui publik, BMKG tidak bisa melakukan apa-apa.

BMKG karena keterbatasan anggaran, tidak mampu memberikan solusi bagaimana menggerakkan hujan buatan melalui TMC, sehingga BMKG malah tampak seperti sebuah badan yang menimbulkan ketakutan yang meluas kepada para petani dengan berita datangnya musim kemarau tersebut.

Sebagai sebuah perbandingan, antara tahun 2012 sampai 2017 saja, negara China menghabiskan anggaran sebesar US$ 1,34 milyar atau setara Rp. 20,1 triliun (kurs 1 usd = Rp. 15.000,-) untuk Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), dan rencananya sampai dengan tahun 2035 China akan melakukan TMC dengan luas areal 5,5 juta km², suatu kawasan yang lebih luas dari daratan negara India 3,287 juta km².

Mengeluarkan anggaran didepan untuk mencegah banjir melalui cloud buster atau menanggulangi bencana kekeringan melalui hujan buatan, secara ekonomi jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana banjir ataupun gagal panen akibat kelangkaan pasokan air di musim kemarau.

Keberadaan BMKG yang berkualitas tinggi, akan menentukan berhasil atau gagalnya ketahanan dan swasembada pangan.

Sekali lagi mengingat pidato Presiden Prabowo jika negara kita ini: “…luasnya sama dengan Eropa Barat…”, Jika Eropa Barat “diurus” oleh 27 negara, maka Indonesia perlu berapa “Kanwil” BMKG agar mampu melayani seluruh pelosok negeri?

Recent Posts

Badan Penyelenggara Haji Siapkan Pemantauan CAT untuk Petugas PPIH Arab Saudi

MONITOR, Jakarta - Dalam rangka pelaksanaan tugas dukungan Penyelenggaraan Haji tahun 2025, Badan Penyelenggara Haji…

49 menit yang lalu

KKP Catat Produksi Perikanan dan Rumput Laut di Oktober 2024 Capai 18,26 Juta Ton

MONITOR, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat jumlah produksi hasil perikanan hingga Oktober…

8 jam yang lalu

Komisi IV DPR RI Dukung Rencana Adanya Perpres untuk Kemajuan Peternak

MONITOR, Jabar - Komisi IV DPR RI menyatakan dukungan penuh terhadap penyusunan Peraturan Presiden (Perpres)…

10 jam yang lalu

Ketua KOPRI PB PMII Serukan Pentingnya Ruang Aman di Organisais, Kampus, Hingga Instansi

MONITOR, Jakarta - Dalam peringatan Hari Anak Nasional Sedunia yang diperingati setiap 20 November, kenyataan…

10 jam yang lalu

DPR Pertanyakan Dasar Pemulangan Mary Jane, Ingatkan Agar Tak Langgar Hukum

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII Andreas Hugo Pareira mempertanyakan dasar hukum kebijakan yang…

11 jam yang lalu

KFSHRC Perkenalkan Layanan Patologi Virtual Perintis di Madinah

MONITOR, RIYADH - King Faisal Specialist Hospital & Research Centre (KFSHRC) telah meluncurkan Layanan Patologi…

11 jam yang lalu