MONITOR, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Hindun Anisah menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkumpulan tidak bisa menggantikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Pasalnya, jika UU Ormas dihapus, ia menilai seperti mencabut ‘akar demokrasi’ dari masyarakat Indonesia.
Sebab itu, dibandingkan menghapus, menurutnya, RUU Perkumpulan akan lebih baik tetap hadir untuk melengkapi sekaligus memperkaya UU Ormas. Pernyataan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Baleg DPR RI dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Komnas Perempuan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (29/10/2024).
“Saya kira, Undang-Undang Ormas ini tidak bisa digantikan oleh Undang-Undang Perkumpulan karena ormas ini berakar dari masyarakat. Masyarakat riil, anggotanya riil, dan tujuannya riil dan bahkan banyak ormas yang keberadaannya ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Jadi, saya kira bukan menggantikan tetapi justru melengkapi,” tutur Hindun.
Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) itu menerangkan, Indonesia masih mengadopsi Staatsblad 1870-64 mengenai Perkumpulan Berbadan Hukum serta menerapkan Peraturan Menkumham (Permenkumham) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan. Adanya usulan RUU Perkumpulan, imbuhnya, bisa semakin memperkuat demokrasi di Indonesia.
“Saya kira ini penting sekali RUU perkumpulan, tapi tidak untuk menggantikan undang-undang ormas. Jadi, undang-undang ormas ada, undang-undang perkumpulan juga ada,” pungkasnya.
Sebagai informasi, makna dari perkumpulan yang tercantum dalam RUU Perkumpulan merupakan badan hukum yang didirikan oleh sekelompok orang untuk mewujudkan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, namun tidak membagikan keuntungan kepada anggotanya. RUU Perkumpulan merupakan RUU usulan Pemerintah dan sudah masuk sejak Prolegnas Prioritas Tahun 2011.
Dalam rapat tersebut, Peneliti PSHK Ronald Rofiandri menjelaskan faktor utama yang melatarbelakangi urgensi RUU Perkumpulan adalah ketertinggalan dasar hukum perkumpulan dengan dinamika sosial kemasyarakatan. Dibandingkan dengan yayasan, pengaturan tentang perkumpulan masih mengacu kepada Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) dan Staatsblad 1939 nomor 570 tentang Perkumpulan Indonesia (inlandsche Vereeniging).
Selain itu, terangnya, UU Ormas yang menempatkan Yayasan dan Perkumpulan dalam satu kelompok pengertian, berpotensi akan menimbulkan kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. Sementara, Perkumpulan merupakan organisasi (berbadan hukum) berbasiskan anggota.
Ia berharap usulan RUU Perkumpulan dipertimbangan untuk dibahas dan masuk ke dalam daftar Prolegnas RUU Tahun 2025-2029 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025. Regulasi ini, ungkapnya, akan memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas hak berserikat berbagai perkumpulan di Indonesia.